BANK BERSUBSIDI YANG MEMBEBANI
(Bab I buku saya dan Nasyith Majidi)
Judul buku : Bank Bersubsidi Yang Membebani
Penulis : Awalil Rizky dan Nasyith Majidi
Penerbit : E Publishing, Jakarta, 2008
Sejak Soeharto berkuasa sampai dengan pertengahan tahun 1997, perkembangan perekonomian Indonesia secara keseluruhan terlihat mengesankan. Secara umum, indikator makroekonomi menunjukkan perkembangan angka dan kondisi mutakhir yang sangat baik. Tidak ada pertanda yang membuat khawatir bagi banyak pihak, terutama bagi pemerintah dan otoritas moneter. Indikator makroekonomi yang dimaksud antara lain adalah: pertumbuhan ekonomi, angka inflasi, nilai tukar rupiah, cadangan devisa dan neraca pembayaran.
Keadaan itu kemudian berubah secara drastis hanya dalam waktu setahun, mulai pertengahan tahun 1997 hingga tahun 1998. Perkembangan indikator makroekonomi berbalik arah, menjadi amat buruk. Nilai tukar rupiah merosot sangat tajam, pertumbuhan ekonomi menjadi negatif, inflasi sangat tinggi, neraca pembayaran mengalami defisit yang besar, serta cadangan devisa terkuras hampir habis. Semua pihak baru menjadi sadar bahwa telah terjadi krisis, krisis moneter sekaligus krisis ekonomi. Krisis yang terjadi memenuhi hampir semua kriteria atau ciri suatu krisis yang dikenal dalam wacana ekonomi. Peristiwa tersebut bisa dikatakan sebagai krisis nilai tukar, krisis perbankan, krisis moneter, ataupun krisis ekonomi. Selain cakupannya yang sangat luas yang melanda hampir semua sektor ekonomi, kejadian dan kondisi buruk berlangsung dalam kurun waktu berkepanjangan.
Setelah satu dekade berlalu, rangkaian peristiwa yang begitu dramatis tersebut tetap menyisakan suatu persoalan teoritis. Masih terdapat perbedaan pandangan mengenai penyebab utama dari krisis, terutama berkenaan dengan bobot dari masing-masing faktor yang diidentifikasi. Sebagai contoh, apakah goncangan eksternal, khususnya efek penularan dari krisis regional, yang menjadi faktor penyebab terpenting. Ataukah, soal lain yang lebih bersifat internal, yakni rapuhnya fundamental ekonomi. Jika keduanya dikedepankan secara bersama, maka perdebatan mengarah pada seberapa proporsi masing-masingnya. Kontroversi lain adalah mengenai upaya penanganan krisis yang tidak tepat. Mulai dari soal keterlambatan, kesalahan tindakan, sampai dengan biaya yang terlampau besar.
Kesepakatan umum hanya kepada hal yang telah jelas dengan sendirinya, yaitu urutan dan rangkaian peristiwa yang disebut krisis. Padahal, urutan peristiwa tidak selalu berarti kausalitas atau hubungan sebab akibat. Sementara itu, dinamika berikutnya pun berlangsung secara susul menyusul atau terjadi secara bersamaan. Depresiasi kurs rupiah terhadap dolar AS secara amat tajam, memulai krisis moneter yang terjadi tak lama kemudian. Suku bunga menjadi tinggi dan laju inflasi semakin tak terkendali, diiringi dengan defisit neraca pembayaran yang semakin besar. Krisis moneter diikuti oleh krisis perbankan, hanya dalam hitungan bulan, oleh karena industri perbankan tidak mampu menanggung kondisi moneter dan keuangan yang sedemikian berat. Secara simultan, dan dalam waktu yang amat singkat, krisis tersebut membuat sektor riil terpukul hebat, sehingga secara keseluruhan menciptakan krisis ekonomi. Krisis ekonomi membawa kepada krisis politik, yang berujung pada jatuhnya rezim Soeharto.
Banyak ahli yang berpendapat bahwa krisis itu juga tidak terlepas dari ketidaksiapan infrastruktur sistem keuangan Indonesia dalam mengantisipasi tekanan-tekanan yang berasal dari eksternal atau pasar internasional. Antara lain diindikasikan oleh keterlambatan reaksi dan proaksi berbagai pihak, termasuk otoritas moneter. Belakangan, diakui bahwa belum ada prosedur resolusi dari krisis yang bersifat baku dan diterima semua pihak. Beberapa kebijakan yang diambil oleh pemerintah, terutama oleh otoritas moneter pada waktu itu, sebagiannya malah dinilai memperparah keadaan.
Sebagai contoh, pengetatan likuiditas yang dilakukan Pemerintah sebagai langkah untuk mengatasi depresiasi Rupiah, malah memberi pukulan lanjutan bagi perbankan dan sektor riil. Penutupan 16 bank pada tanggal 1 November 1997, yang dimaksudkan untuk mengembalikan kepercayaan terhadap bank, mengakibatkan keadaan yang sebaliknya. Kepercayaan masyarakat kepada bank-bank nasional menjadi semakin rendah. Kekhawatiran akan terjadinya pencabutan ijin usaha bank, padahal belum ada program penjaminan simpanan, menyebabkan kepanikan masyarakat atas keamanan dananya di perbankan. Masyarakat terdorong untuk melakukan penarikan simpanan dari perbankan secara besar-besaran, setidaknya memindah simpanan dari satu bank ke bank lain yang dianggap lebih meyakinkan.
Akibatnya, posisi likuiditas perbankan mendapat tekanan yang amat berat. Tekanan lain diberikan oleh fenomena inflasi. Berbagai isu tentang kelangkaan pasokan barang-barang kebutuhan pokok, menyebabkan ekspektasi masyarakat terhadap inflasi semakin tinggi, disertai peningkatan kegiatan spekulasi di pasar valuta asing. Bisa difahami jika beberapa bank yang sebelumnya tergolong sehat dan merupakan pemasok dana, selanjutnya juga terkena imbas, sehingga berubah posisi menjadi peminjam dana di pasar uang antar bank.
Akhirnya, hampir seluruh bank umum nasional menghadapi kesulitan likuiditas dalam jumlah besar. Sebagian besar bank terpaksa melanggar ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) dan mengalami saldo negatif atas rekening gironya di Bank Indonesia. Dana pinjaman antar bank, sebagai sarana bank mengatasi kesulitan likuiditas dalam jangka pendek, menawarkan bunga yang sangat tinggi (mencapai 50%). Sumber dana semacam itu pun makin sulit untuk diperoleh. Kesulitan likuiditas masih terus berlanjut dengan adanya berbagai tekanan susulan. Peningkatan eksposure rupiah dari utang dalam dolar Amerika semakin memberatkan bank, ditambah dengan meningkatnya kredit bermasalah atau nonperforming loan (NPL) akibat banyaknya debitur yang gagal bayar (default). Kondisi umum yang terwujud kemudian adalah banyaknya bank menjadi insolvent (nilai aktivanya lebih kecil daripada nilai pasivanya).
Bank Indonesia (BI) yang pada awalnya, sesuai prosedur standar, berusaha membantu mengatasi kesulitan likuiditas perbankan, menjadi kewalahan. Oleh karena jumlah bantuan dan prosedur bantuan kemudian menjadi sangat tidak biasa, BI meminta persetujuan pemerintah, bahkan berkonsultasi dengan DPR, untuk langkah-langkah berikutnya. Dalam konteks inilah, dikenal istilah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Besarnya BLBI yang dikucurkan kepada bank-bank, hanya dalam tempo beberapa bulan, mencapai hampir Rp 150 trilyun. Jumlah ini sangat besar, mengingat pada tahun 1997, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia adalah sebesar Rp 627,7 triliun, dan Penerimaan negara hanya Rp 112,3 triliun. Ternyata, BLBI sebesar itu ditambah dengan langkah-langkah lain, termasuk likuidasi beberapa bank, tetap tidak mampu menahan krisis yang terus berlanjut. Krisis ekonomi akhirnya memaksakan perubahan besar di bidang sosial dan politik, termasuk jatuhnya pemerintahan Soeharto.
Pemerintahan pasca Soeharto, terutama era Habibie, menjalankan program stabilisasi makroekonomi melalui kebijakan moneter dan fiskal. Program awal difokuskan untuk mengatasi permasalahan yang sangat mendesak pada saat krisis, yaitu: meredam tekanan laju inflasi dan gejolak nilai tukar. Mereka berupaya agar keadaan moneter menjadi stabil dengan pertanda suku bunga yang normal dan nilai tukar rupiah yang realistis, sehingga dapat membantu kebangkitan kembali dunia usaha. Secara bersamaan, pemerintah melakukan berbagai langkah konsolidasi di bidang fiskal melalui peningkatan disiplin anggaran dengan melakukan penghematan atas berbagai pengeluaran pemerintah. Pemerintah juga terpaksa melakukan penjadwalan dan penyesuaian terhadap beberapa proyek pembangunan.
Dalam keseluruhan langkah tersebut, upaya restrukturisasi dan penyehatan perbankan menjadi prioritas yang sangat penting. Pengeluaran biaya yang amat besar untuk itu juga dianggap wajar. Pertimbangan utamanya, stabilitas moneter menjadi prasyarat bagi pemulihan ekonomi, dan itu memerlukan stabilitas sistem keuangan. Stabilitas sistem keuangan mensyaratkan pembenahan sektor perbankan, termasuk BI sebagai bank sentral.
A. Stabilitas Sistem Keuangan
Istilah stabilitas moneter biasanya mengacu pada stabilitas harga dalam bentuk kestabilan nilai mata uang. Sedangkan pengertian stabilitas keuangan mengarah kepada kestabilan institusi keuangan itu sendiri, serta stabilitas pasar yang tergabung dalam sistem keuangan. Secara logis bisa dimengerti bahwa stabilitas moneter hanya dapat dicapai dengan sistem keuangan yang stabil.
Kestabilan institusi keuangan terutama menyangkut lembaga keuangan yang berpengaruh secara signifikan terhadap sistem keuangan secara keseluruhan. Dalam konteks ini, kelembagaan Bank Indonesia dan perbankan nasional merupakan institusi yang paling penting. Sementara itu, pengertian kestabilan pasar meliputi baik pasar modal maupun pasar uang. Pasar dimaksud dapat dikatakan stabil apabila para pelaku pasar masih percaya untuk melakukan transaksi pada tingkat harga yang merupakan refleksi dari fundamental ekonomi, serta fluktuasi atau volatilitas harga pasar yang tidak ekstrim dalam jangka pendek.
Sebagai bagian dari pembelajaran masa lalu dan kesiapan menghadapi atau mencegah krisis yang mungkin terjadi, Bank Indonesia (BI) mensosialisasikan istilah Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) secara intensif. Meskipun demikian, BI mengakui bahwa SSK sebenarnya belum memiliki definisi yang baku dan diterima secara internasional. Berbagai pengertian SSK yang ada lebih menekankan pada pengertian keadaan yang disebut tidak stabil, yakni pada saat telah membahayakan dan menghambat kegiatan ekonomi. Ketidakstabilan sistem keuangan dapat dipicu oleh berbagai macam penyebab dan gejolak. Seringkali berupa kombinasi antara kegagalan pasar, faktor struktural, serta faktor perilaku. Kegagalan pasar itu sendiri dapat bersumber dari eksternal (internasional) dan internal (domestik).
Ada beberapa definisi SSK yang biasa dikedepankan oleh pihak BI. Pertama, SSK adalah sistem keuangan yang mampu mengalokasikan sumber dana dan menyerap kejutan (shock) yang terjadi sehingga dapat mencegah gangguan terhadap kegiatan sektor riil dan sistem keuangan. Kedua, SSK adalah sistem keuangan yang kuat dan tahan terhadap berbagai gangguan ekonomi sehingga tetap mampu melakukan fungsi intermediasi, melaksanakan pembayaran dan menyebar risiko secara baik. Ketiga, SSK adalah suatu kondisi dimana mekanisme ekonomi dalam penetapan harga, alokasi dana dan pengelolaan risiko berfungsi secara baik dan mendukung pertumbuhan ekonomi.
B. Bank Indonesia yang semakin kuat
Krisis ekonomi menempatkan Bank Indonesia (BI) sebagai institusi sentral. Sebagian sorotan adalah mengenai peran BI sebagai aktor penyebab, atau setidaknya yang memperparah krisis. Sebagian lainnya, melihat BI sebagai korban dari krisis. BI pula yang kemudian diharapkan berperan sebagai pemain utama dalam upaya pemulihan dan pembangunan kembali perekonomian Indonesia.
Peran yang dibebankan dalam upaya pemulihan itu kepada BI adalah menjaga stabilitas moneter, sesuai kedudukannya sebagai otoritas moneter, serta bertanggung jawab atas stabilitas sistem keuangan, berkenaan dengan tugasnya menangani perbankan dan sistem pembayaran. Peran demikian seharusnya sudah dimainkan sejak awal atau sebelum krisis terjadi. Namun, pihak BI berkilah mengenai ketidakleluasaan geraknya akibat rezim pemerintahan yang otoriter, maupun oleh peraturan yang berlaku.
Akhirnya, sebagian peran itu memperoleh legitimasi baru menurut perundang-undangan, yang bermuara kepada beberapa perubahan penting. Salah satu yang mendasar adalah soal independensi BI. Para pengambil keputusan di era pasca Soeharto ternyata memilih menetapkan keindependenan BI sebagai bank sentral. Tampak ada keyakinan bahwa tingkat dan varian fluktuasi perekonomian akan menjadi lebih baik dengan independensi itu. Sebagai argumen pendukung, dikemukakan studi empiris yang melihat korelasi antara independensi dari Bank Sentral dengan kinerja ekonomi suatu negara. Ditunjukkan bahwa terdapat hubungan terbalik antara independensi dengan tingkat rata-rata maupun varians dari inflasi. Meskipun studi tersebut sebenarnya lebih menunjukkan hubungan korelasi dan bukan kausalitas antara independensi dengan kinerja inflasi.
Pada prinsipnya, independensi Bank Sentral dapat dilihat pada beberapa hal. Pertama, pada tujuan dan fungsi apa yang harus diemban oleh Bank Sentral, apakah tujuan tunggal seperti stabilitas rupiah atau ada yang lain seperti menciptakan kesempatan kerja dan pemerataan pembangunan. Kedua, pada mekanisme dan kebebasan menetapkan instrumen dan target moneter. Apakah ada kemungkinan pihak lain yang bisa menetapkan target moneter. Ketiga, pada proses penunjukkan dan syarat pergantian jajaran pimpinan Bank Sentral terutama Gubernur sebagai sosok paling penting, termasuk juga waktu penugasan masing-masing jajaran pimpinan yang tidak sama, sehingga menjamin kesinambungan (rotasi). Keempat, pada peraturan mengenai ada atau tidak kewajiban menyetor kembali surplus Bank Sentral, dan ada tidak kewajiban melakukan jaminan bagi surat berharga (utang) yang diterbitkan pemerintah.
UU No. 23/1999 ternyata telah memberikan Bank Indonesia (BI) suatu jaminan yang sangat kuat kepada keseluruhan aspek di atas. Independensi tersebut tercermin antara lain dari penentuan hanya satu tujuan BI, yaitu mencapai dan memelihara stabilitas rupiah. BI memiliki kebebasan menentukan sasaran dan instrumen moneter yang akan digunakan dalam pencapaian tujuannya.
Independensi juga dapat dilihat dalam proses pemilihan pimpinan BI melalui proses pencalonan dari pemerintah (Presiden) untuk Gubernur dan Deputi Senior yang harus mendapat persetujuan DPR, dan pencalonan oleh Gubernur diangkat oleh Presiden dengan persetujuan DPR untuk Deputi Gubernur. Pergantian pimpinan juga mengharuskan adanya kontinuitas melalui pembatasan maksimum jumlah deputi gubernur yang bisa diganti yaitu 2 orang. Terdapat pula perlindungan terhadap jabatan pimpinan BI (tidak bisa diberhentikan) kecuali yang bersangkutan mengundurkan diri, terbukti melakukan tindak pidana kejahatan, atau berhalangan tetap.
Posisi BI yang semakin independen bukannya tanpa kritik. Sebagian pandangan mempertanyakan apakah dengan independensinya, BI sama sekali berdiri di luar pemerintah. Bahkan, ada pandangan yang menganggap BI telah menjadi negara dalam negara. Anggapan ini muncul antara lain karena BI bisa membuat peraturan yang mengikat semua warga negara Indonesia, serta memiliki pengaturan (termasuk sumber) keuangan tersendiri.
Banyak pihak yang menyoroti sisi keadilan dari peran dan fungsi BI dibandingkan dengan lembaga lainnya, terutama dengan pemerintah. Beban BI hanya satu saja, yaitu memelihara stabilitas rupiah. Sementara pemerintah harus mengemban fungsi lain yang sangat banyak dan berat, seperti: mencapai pertumbuhan ekonomi, penciptaan kesempatan kerja, menciptakan keadilan dan pemerataan, dan pengurangan kemiskinan. Rasa ketidakadilan dalam pembagian fungsi pengelolaan ekonomi diperkuat lagi oleh kondisi sehabis krisis, dimana hampir seluruh beban biaya atas kerusakan perbankan yang sangat mahal hingga mencapai Rp 1.000 triliun (termasuk beban bunga obligasi) harus ditanggung pemerintah melalui APBN. Padahal, kesalahan perbankan itu sendiri sebagian besarnya merupakan tanggungjawab BI. Bisa dipastikan, pihak BI ikut melakukan kesalahan dalam pengelolaan perbankan, meskipun dapat diperdebatkan mengenai tingkat kesalahannya.
Hal lain yang kadang memicu rasa ketidaksukaan atas BI adalah kesan lebih sejahteranya persoanalia BI dibanding abdi negara lainnya. Antara lain yang biasa dijadikan contoh: kondisi kompleks perkantoran BI yang sangat mewah, gaji pegawai yang relatif tinggi, serta fasilitas kepada pegawai dan jajaran pimpinan BI yang berlebihan dibanding jajaran pemerintah lainnya.
Ada persoalan lain yang lebih pelik mengenai hubungan BI dengan pemerintah. Secara teoritis sangat mungkin terjadi perbedaan ”kepentingan” antara pemerintah dan BI. Dalam eskalasi tertentu, masalah ini secara empiris mulai terjadi, dan berpotensi membesar di tahun-tahun mendatang. Pemeliharaan stabilitas rupiah sebagai tujuan yang hendak dicapai BI sering perlu dilakukan dengan pengetatan moneter. Hal ini, setidaknya dalam jangka pendek, bisa bertentangan dengan tujuan yang ingin dicapai pemerintah yaitu penciptaan kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi.
Pembahasan lebih rinci mengenai Bank Indonesia diberikan pada bab 2. Di sana akan dijelasikan mengenai hal-hal pokok yang tercantum dalam UU-BI No. 23/1999 serta perubahannya dalam UU-BI No. 3/2004. Dikemukakan pula secara singkat, beberapa persoalan kontroversial seperti: soal independensi, soal BLBI dan rekapitalisasi perbankan.
C. Restrukturisasi dan reformasi perbankan
Pada awal tahun 1998, ketika krisis perbankan sudah cukup terasa, pemerintah sebenarnya telah mengambil beberapa kebijakan untuk segera memulihkan kepercayaan terhadap perbankan. Pemerintah memberikan jaminan pembayaran atas kewajiban bank-bank umum kepada deposan dan kreditur dalam dan luar negeri (blanket guaranty), serta membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk melakukan langkah penyehatan bank-bank yang bermasalah. Namun, kedua kebijakan pemerintah tersebut ternyata tidaklah memadai. Krisis perbankan justeru meluas dan mengarah pada lumpuhnya sistem perbankan nasional.
Kesulitan likuiditas menyebabkan pelanggaran Giro Wajib Minimum (GWM) oleh hampir semua bank. Saldo negatif pada rekening giro di BI bahkan telah dialami oleh sebagian besar bank. Sebenarnya, sesuai peraturan perundang-undangan, BI dan pemerintah bisa mengenakan sanksi stop kliring kepada mereka. Akan tetapi, kebijakan pemerintah adalah melakukan penyelamatan, sesuai kesepakatan dengan IMF. Alasan utamanya, kebijakan menutup bank bukanlah opsi yang realistis dalam suasana krisis yang sudah menjalar ke banyak aspek (multidimensi). Diyakini, jika banyak bank ditutup secara masal, maka keadaan bisa menjadi lebih buruk lagi.
Situasi yang dihadapi bank-bank pada waktu itu dianggap BI sebagai illiquid (kesulitan likuiditas), bukannya insolvent (aktiva lebih kecil daripada pasiva). Apabila tidak diberikan bantuan kepada perbankan, maka akan terjadi rush (penarikan dana secara besar-besaran dalam waktu singkat). Dalam kondisi rush, bank yang sehat pun tidak akan mampu mengatasi kesulitan likuiditas tanpa bantuan Pemerintah.
Pertimbangan lainnya, dari pemerintah dan BI, adalah masalah sektor riil dan hubungan ekonomi dengan luar negeri. Di sektor riil, stop kliring itu akan memutus sebagian besar sistem pembayaran sehingga lalu lintas perdagangan akan terhenti. Sedangkan dalam konteks perdagangan luar negeri, pemerintah khawatir terjadi ketidakpercayaan bank-bank di luar negeri kepada bank-bank di dalam negeri, karena kepercayaan memang tampak mulai berkurang. Ada anggapan bahwa impor barang bisa terancam. Secara otomatis terjadi gangguan pula dengan ekspor, karena kebanyakan produknya masih membutuhkan bahan baku impor yang tinggi, serta bergantung pada mekanisme pembayaran luar negeri.
Akhirnya, pemerintah dan BI melakukan pilihan untuk tidak menutup bank, meskipun langkah itu membutuhkan biaya yang besar. Yang dibayangkan mereka adalah hal sebaliknya, kemustahilan perekonomian negara tanpa adanya bank. Oleh karenanya, dalam evaluasi sampai dengan saat ini, langkah tersebut diklaim cukup tepat oleh pemerintah dan BI. Kerap ditambahkan argumen bahwa tahap pemulihan seperti saat ini tidak akan dapat dicapai jika di masa krisis yang lalu, keruntuhan sistem perbankan dibiarkan, tanpa tindakan penyelamatan.
Dalam konteks yang demikian lah, kebijakan penyaluran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dijalankan. Perlu ditambahkan bahwa dari sisi yuridis, penyaluran BLBI itu sesungguhnya bukan merupakan kebijakan yang mendadak diciptakan. Kebijakan itu telah dilakukan jauh sebelum terjadinya krisis moneter dan memiliki landasan hukum yaitu UU No. 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral dan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 tahun 1998. Pasal 32 ayat (3) UU No. 13 tahun 1998 menyebutkan "Bank dapat pula memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat" sedangkan pasal 37 ayat (2) huruf b UU No. 7 tahun 1992 menegaskan "Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan likuiditas yang membahayakan kelangsungan usahanya, maka BI dapat mengambil tindakan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku."
Istilah BLBI itu sendiri memang baru dikenal sejak tanggal 15 Januari 1998 sebagaimana ditegaskan Pemerintah dalam Letter of Intent (LoI) kepada International Monetary Fund (IMF). Dalam surat yang ditandatangani oleh Menko Ekkuin itu, Pemerintah menyatakan pentingnya bantuan likuiditas (liquidity support) BI kepada perbankan. Dilihat dari sisi ini, BLBI merupakan program Pemerintah (bersama BI) yang diketahui dan direkomendasikan oleh IMF. Bahkan, kebijakan itu menjadi salah satu persyaratan (conditionality) yang ditetapkan oleh IMF untuk bantuannya kepada Indonesia. Dalam pengertian luas, liquidity support sebenarnya meliputi juga kredit subordinasi, kredit likuiditas darurat dan fasilitas diskonto I dan II. Namun, BLBI yang diberikan pada waktu itu hanya mencakup bantuan likuiditas kepada bank untuk menutup kekurangan likuiditas, terutama yang berupa: saldo debet, fasilitas diskonto dan SBPU khusus, serta dana talangan dalam rangka kewajiban pembayaran luar negeri.
Dengan pertimbangan yang serupa, Pemerintah pasca Soeharto melakukan hal yang hampir sama, yakni menjalankan kebijakan rekapitalisasi perbankan. Pemerintah merekapitalisasi bank-bank yang memenuhi persyaratan yang memiliki rata-rata rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) di bawah -25%. Langkah itu diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan kepada pemerintah, mempercepat pemulihan ekonomi, dan mengembalikan fungsi intermediasi perbankan.
Ada perbedaan penting dalam hal ”daya tawar” (bargaining) BI, tatkala kebijakan rekapitalisasi perbankan diambil dengan ketika penyaluran BLBI dijalankan terdahulu. Kini, BI memiliki status dan kedudukan baru berdasar UU No 23/99. Posisi BI menjadi lebih independen, sehingga dalam operasionalisasinya, pemerintah harus mengikuti juga berbagai pertimbangan dan keputusan dari pihak BI. Menurut sebagian pengamat, pihak BI bahkan cenderung berkedudukan lebih kuat. Sedangkan dalam kebijakan BLBI, posisi pemerintah lah yang lebih dominan.
Sementara itu, kebijakan rekapitalisasi perbankan sebenarnya merupakan bagian dari program yang lebih luas, yaitu program penyehatan perbankan dan program peningkatan ketahanan industri perbankan. Program penyehatan lembaga perbankan meliputi : penjaminan pemerintah bagi bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), rekapitalisasi perbankan, restrukturisasi kredit perbankan dan pemulihan fungsi intermediasi perbankan. Sementara itu, upaya meningkatkan ketahanan sistem perbankan difokuskan pada pengembangan infrastruktur perbankan, peningkatan mutu pengelolaan perbankan (good governance) serta penyempurnaan sistem pengaturan dan pengawasan bank.
Penyempurnaan ketentuan perbankan ditujukan untuk meningkatkan praktek-praktek perbankan yang berdasarkan prinsip kehati-hatian sesuai dengan standar internasional. Penyempurnaan tersebut meliputi fit and proper test, exit policy, Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), restrukturisasi kredit, penilaian aktiva produktif, kelembagaan bank umum, pendanaan jangka pendek, perdagangan portofolio obligasi dan bank syariah. Ketentuan exit policy merupakan penyempurnaan kebijakan dalam penanganan bank bermasalah yang lebih transparan dengan menetapkan kriteria bank yang dikategorikan dalam pengawasan khusus dan tindakan-tindakan korektif yang harus diselesaikan dalam periode tertentu dan kriteria bank untuk dialihkan menjadi Bank Dalam Penyehatan di bawah pengawasan BPPN.
Dalam rangka pemantapan pengawasan bank, Bank Indonesia telah menyempurnakan sistem pengawasan yang semula terfokus pada compliance based supervision diperluas menjadi pengawasan yang berbasis risiko (risk based supervision) dan berorientasi ke depan yang mengacu pada standar internasional. Dalam kaitan tersebut Bank Indonesia telah menempatkan tenaga pengawas dalam rangka On-site Supervisory Presence pada beberapa bank. Sementara itu, untuk lebih meningkatkan kemampuan tenaga pengawas bank serta penanganan tugas pengawasan khusus (Special Surveilance) telah dilakukan pelatihan-pelatihan dan persiapan untuk pelaksanaan consolidated supervision.
Sampai dengan akhir tahun 2000, berbagai kebijakan pokok yang telah ditempuh di atas menghasilkan berbagai kemajuan dalam kinerja perbankan nasional. Permodalan bank yang pada tahun 1999 masih negatif telah membaik hingga mencapai Rp 53,5 triliun pada Desember 2000, sehingga meningkatkan rata-rata CAR bank. Sementara itu, penghimpunan dana bank yang menunjukkan peningkatan sudah mulai diikuti pula dengan peningkatan penyaluran kredit. Pada waktu bersamaan, rasio kredit bermasalah atau NPL membaik hingga mencapai 18,8% secara gross atau 5,8% secara netto, yang disebabkan oleh pengalihan kredit bermasalah ke BPPN, restrukturisasi kredit dan penyaluran kredit baru. Net interest margin (NIM) yang negatif pada tahun 1999 telah membaik menjadi positif sebesar Rp 22,8 triliun sejalan dengan positive spread yang didukung juga dengan relatif stabilnya suku bunga dana. Perbaikan CAR, peningkatan penghimpunan dana dan penyaluran kredit, perbaikan NPL, dan NIM yang positif kemudian terus berlanjut pada tahun-tahun berikutnya.
Meskipun demikian, tantangan terbesar sampai saat ini adalah belum pulihnya fungsi intermediasi perbankan. Dalam tahun-tahun awal era reformasi, hal ini antara lain disebabkan oleh masih tingginya faktor risiko dan ketidakpastian serta proses restrukturisasi kredit yang belum berjalan sepenuhnya. Dengan masih terbatasnya penyaluran kredit, ekses likuiditas yang dialami perbankan lebih banyak ditanamkan pada SBI, antar bank aktiva serta surat-surat berharga lainnya. Sedangkan dalam tiga tahun terakhir ini, keadaannya memang sudah lebih baik, namun perlu dikritisi apakah sudah cukup optimal upaya yang dilakukan perbankan. Masih pula perlu dikritisi mengenai kesinambungan perbaikan kinerja perbankan di masa mendatang.
D. Arsitektur Perbankan Indonesia
Pada 9 Januari 2004, siaran pers Bank Indonesia mengumumkan secara resmi implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Sebelumnya, selama sekitar setahun sejak BI melansir rencana tersebut, pembicaraan mengenai API berlangsung cukup intensif di lingkungan pelaku industri perbankan. Setelah mendapat tanggapan dari berbagai pihak, BI menyelesaikan penyusunan cetak biru API pada tahun 2003. BI memutuskan implementasinya secara bertahap, mulai tahun 2004 untuk jangka waktu lima sampai dengan sepuluh tahun kemudian.
BI menggunakan istilah arsitektur perbankan karena dianggap memberikan nuansa yang bersifat lebih komprehensif dan luas mengenai tatanan perbankan yang didinginkan sampai waktu yang akan datang. Ada banyak istilah lain yang memiliki pengertian hampir serupa dengan arsitektur perbankan, serta kerap kali dipergunakan dalam analisis oleh para ahli atau pengamat perbankan. Istilah itu antara lain adalah: blueprint perbankan, landscape perbankan, stratifikasi perbankan, dan pemetaan perbankan.
BI mengatakan bahwa API dirancang sebagai rekomendasi kebijakan (policy recommendation) bagi industri perbankan nasional dalam menghadapi segala perubahan yang terjadi di masa mendatang, sekaligus menjadi arah kebijakan (policy direction) yang harus ditempuh oleh perbankan dalam kurun waktu yang cukup panjang. Dengan kata lain, API merupakan suatu blueprint mengenai tatanan industri perbankan ke depan. Isi dokumennya menyangkut hampir semua aspek yang berhubungan dengan perbankan, seperti : kelembagaan, struktur, pengawasan, pengaturan dan lembaga penunjang lainnya.
Dengan API, BI mengharapkan kalangan industri perbankan nasional bersama-sama dengan stakeholders lainnya mengetahui bagaimana bentuk dan wujud perbankan Indonesia dalam kurun waktu sepuluh tahun ke depan (dari tahun 2004). Aspek yang digambarkan API mencakup sisi regulasi, pengawasan, struktur kelembagaan dan beberapa aspek penting lainnya. Pengetahuan tentang API akan membuat mereka semua menjadi lebih mudah melakukan perencanaan bagi kebutuhan masing-masing.
Perlu diakui bahwa pada dasarnya implementasi API di Indonesia amat dipengaruhi oleh wacana internasional dalam topik tersebut. Wacana dimaksud adalah tentang implementasi arsitektur keuangan global yang diprakarsai oleh Bank for International Settlements (BIS). BIS adalah organisasi internasional yang memprakarsai dan memfasilitasi kerjasama antara bank sentral berbagai negara ditambah dengan beberapa organisasi keuangan internasional. Wacana arsitektur keuangan global itu sendiri mulai berkembang sejak tahun 1998. Ada keinginan kuat agar kestabilan keuangan global bisa dipelihara secara berkesinambungan, yang antara lain dipicu oleh pelajaran berharga pada masa krisis di kawasan Asia Tenggara di masa lalu. Krisis perbankan di Asia Tenggara tersebut ternyata juga merepotkan negara-negara dan lembaga pemberi pinjaman (kreditur) pada masa itu. Oleh karenanya, BIS mempublikasikan secara gencar akan pentingnya perhatian serius terhadap kestabilan keuangan melalui program arsitektur keuangan global.
Meskipun demikian, perlunya banking landscape bagi perbankan Indonesia sebenarnya masih dapat diperdebatkan untung ruginya oleh semua pihak. Terutama oleh kalangan perbankan yang harus menyesuaikan diri dengan ketentuan yang sebagian besarnya bersifat mengikat secara hukum (memaksa). Salah satu argumen pokok bagi yang kurang setuju adalah berkenaan dengan dibatasinya ”kekuatan pasar” dalam menentukan struktur perbankan yang ideal dan dianggap efisien bagi perekonomian.
Sekitar tiga tahun kemudian sejak diumumkannya API sebagai blueprint perbankan nasional, BI mensosialisasikan rencana implementasi Basel II. Basel II adalah suatu panduan atau best practices, yang berisi pengaturan permodalan bagi bank-bank. Jika API lebih menekankan kepada bangunan perbankan nasional yang ingin diwujudkan, maka Basel II adalah satu bagian kerangka aturan (khususnya mengenai permodalan) dalam proses pembangunan tersebut.
Arti pentingnya pengaturan terhadap permodalan bagi suatu bank mudah difahami mengingat Bank merupakan suatu perusahaan yang menjalankan fungsi intermediasi atas dana yang diterima dari nasabah. Jika suatu bank mengalami kegagalan, dampak yang ditimbulkan akan dapat meluas mempengaruhi nasabah dan lembaga-lembaga yang menyimpan dananya atau menginvestasikan modalnya di bank. Jika bank itu berskala operasi yang cukup besar, akan berpotensi menciptakan dampak ikutan secara nasional (domestik), bahkan bisa mempengaruhi pasar internasional. Dengan kata lain, peraturan mengenai permodalan bank yang berfungsi sebagai penyangga terhadap kemungkinan terjadinya kerugian, sehingga kepercayaan nasabah terhadap aktivitas perbankan tetap dapat dipelihara.
Sebagaimana API, wacana Basel II juga dipromosikan oleh BIS. Urgensi soal permodalan bagi perbankan, membuat BIS memiliki komite khusus yang selalu memantau dan menganalisis perkembangannya di seluruh dunia secara terus menerus. Komite itu dikenal sebagai Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) atau Komite Basel, yang antara lain merumuskan dan mensosialisasikan berbagai panduan atau best practices perbankan, terutama yang dinilai harus dijalankan oleh bank sentral.
API dan Basel II pada umumnya diakui sebagai suatu konsep yang baik oleh banyak pihak, termasuk kalangan perbankan. Mereka bisa menerima tujuan konsep agar terwujud bangunan yang kuat, serta mekanisme perbankan yang menjamin stabilitas keuangan namun tetap memberi peluang tumbuh bagi setiap bank. Yang kemudian dipermasalahkan dari kedua konsep itu adalah detil aturan, tahap-tahap serta waktu pelaksanaannya.
Uraian lebih lanjut akan dikembangkan dalam Bab V, yang juga memuat ulasan singkat tentang rencana implementasi Bassel II di Indonesia. Kita pun akan melihat secara kritis, beberapa dampak logis dari implementasi API dan Bassel II. Dalam hal API adalah soal meningkatnya kepemilikan asing dalam perbankan di Indonesia. Dalam hal Bassel II adalah soal kehati-hatian (prudent) berlebih yang bisa menghambat fungsi intermediasi perbankan, terutama bagi penyaluran untuk usaha mikro dan kecil.
E. Statistik Perbankan: Beberapa fakta saat ini
Bagaimana keadaan perbankan setelah dilanda krisis, kemudian dibantu dan di restrukturisasi oleh pemerintah dan Bank Indonesia? Sebagian besarnya dapat diamati dan dinilai dari berbagai angka dalam statistik perbankan. Angka-angka mengenai jumlah bank dan perkantorannya; pangsa kepemilikan; aset dan permodalan; dana yang berhasil dihimpun dan Kredit yang disalurkan; kualitas kredir, khususnya yang bermasalah (NPL); soal profitabilitas, soal efisiensi dan lain sebagainya. Berikut ini diulas fakta-fakta utamanya saja.
Jumlah jaringan kantor Bank Umum khususnya sejak deregulasi perbankan yang tercantum dalam Paket Oktober tahun 1988 (Pakto 88) mengalami perkembangan yang pesat. Pasca Pakto 88, jumlah Bank Umum terus bertambah, didominasi oleh pendirian Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) Devisa dan BUSN Non Devisa, dari 111 bank dengan jumlah kantor sebanyak 1.957 kantor sampai mencapai puncaknya pada akhir tahun 1996, yaitu 239 bank dengan 7.314 kantor. Namun demikian, setelah krisis perbankan tahun 1997 jumlah Bank Umum terus mengalami penurunan yang disebabkan adanya likuidasi oleh Pemerintah, merger, dan self-liquidation.
Terdapat 130 bank menurut data dari BI pada akhir Desember 2007. Akan tetapi, jumlah kantor justeru terus meningkat menjadi 9.697 kantor, mengisyaratkan kemampuan yang lebih baik untuk melayani nasabah. Jumlah Bank Persero sebanyak 5 bank dengan 2765 kantor; BUSN Devisa sebanyak 35 bank dengan 4711 kantor; BUSN Non Devisa sebanyak 36 bank dengan 778 kantor; Bank Pembangunan Daerah (BPD) sebanyak 26 bank dengan 1205 kantor; Bank Campuran sebanyak 17 bank dengan 96 kantor; dan Bank Asing sebanyak 11 bank dengan 142 kantor. Tercatat bahwa kantor Bank Asing dan Bank Campuran yang paling pesat pertumbuhannya.
Kepercayaan masyarakat terhadap perbankan berhasil dipulihkan, jika dilihat dari pertumbuhan aset dan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang berhasil dihimpun. Aset Bank umum bertambah dengan pesat dalam beberapa tahun terakhir. Jumlah total aset, selama tahun 2002 sampai dengan tahun 2007, tumbuh rata-rata lebih dari 10% setiap tahun, sehingga total aset per bulan Desember 2007 adalah sebesar Rp1.986,5 triliun. DPK yang berhasil dihimpun juga terus meningkat, sekalipun laju pertumbuhannya mulai melambat, DPK pada bank umum per 31 Desember 2007 telah mencapai Rp1.510,8 triliun.
Di sisi lain, dana masyarakat yang dihimpun oleh perbankan yang berhasil disalurkan kembali dalam bentuk kredit juga cenderung meningkat selama beberapa tahun. Angka Loan to Deposit Rasio (LDR), yang membandingkan antara kredit yang disalurkan dengan DPK yang dihimpun dan dinyatakan dalam prosentase, sempat membaik dalam beberapa tahun. Akan tetapi, selama tahun 2006, LDR kembali memburuk, dan berangsur membaik kembali pada tahun 2007. Meskipun membaik, angka LDR masih berfluktuasi di kisaran 65%, yang berarti fungsi intermediasi sektor perbankan suatu keadaan yang belum optimal. Masih sangat besar dana yang seharusnya dapat menjadi “darah segar” bagi sektor riil, jika berhasil disalurkan kepada kegiatan produktif. Padahal, BI rate atau tingkat bunga Surat berharga Bank Indonesia (SBI), yang cenderung diikuti oleh suku bunga pinjaman perbankan, terus mengalami penurunan.
Tekanan risiko kredit yang dihadapi bank membaik pada tahun 2007, setelah sempat meningkat selama tahun 2005 dan 2006. Beberapa tahun sebelumnya, risiko kredit berangsur menurun secara cukup signifikan. Hal ini ditunjukkan oleh naik turunnya rasio kredit bermasalah (NPL).
Profitabilitas perbankan relatif stagnan dalam tiga tahun terakhir, hanya sedikit mengalami perbaikan, setelah beberapa tahun sebelumnya terus meningkat. Penyebab utamanya adalah meningkatnya beban operasional, disamping peningkatan efisiensi yang sudah mulai lebih berat untuk dilaksanakan. Hal ini tercermin dari angka-angka Return on Asset (ROA) dan Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO). Rasio ROA dihitung dari laba tahun yang berjalan dibandingkan dengan total aset. Sedangkan BOPO Total beban operasional dibagi Total pendapatan operasional.
ROA sebesar 0,9% (tahun 2000) membaik sampai mencapai 3,5% (tahun 2004), kemudian menurun menjadi 2,56% (tahun 2005), serta menjadi 2,64% (2006), dan 2,78% (2007). Sedangkan BOPO sedikit menurun pada tahun 2006 dan 2007, setelah sebelumnya sempat meningkat pada tahun 2005. Tentang perkembangan ROA dan BOPO ini akan dibahas lebih detil pada bab 7.
Sementara itu, rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) perbankan juga relatif stabil selama beberapa tahun ini. Setelah peningkatan yang sangat tinggi pada tahun 2001, dan cukup tinggi pada tahun 2002, sedikit menurun pada tahun 2003, maka pada tahun-tahun berikutnya relatif stabil pada angka yang cukup aman. CAR per Nopember 2007 adalah 20,3%. Selain tergolong cukup tinggi, sebagian besarnya merupakan modal inti (Tier 1). Dengan demikian, dari segi permodalan, perbankan Indonesia tampak cukup solvable menghadapi risiko. Kondisi semacam ini, secara teoritis, sebenarnya mendukung untuk melakukan ekspansi kredit lebih besar.
Uraian dan data yang lebih lengkap mengenai perkembangan statistik perbankan diberikan pada bab 7 dan bab 8. Pada kedua bab itu, interpretasi beserta hal-hal yang berada ”dibalik angka” juga akan mencermati. Diantaranya adalah mengenai soal profitabilitas, efisiensi dan soal penyaluran kredit. Kita pun perlu membahas contoh yang bersifat mikro, mengenai kondisi kelompok bank atau bank secara individual.
F. Tentang Buku ini
Uraian buku sebagian besarnya bersifat deskriptif, menjelaskan agar detil permasalahan bisa lebih difahami, khususnya bagi pembaca yang belum akrab dengan seluk beluk perbankan. Deskripsi diberikan berkenaan dengan hal-hal yang bersifat ketentuan atau peraturan. Sumber data dan definisi yang utama adalah Undang-Undang yang berlaku, serta berbagai dokumen dan publikasi Bank Indonesia. Jika tidak disebut lain, maka berbagai definisi, ketentuan dan data dalam buku ini bersumber dari BI. Dengan demikian, sebagian uraian bersifat sangat teknis, karena memang dimaksudkan demikian. Bagi pembaca yang lebih menginginkan pemahaman umum saja terhadap ketentuan perbankan yang berlaku, bagian semacam itu dapat dilewatkan.
Pembahasan mengenai istilah atau angka-angka statistik bersifat analitis, namun disertai penjelasan sederhana. Istilah perbankan tertentu dipaparkan sedemikian rupa agar lebih mudah dimengerti oleh pembaca yang belum cukup akrab dengan istilah-istilah tersebut. Sedangkan angka-angka statistik di tampilkan secara lebih sederhana, namun dibahas secara agak mendalam dalam uraian verbal. Ada, memang, beberapa data statistik yang ditampilkan lebih kompleks, yang ditujukan bagi pembaca yang ingin lebih mendalam pengetahuannya. Bagian statistik yang semacam ini bisa dilewatkan saja bagi para pembaca yang lebih membutuhkan pemahaman umum.
Di setiap bab sebenarnya sudah diberikan pembahasan yang bersifat kritis, dengan porsi berbeda sesuai topiknya. Akan tetapi, tinjauan kritis yang menyeluruh atas perbankan Indonesia saat ini diberikan pada Bab VIII. Sebagiannya mengulangi dan memperdalam hal-hal yang sudah dibicarakan pada masing-masing bab. Tinjauan kritis dimaksud bisa berupa pencermatan hal-hal dibalik angka statistik dan membaca kombinasi angka. Dapat pula terhadap arah kebijakan, dengan argumentasi angka maupun penalaran teoritis atas kondisi-kondisi yang berpeluang besar untuk terjadi.
Pengertian kritis pada bab VIII diperluas lagi dengan mengemukakan pandangan lain yang terutama berbeda dari pemerintah dan otoritas moneter. Ada baiknya kita melihat argumen-argumen lain, termasuk yang berbeda secara radikal, dalam memandang permasalahan perbankan dewasa ini. Dengan demikian, kebijakan perbankan di masa akan datang mestinya mempertimbangkan banyak hal, tidak semata-mata dari perspektif perbankan. Apalagi jika hanya demi kepentingan sekelompok orang dalam ”bisnis bank”.
Buku ini pada dasarnya ditujukan kepada para pengambil kebijakan ekonomi Indonesia, terutama yang terkait dengan perbankan. Secara lebih umum, sebagai masukan dalam proses pengambilan kebijakan tersebut. Ini berarti mencakup siapa saja yang memiliki kepedulian. Setiap warga negara Indonesia memiliki hak untuk ikut menentukan arah pengelolaan negara ini. Apalagi bagi mereka yang bisa secara langsung mempengaruhi secara berarti, di lingukungan eksekutif maupun legislatif, di pusat dan di daerah. Masalah perbankan tidak bisa diserahkan begitu saja sepenuhnya kepada jajaran pengambil keputusan di Bank Indonesia. Setidaknya, ada proses kontrol yang baik disertai transparansi setiap argumentasi dasar atas kebijakan pokok yang diambil BI.
Buku ini memiliki pesan sederhana, pengelolaan perbankan seharusnya dikelola bukan demi keuntungan para rentenir (rent seeker), yang telah terlampau banyak mendapat subsidi. Melainkan dikelola untuk kepentingan bangsa Indonesia, yang berarti diarahkan bagi peningkatan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.