Pemerintah selalu menjelaskan bahwa kondisi utang pemerintah
masih aman terkendali, dan bahkan diberi rating yang baik oleh berbagai lembaga
pemeringkat internasional. Argumen berulang adalah porsi utang atas PDB yang
masih di kisaran 30%, dan jauh dari batas yang dibolehkan undang-undang sebesar
60%. Ditambahkan alasan penggunaan utang selama ini adalah untuk keperluan
produktif, terutama membiayai proyek-proyek strategis yang diprioritaskan. Diingatkan
pula bahwa sebagian beban utang berasal dari era pemerintahan sebelumnya.
Terlepas dari cukup beralasannya, perlu ditelusuri tentang berapa
target utang berdasar perencanaan jangka menengah yang disusun oleh pemerintah
sendiri. Salah satu diantaranya adalah Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2015 – 2019, yang ditetapkan melalui Perpres No.2/2015 tanggal
8 Januari 2015. Perpres itu menyebutkan bahwa RPJM Nasional adalah dokumen
perencanaan pembangunan nasional untuk periode 5 (lima) tahun, serta merupakan
penjabaran dari visi, misi dan program Presiden hasil Pemilihan Umum tahun
2014.
Secara teknis, pemerintah era sebelumnya memang berkewajiban
menyiapkan rancangan teknokratik. Namun, penentuan hal yang bersifat pokok telah
dilakukan selama kurun 2,5 bulan setelah pelantikan Presiden. Selain itu, langkah
membuat tim Transisi Jokowi-JK telah memberi kesempatan yang cukup untuk
membahas ide pokok dan berbagai sasaran dan target.
Pada buku I dan buku II RPJMN 2015 – 2019 dijelaskan tentang
berbagai sasaran ekonomi nasional, yang bahkan disajikan juga berupa tabel. Ada
14 indikator, termasuk tentang posisi utang pemerintah yang dinyatakan dalam
persentasi atas Produk Domestik Bruto (PDB).
“Terjaganya rasio
utang pemerintah dibawah 30 persen PDB dan terus menurun yang diperkirakan
menjadi 20,0 persen PDB pada tahun 2019… (Buku I RPJMN halaman 6-183). Dirinci
target rasio tiap pada Buku I halaman 4-16 dan Buku II halaman 3-63 sebagai
berikut: 26,7% (2015), 23,3% (2016), 22,3% (2017), 21,1% (2018), dan 19,3%
(2019). Realisasinya kemudian meleset jauh, yaitu: 27,43% (2015), 28,33% (2016),
dan 28,98% (2017).
Posisi utang pemerintah pada akhir Agustus 2018 sebesar Rp4.363
triliun pada akhir Agustus 2018. Rasionya atas PDB tahun 2018 berdasar asumsi
APBN yang sebesar Rp14.395 triliun, adalah 30,31%. Jika kurs rupiah tetap
stabil seperti saat ini, maka posisi utang pemerintah diperkirakan masih akan
bertambah karena realisasi APBN 2018 terkait pembiayaan utang. Tambahan diluar
faktor kurs rupiah sekitar Rp125 triliun, sehingga posisi utang menjadi Rp4.488
triliun pada akhir tahun 2018. Rasio utang akan tetap sedikit di atas 30%.
Mengingat target RPJMN tentang posisi utang pemerintah pada
akhir 2018 adalah 21,1% dari PDB, maka target posisi utang sebesar Rp3.037
triliun. Target meleset jauh dibandingkan perkiraan realisasi posisi sebesar Rp4.488
triliun tadi. Dan berdasar perhitungan dari angka-angka RAPBN 2019, maka akan
meleset lebih besar lagi pada akhir tahun 2019 yang ditargetkan sebesar 19,3%.
Realisasi tersebut juga amat jauh dari target yang
ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara
dalam Kepmen No113/KMK.08/2014 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara tahun
2014-2017. Bahkan masih meleset dari target yang ditetapkan pada 27 Nopember
2017 dalam Kepmen No884/KMK.08/2017 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara
Jangka Menengah tahun 2018-2021. Target rasio utang pada tahun 2018 dalam
kepmen yang belum berumur setahun itu sebesar 29,3%.
Tambahan utang tiap tahun memang naik signifikan pada era
pemerintahan Jokowi. Posisi utang pada akhir Oktober 2014 sebesar Rp2.601
triliun, naik menjadi Rp4.363 triliun pada akhir Agustus 2018. Dan berdasar
perhitungan dari angka-angka pada APBN 2018 dan RAPBN 2019, jika kurs rupiah
stabil di level sekarang setahun ke depan, maka posisi utang pada Oktober 2019
akan di kisaran Rp4.795 triliun.
Dengan demikian, utang bertambah sebesar Rp2193 triliun atau
sekitar 84,31% pada era Pemerintahan Jokowi. Sebagai perbandingan, tambahan
utang era SBY-Boediono (Oktober 2009-Oktober 2014) bertambah Rp999 triliun atau
62,36%. Sedangkan pada periode SBY-JK bertambah Rp352 triliun atau 28,16%.
Terlepas dari perdebatan tentang penggunaan dan risiko utang,
tampak bahwa realisasi utang pemerintah tak pernah sesuai dengan target jangka
menengah, baik RPJMN maupun Kepmen. Bahkan masih meleset dari rencana tahunan
yang ditetapkan setahun sebelumnya. Pemerintah terpaksa merevisi satu atau dua
kali dalam setahun tentang rencana utangnya. Perbaikan rencana utang adalah
keniscayaan di masa mendatang.