Kamis, 10 November 2016

GUBERNUR BASUKI MENGELOLA APBD LEBIH BURUK DIBANDINGKAN GUBERNUR JOKOWI

Joko Widodo (Jokowi) dilantik sebagai gubernur DKI Jakarta pada tanggal 15 Oktober 2012, dan Basuki Tjahaya Purnama (Basuki) dilantik pada tanggal 19 Nopember 2014. Meskipun Jokowi menandatangani Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun 2012, yang didalamnya tercakup laporan realisasi APBD, namun yang bisa menggambarkan pengelolaan dibawah kepemimpinannya adalah LKPD tahun 2013. Basuki yang sebenarnya sudah menjalankan fungsi sebagai gubernur sebelum dilantik pun demikian, LKPD tahun 2015 lebih representatif baginya.

LKPD keduanya diperiksa oleh BPK dan diberi opini Wajar dengan Pengecualian (WDP). Meskipun sama-sama WDP (suatu predikat dibawah wajar tanpa pengecualian), pengecualian yang menjadi dasar opini berbeda. Gubernur Basuki antara lain diberi catatan mengenai penyajian piutang pajak PBB-P2, perhitungan tagihan PKB, piutang lainnya, dan risiko salah saji saldo aset tetap. Dan banyak catatan mengenai sistem pengendalian internal yang tidak memadai. Bahkan ada catatan tentang yang perlu ditindaklanjuti dengan pemeriksaan secara hukum karena berindikasi kerugian daerah. Sedangkan pada tahun 2013, catatannya lebih sedikit, antara lain mengenai pelaksanaan sensus atas aset tetap yang kurang memadai dan beberapa bukti pengeluaran dari realisasi belanja. 
  
Pendapatan Daerah pada tahun 2013 mencapai Rp39,52 triliun atau 96,86% dari target. Pada tahun 2015 mencapai Rp44,21 triliun atau hanya 78,51% dari target. Capaian tahun 2015 memang lebih tinggi, namun kenaikan itu adalah wajar antara lain karena pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi. Kenaikan realisasi pendapatan daerah 2015 dibanding setahun sebelumnya justeru hanya sebesar 0,88%. Sedangkan kenaikan tahun 2013 dibanding tahun 2012 adalah sebesar 11,70%

Pendapatan Asli Daerah (PAD) tahun 2013 mencapai Rp26,85 triliun atau 102,08% dari target. Pada tahun 2015 mencapai Rp33,69 triliun atau hanya 88,73% dari target.  Capaian tahun 2015 memang lebih tinggi, dan naik sebesar 7,71% dibandingkan setahun sebelumnya. Akan tetapi kenaikan tahun 2013 atas tahun 2012 jauh lebih tinggi, yakni sebesar 21,83%.


Dengan kata lain, gubernur Basuki tidak berhasil mengoptimalkan pendapatan daerah pada tahun 2015. Kinerjanya lebih buruk jika dibandingkan dengan gubernur Jokowi pada tahun 2013.


Belanja Daerah secara total pada tahun 2013 mencapai Rp38,30 triliun atau 87,75% dari target, sedangkan pada tahun 2015 mencapai Rp42,66 triliun atau hanya 71,96% dari target. Dalam hal belanja operasi, realisasi tahun 2013 mencapai Rp27,59 triliun atau 87,75% dari yang dianggarkan, sedangkan pada tahun 2015 mencapai Rp32,42 triliun atau 79,48%. Yang menarik, kenaikan belanja pada tahun 2013 atas tahun sebelumnya naik secara cukup berimbang antara kenaikan total belanja, belanja operasi dan belanja modal. Sedangkan pada tahun 2015, kenaikan belanja total dari tahun sebelumnya hanya disumbang oleh belanja operasi. Belanja Operasi adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari Pemerintah Daerah yang memberi manfaat jangka pendek, meliputi Belanja Pegawai, Belanja Barang, Belanja Bunga, Belanja Subsidi, Belanja Hibah.

Sementara itu, belanja modal pada tahun 2013 mencapai Rp10,70 triliun atau 71,88% dari target, dan pada tahun 2015 mencapai Rp10,24 triliun atau 55,60%. Tampak bahwa realisasi belanja modal tahun 2015 lebih rendah sekitar Rp452 milyar dibanding tahun 2013. Suatu kondisi yang tidak lazim, padahal total belanja dan belanja operasional mengalami kenaikan yang cukup besar. Perlu dicatat pula bahwa Belanja modal tahun 2015 sebenarnya dianggarkan cukup besar dan jauh melampaui tahun 2013, namun tidak berhasil direalisasikan.

Belanja Modal adalah belanja yang digunakan untuk pembelian/pengadaan aset tetap dan aset lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan seperti perolehan tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya.

Dengan kata lain, gubernur Basuki tidak berhasil mengoptimalkan belanja daerah pada tahun 2015. Kinerjanya lebih buruk jika dibandingkan dengan gubernur Jokowi pada tahun 2013.


Dalam hal pengelolaan dan kinerja gubernur Basuki dalam keuangan daerah yang kurang baik, ada pandangan yang “menyalahkan” dua pihak lain, yaitu: pihak DPRD dan pihak aparatur Pemda (selain Gubernur). Tentu saja public dapat bertanya, bukankah DPRD nya masih sama dengan era gubernur Jokowi? Sedangkan aparatur Pemdanya sebagian besar masih sama, dan jika ada yang diganti, bukankankah itu justeru pilihan gubernur Basuki?

Kamis, 03 November 2016

ASET TETAP DKI JAKARTA BELUM DIKELOLA SECARA BAIK

Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama meminta agar semua aset Pemerintah Provinsi DKI Jakarta didata. Bahkan, aset senilai Rp 300.000 juga tidak boleh terlewati. "Agar semua dilakukan pencatatan, yang sudah keluar dana Rp 300 ribu pun itu bisa dicatat sebagai aset," ujarnya saat rapat pimpinan di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Senin 20 Juni 2016. (http://megapolitan.kompas.com/read/2016/06/20/15564131/ahok.minta.semua.aset.dki.sekecil.apa.pun.didata, diakses tanggal 3 Nopember 2016 pukul 14.51). Beberapa bulan sebelumnya, beliau juga meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menelusuri aset-aset DKI yang beralih ke pihak ketiga. "Saya ingin mereka cek duitnya ngalir ke siapa saja," kata Basuki, di Balai Kota, Rabu 13 Januari 2016. (http://megapolitan.kompas.com/read/2016/01/13/15485781/Ahok.Minta.KPK.dan.PPATK.Telusuri.Aset.DKI.agar.Tidak.Beralih.ke.Pihak.Lain diakses tanggal 3 Nopember 2016 pukul 14.56) 

Aset yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah DKI Jakarta antara lain dapat dilihat dalam Neraca Daerah yang merupakan bagian dari Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), yang disampaikan oleh Gubernur setiap tahun. LKPD tahun anggaran 2015 yang telah diaudit (audited) dalam Neraca Daerah menyatakan bahwa per tanggal 31 Desember 2015, total aset Pemda DKI Jakarta bernilai sekitar 421 triliun rupiah. Terdiri dari lima macam aset: 1. Aset lancar sebesar Rp 17.450 miliar; 2. Investasi jangka panjang sebesar Rp 22.508 miliar; 3. Aset tetap sebesar Rp 334.403 miliar; 4. Dana cadangan sebesar Rp 1.046 miliar; dan 5. Asset lainnya sebesar Rp 45.654 miliar.

Aset terbesar berupa aset tetap yang dilaporkan sekitar Rp 363.585 miliar. Terdiiri dari: Tanah Rp 284.069 miliar, Peralatan dan Mesin Rp 18.987 miliar, Gedung dan Bangunan Rp 24.170 miliar, Jalan, Irigasi, dan Jaringan Rp 32.309 miliar, Aset Tetap Lainnya Rp 1.423 miliar, Konstruksi Dalam Pengerjaan Rp 2.630 miliar. Selama satu tahun itu diperhitungkan pula akumulasi penyusutan aset tetap senilai Rp 29.181 miliar, yang merupakan akumulasi penyusutan dari: Peralatan dan Mesin; Gedung dan Bangunan; Jalan, Irigasi, dan Jaringan; serta Aset Tetap Lainnya.

Pertumbuhan nilai aset bisa dikatakan amat lambat, dan cenderung stagnan. Aset selama enam tahun hanya naik sekitar 6,43%, dari Rp 395,62 triliun (31 Desember 2009) menjadi Rp 421,06 triliun (per 31 Desember 2015). Bahkan, nilai aset tahun 2015 lebih kecil dibanding tahun 2014.

Aset tetap (setelah dikurangi akumulasi penyusutan) selama enam tahun justeru berkurang nilainya. Dari Rp366,91 triliun (31 Desember 2009) menjadi Rp334,40 triliun (31 Desember 2015). Penurunan cukup signifikan terjadi  pada tahun 2015 dibandingkan tahun 2014.
      Sumber: LKPD DKI Jakarta, 2015

Tentu saja tidak selalu menjadi masalah apabila nilai aset tetap menjadi lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Asalkan memang sesuai dengan fakta apa adanya, telah dikelola dan dicatat sesuai aturan yang berlaku, serta tidak ada (indikasi) penyimpangan atau penyalahgunaan. Antara lain bisa disebabkan karena adanya penyusutan pada bangunan, mesin, peralatan dan lainnya. Sementara itu ada hal lain pula yang membuat nilai buku aset tetap bisa tidak bertambah. Sebagai contoh, nilai tanah dicatat sesuai harga perolehannya.

Hanya saja, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah memberi beberapa catatan atas pengelolaan aset tetap Pemda DKI Jakarta dibawah kepemimpinan gubernur Basuki.  Dalam pemeriksaan atas LKPD tahun 2015 dikatakan antara lain bahwa “Pengelolaan Aset Belum Memadai serta Pencatatan dan Pelaporan Aset Tetap Tidak Melalui Siklus Akuntansi dan Tidak Menggunakan Sistem Informasi Akuntansi”. BPK menilai bahwa “Tindak Lanjut Rekomendasi BPK atas Temuan Pemeriksaan Sebelumnya Belum Tuntas.”

Dilaporkan pula bahwa Inventarisasi Lima Tahunan (Sensus) Barang Milik Daerah tahun 2013 yang belum seluruhnya ditindaklanjuti. Hasil Pemeriksaan BPK Nomor 18.B/LHP/XVIII.JKT-XVIII.JKT.2/06/2014 tanggal 19 Juni 2014 menunjukkan bahwa pelaksanaan sensus tersebut tidak cukup memadai untuk menjawab tujuan sensus yaitu untuk menghasilkan data aset yang andal dan lengkap, baik mengenai jumlah, spesifikasi, keberadaan fisik, kondisi aset serta status kepemilikan maupun daya guna sebagai bentuk dari pengamanan aset berupa penambahan aset hasil sensus senilai Rp33,83 triliun dan pengurangan aset hasil sensus senilai Rp32,32 triliun.

Dalam LHP BPK RI Nomor 13.B/LHP/XVIII.JKTXVIII. JKT.2/06/2015 tanggal 17 Juni 2015, BPK kembali melaporkan kelemahan sistem pengendalian intern yang perlu mendapat perhatian pihak Pemprov DKI Jakarta terkait Aset Tetap antara lain: a) Pembukuan atas BMD belum dilakukan secara optimal; b) Hasil Pemeriksaan BPK Tahun 2014 tentang Inventarisasi Lima Tahunan (Sensus) Barang Milik Daerah yang tidak memadai pada Tahun 2013 belum seluruhnya ditindaklanjuti; c) Laporan Barang Milik Daerah Semesteran dan Tahunan belum dibuat; d) Aplikasi Sistem Informasi Barang Daerah belum memadai; e) Pencatatan Kartu Inventaris Barang tidak akurat dan transparan; f) Barang atau aset tetap tidak dibubuhi atau ditempeli label kode barang; g) Realisasi pekerjaan yang masih berupa perencanaan dicatat sebagai Aset Tetap; h) Realisasi Belanja Barang dan Jasa seharusnya dianggarkan di Belanja Modal; i) Terdapat realisasi Belanja Pemeliharaan Tahun 2014 yang di dalamnya merupakan Belanja Pemeliharaan yang menambah masa manfaat tetapi tidak dikapitalisasi ke dalam Aset Tetap; dan j) Pengamanan bukti kepemilikan berupa sertifikat tanah oleh BPKAD belum optimal.

Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan kepada Gubernur DKI Jakarta (Basuki Tjahaja Purnama) antara lain agar: a) Membentuk tim aset berdasarkan SK Gubernur yang melibatkan seluruh SKPD/UKPD terkait untuk melakukan penertiban pengelolaan aset Provinsi DKI Jakarta secara komprehensif dan menyeluruh meliputi kegiatan antara lain perencanaan kebutuhan, pengadaan, pemanfaatan, pengamanan, pemeliharaan, penilaian, penghapusan, dan penatausahaan aset sesuai ketentuan berlaku; b) Memerintahkan Kepala BPKAD untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh tentang sistem akuntansi dan pelaporan aset barang milik daerah dengan membangun grand design sistem informasi dan penatausahaan aset barang milik daerah yang terintegrasi dengan SIPKD; dan c) Menginstuksikan kepada Kepala BPKAD untuk membuat database kepemilikan tanah berupa dokumen dan obyek/fisik tanahnya secara digital untuk seluruh aset tanah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta serta membuat monitoring atas bukti fisik sertifikat tanah yang digunakan oleh masing-masing SKPD/UKPD.

Pemprov DKI memang telah memperhatikan rekomendasi BPK tersebut, dan melakukan beberapa tindak lanjut, antara lain: a) Membentuk Kantor Pengelola Aset Daerah (KPAD) di setiap wilayah kota dan kabupaten administrasi; b) Pengembangan sistem informasi aset tetap; c) Pelaksanaan inventarisasi aset tetap di seluruh SKPD. Namun, tindaklanjut tersebut tidak memadai, serta masih menyisakan beberapa persoalan. Sebagai contoh, Pemprov DKI Jakarta telah mengembangkan Sistem Informasi Aset (e-Aset) untuk penatausahaan aset daerah pada Tahun 2014 dan hingga saat ini masih dalam proses pengembangan. Aplikasi e-Aset merupakan aplikasi yang berbasis web. Masing-masing user pada setiap SKPD dapat melakukan input pada http://aset.jakarta.go.id. Sistem ini belum digunakan dalam penyusunan laporan keuangan Tahun 2015. Sedangkan Pelaksanaan inventarisasi aset berpedoman pada Instruksi Gubernur Nomor 187 Tahun 2015 tentang Percepatan Peningkatan Akuntansi Pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD) yang mulai dilaksanakan pada September 2015 dan direncanakan selesai pada Desember 2016. Hingga saat ini, pelaksanaannya masih tersendat dan sangat mungkin tidak selesai dengan baik pada waktunya.

Meskipun demikian, Pemeriksaan BPK hingga semester pertama tahun 2016 masih memberi catatan penting yang menguatkan masih belum baiknya pengelolaan aset tetap. Contohnya: 1) Tanah dan/ atau bangunan milik Pemprov DKI Jakarta senilai Rp8,11 triliun dalam sengketa/dikuasai/ dijual pihak lain: 2)Kepemilikan aset tidak didukung bukti yang sah. Aset tanah yang belum bersertifikat atas nama Pemprov DKI Jakarta minimal seluas 17.392.884m² senilai Rp98,88 triliun. Permasalahan ini mengakibatkan aset tanah milik Pemprov DKI Jakarta rawan dituntut oleh pihak lain yang dapat merugikan Pemprov DKI Jakarta.

Berbagai aspek teknis dan rinci tentu saja memerlukan pemeriksaan silang semua pihak, tidak hanya BPK. Gubernur dan seluruh aparat pemda DKI Jakarta yang terkait pun musti memiliki kemauan dan upaya menjelaskan kepada publik yang lebih luas. Yang tidak kalah pentingnya, mengelola aset negara bernilai ratusan triliun rupiah memerlukan sistem (dan tata kelola), bukan bertumpu pada kebijakan satu atau beberapa orang pemimpin saja. Sistem dan tata kelola yang baik, transparan, akuntabel dan patuh pada aturan. Salah satu kuncinya adalah sistem pengendalian internal, yang  dinilai BPK juga masih belum memadai untuk tahun 2015.

Bagaimanapun, publik berhak tahu kenapa nilai aset DKI Jakarta menurun, khususnya nilai aset tetap. Dan sebagaimana yang dikatakan pak Gubernur Basuki sendiri, nilai sekecil apa pun harus tercatat, dan jika ada yang beralih ke pihak ketiga, musti ditelusuri. Pengelolalan aset bahkan bukan hanya soal pengamanan saja, melainkan seberapa bermanfaat untuk rakyat selama ini. Apakah manfaatnya masih bisa ditingkatkan di masa depan, terlepas dari siapapun gubernurnya.


Selasa, 01 November 2016

GUBERNUR PERTAHANA PERLU MENJELASKAN MENGAPA BELANJA HIBAH DAN BANTUAN SOSIAL DKI JAKARTA MEMBENGKAK PADA TAHUN 2016

“Hibah dan bansos merupakan instrumen yang penuh risiko. Bentuk risiko terkait hibah dan bansos dapat berupa penyalurannya tidak tepat sasaran, atau bahkan fiktif. Apalagi risiko hibah dan bansos disalahgunakan untuk pemenangan kepala daerah apabila penyalurannya bersamaan dengan pelaksanaan pilkada,” kata Binsar H. Simanjuntak, Deputi Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Bidang Polhukam. Binsar menyampaikan itu dalam Focus Group Discussion (FGD) Penguatan Tata Kelola Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD dalam Rangka Efektivitas Penggunaan Keuangan Negara pada 19 Mei 2016 lalu, di kantor BPKP pusat. Dalam kesempatan yang sama, Dadang Kurnia, Deputi Kepala BPKP Bidang Penyelenggaraan Keuangan Daerah juga mengingatkan, “hibah dan bansos memang berisiko tinggi, dan perlu ditangani oleh sistem yang baik, orang yang kompeten mengimplementasikan sistem tersebut karena keduanya tidak bisa dipisahkan.”

Belanja Hibah adalah Pemberian bantuan dalam bentuk uang/barang/jasa kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya. Belanja Bantuan Sosial adalah pemberian bantuan dalam bentuk uang/barang/jasa kepada kelompok/anggota masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bantuan ini tidak dapat diberikan secara terus menerus/tidak berulang, selektif dan memiliki kejelasan peruntukan penggunaannya.

Berdasar LKPD DKI Jakarta tahun 2015, serapan belanja menurut jenisnya yang tertinggi adalah pada belanja Hibah sebesar 96,20%, dan belanja Bantuan sosial sebesar 99,96%. Total keduanya secara nominal dianggarkan sebesar Rp 3.873,26 miliar, dan direalisasikan sebesar Rp 3.804,55 miliar (98,22%). Realisasi secara nominal maupun persentase dari target yang lebih besar dibandingkan masing-masing dari belanja tanah atau belanja peralatan dan mesin atau belanja jalan, irigasi dan jaringan.



Kedua jenis belanja ini tidak memerlukan lelang, melainkan merujuk kepada penetapan APBD, serta ada yang kemudian dirinci oleh Keputusan Gubernur. Perlu diketehui bahwa tingkat serapan seluruh Belanja dan Transfer tahun 2015 hanya 72,10%, dan khusus Belanja Modal hanya hanya 55,60%. 

APBD DKI Jakarta tahun 2016 telah menetapkan Belanja Hibah sebesar Rp 2.550,50 miliar dan Belanja Bantuan Sosial sebesar Rp 2.524,19 miliar, naik pesat dibanding tahun 2015. Sementara itu, Belanja Modal justeru dianggarkan turun dari Rp 18.425,71 miliar menjadi Rp 16.182,96 miliar. Kedua jenis belanja ini bertambah lebih banyak dibanding kenaikan total belanja yang hanya naik sangat sedikit dari Rp 59.284,37 miliar menjadi Rp 59.945,52 miliar. Khusus Belanja Hibah naik sebesar 42,87 persen, terbilang fantastis.



Jika dilihat catatan tahun-tahun sebelumnya, memang belanja Hibah pernah dianggarkan lebih besar, yakni sebesar Rp 2.714,82 miliar pada tahun 2014. Namun secara prosentase dari total belanja sama-sama sekitar 4,26%. Dan kemudian realisasi belanja Hibah pada tahun 2014 ternyata hanya 53,85% dari yang ditetapkan. Sedangkan pada tahun 2016, dari proyeksi berdasar informasi realisasi sementara tampaknya akan melebihi 95% dari target.

Yang menarik adalah pemberitaan dalam http://ahok.org/berita/news/ahok-tanyakan-dana-hibah-wagub-jawab-ngga-tahu/ (diakses pada 19 Oktober 2016 pukul 23.30) diberitakan bahwa  Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto kesulitan menjawab pertanyaan calon wakil gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, tentang dana hibah dalam APBD DKI Jakarta 2012. Dikatakan bahwa Ahok menyatakan bahwa tidak masuk akal bila ada peningkatan signifikan dalam pos dana hibah dan bantuan sosial pada APBD tahun ini. Apalagi, kenaikan ini berbarengan dengan agenda Pilkada DKI Jakarta. “Nah kalau tahun ini, Rp 1,4 triliun tidak ada kegiatan. Ini lebih cenderung untuk kegiatan Pilkada atau apa? Itu yang saya tanyakan pada Pak Prijanto dan beliau mengaku tidak tahu sama sekali. Kalau tahun lalu saja sudah susah jawab, apalagi tahun ini,” ujar Ahok.

Pertanyaan yang sama bisa ditujukan kepada Ahok saat ini. Apalagi pembahasan RAPBD 2017 sejauh ini justeru menurunkan kembali dana Hibah. Mengapa dana Hibah (bisa ditambahkan dengan bansos) meningkat amat pesat tahun 2016 yang bersamaan dengan Pilkada?   

Kamis, 27 Oktober 2016

APBN 2017 LEBIH REALISTIS NAMUN MASIH PENUH RISIKO

APBN 2017 disahkan oleh sidang DPR kemaren sore, yang ditandai beberapa perubahan dari RAPBN yang diajukan Pemerintah. Asumsi pertumbuhan ekonomi turun dari 5,3% menjadi 5,1%. Sedikit diluar kebiasaan DPR yang cenderung menaikkan atau setidaknya mempertahankan usulan Pemerintah. Perlu diingat bahwa asumsi APBNP 2016 adalah 5,2%, sedangkan realisasi hingga satu semester adalah 5,0%. Realisasi 2016 kemungkinan memang antara 5,0-5,1%.

Menarik pula jika membandingkan asumsi ini dengan prakiraan (forecast) yang telah dikeluarkan oleh berbagai lembaga internasional yang kisarannya antara 5,2 – 5,3 %, bahkan Fitch pada bulan Mei lalu sempat optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2017 bisa mencapai 5,5%. Catatannya, berbagai ramalan tersebut memang disampaikan beberapa bulan lalu, dan besar kemungkinan akan ada update di kisaran yang sama dengan asumsi APBN 2017.

Bisa ditafsirkan bahwa DPR memang tidak seoptimis Pemerintah tentang kondisi perekonomian tahun depan, yang pertumbuhannya akan setara saja dengan tahun ini. Kali ini, Pemerintah "dipaksa" DPR lebih realistis dalam hal asumsi pertumbuhan ekonomi.Tahun 2017 akhirnya disepakati masih merupakan tahun yang penuh tantangan (risiko) bagi perekonomian, dan juga bagi pengelolaan fiskal.
Pemerintah mengakui bahwa pemotongan anggaran di tahun 2016 menyebabkan pertumbuhan konsumsi pemerintah mengalami penyesuaian termasuk untuk 2017, dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Namun, konsumsi RT diperkirakan masih tumbuh cukup tinggi sejalan dengan inflasi yang relatif terkendali terutama harga barang kebutuhan pokok. Sedangkan PMTB diperkirakan meningkat namun belum cukup kuat terutama masih relatif lemahnya permintaan domestik. Ada sedikit perbaikan pada kinerja ekspor yang diyakini masih tumbuh positif, meski pada kondisi masih lemahnya permintaan negara Mitra Dagang Utama.

Penurunan asumsi pertumbuhan ekonomi ternyata tidak membuat target Pendapatan dan proyeksi belanja turun dari usulan RAPBN. Ada beberapa perubahan perhitungan teknis yang disepakati oleh DPR dan Pemerintah yang membuat sedikit penurunan asumsi itu terkompensasi oleh perhitungan lainnya.  Anggaran belanja negara 2017 mencapai Rp 2.080,5 triliun, atau naik Rp 10 triliun dari usulan semula. Mendekati lagi APBNP 2016 yang sebesar Rp 2.082,9 triliun. Pendapatan negara ditetapkan Rp 1.750,3 triliun atau lebih besar Rp12,7 triliun dari rencana semula. Dengan demikian, defisit anggaran menjadi Rp330,2 triliun atau setara dengan 2,41 persen dari PDB.



Meskipun sedikit turun dari target APBNP 2016, target pendapatan 2017 masih terbilang tinggi dan bernuansa optimis. Kemungkinan salah satu alasannya adalah keberhasilan kebijakan amnesti pajak. Dijelaskan bahwa kebijakan utama optimalisasi penerimaan negara antara lain adalah: Melanjutkan dukungan insentif fiskal, mendorong iklim investasi & dunia usaha; Fokus penerimaan terutama pada sektor perdagangan dan WP pribadi. Ekstensifikasi melalui Geo Tagging; Memperbaiki basis pajak dan kepatuhan wajib pajak melaui penguatan database pajak, optimalisasi penggunaan IT dan konfirmasi status wajib pajak; Mengoptimalkan perjanjian pajak internasional; Cukai dan pajak lainnya untuk mengurangi konsumsi pada produk tertentu (dan atau untuk mengurangi) dengan eksternalitas negatif; serta Optimalisasi PNBP dengan tetap memperhatikan pelestarian sumber daya alam dan peningkatan kualitas pelayanan publik.

Sedangkan masih besarnya belanja, meski tetap dilakukan langkah-langkah efisisensi adalah untuk mendukung belanja yang lebih produktif. Dikatakan bahwa APBN 2017 tetap merupakan kebijakan fiskal yang ekspansif  dengan komitmen pada reformasi penganggaran serta prinsip kehati-hatian. Kebijakan utama belanja antara lain adalah: Fokus pada infrastruktur dan belanja sosial; Efisiensi pada belanja barang; Mempertahankan anggaran kesehatan (5%), pendidikan (20%); Fleksibilitas dalam merespon kondisi perekonomian Mitigasi bencana alam & risiko fiskal; serta  Percepatan penyerapan anggaran.

Sebagaimana yang sudah aku tulis terdahulu, Pemerintah kali ini menyadari dan mulai fokus pada soal kesinambungan fiskal. Antara lain dikatakan: Menjaga defisit dibawah 3% terhadap PDB; Memperbaiki mekanisme pembiayaan untuk proyek infrastruktur dan pembiayaan usaha kecil menengah; Investasi pemerintah yang lebih selektif; Menyempurnakan mekanisme penjaminan untuk percepatan pembangunan infrastruktur.



Bagaimanapun, APBN 2017 memang lebih realistis dibanding APBNP 2015, APBN 2016, dan bahkan APBNP 2016. Akan tetapi risiko fiskal sudah terlanjur membesar. Baik karena “mengendalikan” belanja yang sudah terlanjur naik pesat, maupun karena beban utang yang makin besar. Bisa dikatakan bahwa langkah berani dan radikal mengurangi subsidi energi tidak mencukupi kenaikan belanja dan perubahan alokasinya. Target penerimaan perpajakan yang terlampau optimis masih belum bisa dipenuhi, meski membaik dengan kebijakan amnesti pajak. Kelanjutan mengoptimalkan kebijakan amnesti pajak sebagai langkah awal reformasi perpajakan nampaknya masih membutuhkan waktu beberapa tahun ke depan. Kenaikan penerimaan perpajakan tahun 2017 kemungkinan masih wajar (alamiah) karena terkompensasi kondisi perekonomian yang masih lesu, serta butuh waktunya reformasi dimaksud.

Belanja yang mulai dapat dikendalikan adalah belanja Kementerian/Lembaga. Transfer Daerah dan Dana Desa juga sedikit bisa diperbaiki, meski terkendala aturan yang mengikat. Sedangkan belanja non K/L masih belum dapat ditekan signifikan, khususnya belanja bunga. Sedangkan dalam hal belanja subsidi, perhitungan dampak ekonomi dan politiknya masih rumit. Jika dikurangi lagi masih dapat diperdebatkan apakah tidak akan memperburuk kondisi ekonomi, khususnya bagi rakyat kebanyakan. Patut diperhitungkan bahwa dampak pengurangan subsidi energi masih tetap terasa, sehingga cukup berisiko jika dikurangi lagi berbagai subsidi lainnya, ditengah perekonomian yang masih belum pulih.


Sekali lagi, kesinambungan fiskal masih penuh risiko. Butuh kerja keras Pemerintah yang musti didukung oleh otoritas ekonomi yang lain (BI dan OJK). Optimisme dunia usaha dan konsumen (rakyat) perlu tetap dipelihara, termasuk dengan menjaga stabilitas sosial dan politik.   

Rabu, 26 Oktober 2016

KESINAMBUNGAN FISKAL MENJADI TANTANGAN SERIUS PEMERINTAH

Istilah Kesinambungan fiskal muncul  hingga 16 kali dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2017. Namun tanpa definisi berupa kalimat yang tegas. Istilah dipakai lebih dalam konteks menjaga, memelihara dan tampak kekhawatiran tentang soalan itu kini dan beberapa tahun ke depan. Terlihat pula istilah kesinambungan sering bertukar tempat atau terkait sangat erat dengan ketahanan fiskal.  
Pengertian yang umum dari kesinambungan fiskal suatu negara sebagai ketiadaan risiko gagal bayar utang dan bunganya. Secara penalaran biasa berarti pengeluaran operasional sebagai negara terjamin oleh penerimaan yang cukup terukur atau terprediksi ke depannya.

Apa indikator mengukur tingkat kesinambungan fiskal? Bisa macam-macam, yang penting bisa memberi “warning” agar dapat diambil langkah perbaikan atau kebijakan berjaga-jaga dari risiko terburuk. Diantaranya adalah:1. rasio keseimbangan primer terhadap PDB;2. rasio utang pemerintah terhadap PDB; 3. rasio pembayaran bunga utang pemerintah terhadap pendapatan negara.

Keseimbangan primer (primary balance), yang sebenarnya adalah suatu neraca. Pendapatan dikurangi belanja, tanpa memasukkan pembayaran bunga utang dalam belanjanya. Jika angkanya positif (surplus) berarti sebagian bunga utang (jika besar bisa seluruhnya) dibayar dari pendapatan. Jika negatif (defisit) berarti sebagian bunga utang dibayar tidak dari pendapatan melainkan dari utang baru. Keseimbangan Primer Indonesia sudah negatif sejak tahun 2012, dan proyeksi Kemenkeu RI masih akan negatif hingga tahun 2020. Yang diupayakan hanya menekan agar tidak terus membesar secara prosentasi dari PDB dan dari Pendapatan. Dari indikator ini kesinambungan fiskal SANGAT RAWAN. 

Rasio utang pemerintah terhadap PDB (debt to GDP ratio) terbilang aman karena masih di bawah angka 30 %. Namun kecenderungannya memburuk dalam dua tahun terakhir. Naik dari 24,7% menjadi 27,7%. Angka 27,7% juga masih proyeksi APBNP 2016, yang kemungkinan sedikit meleset karena utang baru lebih besar daripada yang ditargetkan, sehingga kisarannya lebih mendekati 28%. Masih aman, namun PATUT MULAI DIWASPADAI.


Rasio pembayaran bunga utang (debt service) pemerintah terhadap pendapatan negara juga terbilang masih aman, namun terus memburuk dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2012, pembayaran bunga utang masih 7,5% dari penerimaan, terus naik tiap tahun, hingga diproyeksikan menjadi 10,7% pada akhir tahun nanti. Kemungkinan bisa mencapai 10,9% karena pembayaran bunga melebihi target, sedang penerimaan di bawah target. Masih aman, namun AMAT PERLU DIWASPADAI.


Harus difahami bahwa beban utang ini tidak semata “tanggung jawab” pemerintahan Jokowi, karena bersifat akumulatif. Pemerintahan Jokowi selama dua tahun ini bisa dibilang terlampau ekspansif dalam kebijakan fiskal, sehingga deficit melebar, utang tumbuh lebih cepat, dan akibatnya indikator kesinambungan fiskan memburuk. Jika belanja prioritas dan turunannya kemudian menghasilkan kemampuan membayar yang lebih baik di masa mendatang, maka tidak akan ada masalah yang berarti. Misalkan pertumbuhan ekonomi menjadi lebih tinggi, pendapatan meningkat (baik karena pertumbuhan itu ataupun kebijakan semacam amnesti pajak), efisiensi belanja membaik, biaya utang menurun signifikan (terutama turunnya yield SBN karena “bargaining” yang lebih kuat), dan lain-lain.


Berutang sebenarnya tidak bisa dihindarkan oleh negara mana pun, namun masalahnya adalah pada KEMAMPUAN MEMBAYAR di kemudian hari. Tantangannya apakah kebijakan fiskal pemerintah akan meningkatkan hal itu, dan kemudian mampu memelihara kesinambungan fiskal. Dan pada akhirnya, apakah kebijakan fiskal itu memenuhi fungsi alokatif, fungsi distributif dan fungsi stabilasasi. Yang kesemuanya berujung kepada peningkatan kesejahteraan umum. Adil, makmur dan sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia.     




Minggu, 23 Oktober 2016

BELANJA HIBAH DAN BANTUAN SOSIAL DKI YANG TINGGI?

Berdasar LKPD tahun 2015, serapan belanja menurut jenisnya yang tertinggi adalah pada Belanja hibah sebesar 96,20%, dan belanja bantuan sosial sebesar 99,96%.  Ada lagi Transfer/Bantuan Keuangan sebesar 92,52%. Total ketiganya secara nominal pun cukup besar, mencapai Rp 4.175,70 miliar atau 9.71% dari total realisasi Belanja dan Transfer. Lebih besar dibandingkan belanja tanah atau belanja peralatan dan mesin atau belanja jalan, irigasi dan jaringan.


Belanja Hibah adalah Pemberian bantuan dalam bentuk uang/barang/jasa kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya. Belanja Bantuan Sosial adalah pemberian bantuan dalam bentuk uang/barang/jasa kepada kelompok/anggota masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bantuan ini tidak dapat diberikan secara terus menerus/tidak berulang, selektif dan memiliki kejelasan peruntukan penggunaannya. Transfer / Bantuan Keuangan adalah pemberian bantuan dalam bentuk uang yang bersifat umum atau khusus kepada pemerintah daerah lainnya dalam rangka peningkatan kemampuan keuangan, termasuk kepada partai politik.

Sepintas tampak bahwa serapan belanja yang hampir memenuhi target adalah belanja hibah dan belanja bantuan sosial. Kedua jenis belanja ini tidak memerlukan lelang, melainkan merujuk kepada penetapan APBD, serta ada yang kemudian dirinci oleh Keputusan Gubernur. Sekali lagi perlu dicermati bahwa tingkat serapan seluruh Belanja dan Transfer tahun 2015 hanya 72,10%, dan khusus Belanja Modal hanya hanya 55,60%. Sedangkan Belanja hibah mencapai 96,20%, dan belanja bantuan sosial bahkan mencapai 99,96%.

Analisis dapat pula dilakukan dengan perbandingan antar tahun. Realisasi Belanja Hibah 2015 (96,20%) lebih tinggi dibandingkan tahun 2014 yang sebesar 53,85%. Lebih tinggi pula dibandingkan rata-rata serapan belanja hibah selama lima tahun (2009-2013) sebesar 92,68%.


Realisasi Belanja Bantuan Sosial 2015 (99,96%) jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2014 yang sebesar 55,71%. Dan jauh lebih tinggi dari rata-rata serapan belanja Bantuan Sosial selama lima tahun (2009-2013) yang sebesar 68,66%

Kadang yang bisa membingungkan publik, bahkan para pengamat keuangan yang lebih ahli, adalah pemberitaan (dari media masa yang kredibel dan berita terverifikasi) tentang angka-angka penyaluran hibah dan atau bantuan sosial. Jika ditelusuri dalam LKPD, beberapa pihak yang terberitakan tersebut tidak tampak dalam laporan. Seperti yang disebut di atas, para penerima Hibah musti tercantum dalam Keputusan Gubernur, yang juga tetap merujuk pada APBD tahun bersangkutan.
Tentu saja tidak berarti pasti ada penyimpangan secara hukum, namun tetap ada masalah dalam transparansi dan pertanggungjawaban publik. Sebagai contoh, kebanyakan Surat Keputusan Gubernur terkait tidak ada di web resmi, begitu pula dalam LKPD hanya SKPD/UPKD yang tercantum, ratusan para penerima tidak ada. Salah satu masalahnya adalah dalam pemberitaan media atau pengumuman hibah biasa tercampur antara tiga pos belanja: Belanja Hibah, Belanja Bantuan Sosial, dan Transfer/Bantuan Keuangan. Bahkan kadang ada berita mengenai dana non budgeter, diterima sebagai hibah dan belanja sebagai hibah, namun tidak masuk dalam LKPD.

Dengan demikian, salah satu topik yang perlu diperbincangkan dalam Pilkada DKI adalah pengelolaan dana (APBD) terkait tiga jenis Belanja/Transfer tersebut. Perlu diketahui bahwa dalam khasanah Keuangan Negara Pusat, soal jenis bantuan sosial makin dipelototi dan perlahan diminimalkan porsinya. Sedang dalam kasus DKI tampak membesar dianggarkan, serta paling tinggi realisasinya. 

Jika pengelolaan keuangan daerah semakin efisien dan efektif, maka kemungkinan besar jenis-jenis belanja semacam ini porsinya menurun. Apalagi jika dikaitkan dengan isyu transparansi, antara lain soal  e-budgeting dan lelang terbuka, maka pos-pos tersebut kontradiktif. Terbuka peluang perbaikan yang signifikan di masa mendatang.

BELANJA MODAL DKI JAKARTA BELUM OPTIMAL

Belanja Daerah dan Transfer  dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang disajikan menurut Klasifikasi Ekonomi didasarkan pada jenis belanja untuk melaksanakan aktivitas. Terdiri dari: 1) Belanja Operasi, 2) Belanja Modal, 3) Belanja Tak Terduga, dan 4) Transfer.

Belanja Operasi adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari Pemerintah Daerah yang memberi manfaat jangka pendek, meliputi Belanja Pegawai, Belanja Barang, Bunga, Subsidi, Hibah dan Bantuan Sosial. Belanja Modal digunakan untuk pembelian/pengadaan aset tetap dan aset lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan seperti perolehan tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya.

Analisis atas rincian belanja menurut jenis ini dapat dilakukan pada satu tahun anggaran, biasanya melihat tingkat realisasi. Jenis belanja apa yang rendah realisasinya dan dibicarakan faktor penyebab utama. Gubernur (Pemda) kadang memberi penjelasan dalam LKPD, dan sering dalam forum bersama legislatif ataupun penjelasan ke media masa. Jika ada masalah (rendahnya realisasi), mingkin bisa pada aspek perencanaan (penganggaran) maupun aspek pelaksanaan, atau keduanya.
Dalam hal belanja operasi, dalam kondisi apa pun biasanya penyerapan tetap tinggi. Dalam hal belanja pegawai kadang sedikit menyesuaikan dengan belanja modal. Sebagian aspek belanja modal perlu dana yang terkategori belanja pegawai, seperti dampak pemeliharaan ketika telah terbeli. Ketika sebagian mesin dan peralatan tidak terealisasi, maka sebagian alokasi belanja pegawai pun tak terjadi. Salah satu cara melihat hal ini adalah merujuk kepada rincian klasifikasi belanja menurut Kelompok Belanja terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja pegawai menjadi terbagi dalam kedua rincian, yang jika dijumlahkan sama dengan belanja pegawai menurut klasifikasi ekonomi.

Tingkat realisasi (biasa disebut penyerapan dalam pemberitaan) Belanja dalam APBD DKI Jakarta tahun 2015 menurut jenis adalah sebagai berikut: Belanja Operasi realisasinya 79,48%. Terdiri atas: a. Belanja Pegawai 88,76%, b.Belanja Barang dan Jasa 64,76%. c. Belanja Bunga 11,89%, d. Belanja Subsidi 70,12%, e. Belanja Hibah 96,20%, f. Belanja Bantuan Sosial 99,96%. Sepintas tampak bahwa serapan belanja yang hampir memenuhi target adalah belanja hibah dan belanja bantuan sosial. Kedua jenis belanja ini tidak memerlukan lelang, melainkan merujuk kepada penetapan APBD, serta ada yang kemudian dirinci oleh Keputusan Gubernur. Realisasi Belanja barang dan jasa justeru tampak amat rendah, yang dapat diberi tafsiran tentang tidak optimalnya operasional Pemda. Jika masalahnya adalah pada besarnya nilai rencana belanja jenis itu, berarti ada yang kurang dalam manajemen pemerintahan, karena prosesnya melibatkan hampir semua pihak dalam kepemimpinan Gubernur. Rencana pun diajukan atas nama gubernur, dan untuk kasus anggaran 2015 ditetapkan oleh Peraturan Gubernur (bisanya oleh Peraturan Daerah).


Sementara itu belanja pegawai sebesar 88,76% adalah belum optimal, meski terbilang masih cukup besar, terutama karena realisasi belanja modal yang hanya 55,60%. Terdiri dari: a. realisasi Belanja Tanah 46,91%, b. realisasi Belanja Peralatan dan Mesin 62,22%, c. realisasi Belanja Gedung dan Bangunan 60,45%, d. realisasi Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan 61,95%, e. realisasi Belanja Aset Tetap Lainnya 40,54%. Bagaimanapun belanja modal per definisi makroekonomi adalah termasuk investasi yang memiliki efek pengganda bagi pertumbuhan ekonomi. Rendahnya penyerapan musti ditelusuri lebih jauh karena menyia-nyiakan potensi. Sebagai tambahan argumentasi, APBD masih surplus, dengan utang yang amat kecil, bahkan masih ada piutang dana Transfer Pemerintah Pusat yang sangat besar.

Beberapa versi penjelasan beredar dalam dokumen, pemberitaan media ataupun pernyataan Gubernur dan atau pejabat. Ada soal kesulitan pembebasan tanah, baik karena soal harga ataupun teknis lain. Kembali musti diperiksa pada tiap kasus, bagaimana perencanaannya, apa kesulitan pastinya. Bukankah ini “hanya” perencanaan berdurasi satu tahu, mengapa faktor-faktor tersebut sampai tidak terukur. Ada soal isyu “anggaran siluman” dari pihak legislatif yang bersekongkol dengan oknum birokrasi Pemda. Artinya perlu dicermati lagi, dan sekali lagi Gubernur memiliki “power” yang amat besar sejak rencana, sehingga bagaimana solusinya. Untuk anggaran tahun 2015, bukankah Pergub atau APBD versi Gubernur yang dijalankan, bukan peraturan daerah. Isyu tersebut pastinya antara lain akan tersaji dalam belanja modal lainnya, selain tanah. Dan kemungkinan sudah pula “tergunting” dalam rendahnya serapan belanja barang di atas. Tampaknya, gubernur (Pemda) memiliki “utang penjelasan” atas serapan yang amat rendah pada belanja modal (serta belanja barang dan jasa) tahun 2015.  

Analisis dapat pula dilakukan dengan perbandingan antar tahun, maka akan diperoleh kemajuan atau bisa pula keterlambatan dalam aspek-aspek tertentu. Melanjutkan contoh dari data di atas,  realisasi Belanja Modal yang amat rendah yakni sebesar 55,60% dari target pada tahun 2015 bagaimana jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Ternyata realisasi tahun 2014 justeru lebih rendah (mungkin ada cutinya Gubernur pada saat Pilpres, dilanjutkan masa posisi terpilih Presiden) sebesar 40,78%. Sedangkan rata-rata penyerapan selama lima tahun (2009 – 2013) adalah 71,31%. Dengan kata lain, serapan belanja modal tahun 2015 masih jauh dari rata-rata itu.

Rincian serapan belanja modal selain tanah juga bisa lebih menggambarkan seberapa optimal Pemda memberi kontribusi mendorong pertumbuhan ekonomi (termasuk penyerapan tenaga kerja). Pada tahun 2015, serapan belanja Belanja Peralatan dan Mesin mencapai 62,22% dari target. Memang lebih tinggi dibanding tahun 2014 yang hanya 53,20%. Masih jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata penyerapan selama lima tahun (2009 – 2013) sebesar 79,14%.

Serapan Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan pada tahun 2015 adalah sebesar 61,95%. Jauh lebih tinggi dibanding tahun 2014 yang hanya 33,63%. Masih jauh lebih rendah dibandingkan  rata-rata penyerapan selama lima tahun (2009 – 2013) sebesar 74,25%.


Ada baiknya dalam wacana Pilkada, calon gubernur pertahana memberi penjelasan tentang tidak optimalnya belanja modal, terutama belanja Belanja Peralatan dan Mesin serta  Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan. Apa kendalanya dan bagaimana rencana dia ke depannya. Sedangkan para penantang dapat mencermati angka-angka yang lebih rinci (misal data yang lebih detil dari yang tidak direalisasi), lalu memberi ide untuk mengatasinya. 

Sabtu, 22 Oktober 2016

MEMAHAMI KEUANGAN PEMERINTAH DKI JAKARTA (bagian 6)

Pada dasarnya terdiri atas tiga bagian, yaitu: anggaran Pendapatan, anggaran Belanja, dan Pembiayaan Anggaran. Pendapatan adalah hak pemerintah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Belanja adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.

Ada dua istilah lain yang perlu diperhatikan, yaitu penerimaan dan pengeluaran. Penerimaan adalah uang yang masuk ke kas. Pengeluaran adalah uang yang keluar dari kas. Sebagai contoh, pendapatan adalah penerimaan yang tidak perlu dibayar kembali. Namun ada penerimaan yang perlu dibayar kembali, seperti utang, yang dimasukkan dalam pembiayaan. Ada juga pengeluaran pembiayaan, yang diharapkan akan menghasilkan pendapatan di masa datang, seperti investasi.


Realisasi Pembiayaan Daerah DKI Jakarta pada tahun Anggaran 2015 terdiri dari: 1. Penerimaan Pembiayaan sebesar Rp9.209,78 miliar. Nilai tersebut diperoleh dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) tahun lalu berdasarkan LKPD tahun 2014 sebesar Rp9.160,90 miliar dan penerimaan Pinjaman Dalam Negeri-Pemerintah Pusat sebesar Rp48,88 miliar. 2. Pengeluaran Pembiayaan sebesar Rp5.454,18 miliar, terdiri dari: a. Pembentukan Dana Cadangan Rp 79 miliar, b. Pembayaran Pokok Utang Rp 4,08 miliar, c. Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) Daerah Rp 5.371,09 miliar.

Berbeda dengan APBN yang bagian pembiayaan didominasi oleh penerimaan utang dan pembayaran utang, APBD DKI Jakarta hanya mencatat soalan itu dalam nilai yang terbilang kecil. Penerimaan pembiayaan terbesar adalah dari SILPA, sedangkan pengeluaran terbesar adalah Penyertaan Modal Pemerintah (PMP).  
Tentang SILPA, selain dicatat dalam laporan realisasi APBD, dicatat pula dalam Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih (dimunkinkan menjadi sisa kurang). Secara umum, SILPA tahun 2014 seluruhnya masuk sebagai penerimaan tahun 2015, kemudian diperhitungkan surplus tahun 2015, serta pembiayaan netto tahun 2015. Hasilnya SILPA tahun 2015.

Kita lihat lebih lanjut pos terbesar dalam pengeluaran pembiayaan, yaitu realisasi PMP Provinsi DKI Jakarta tahun 2015 sebesar Rp5.371.09 miliar. PMP diberikan kepada: 1) PD Dharma Jaya sebesar Rp46 miliar, 2) PD Pal Jaya sebesar Rp70 miliar, 3) PT Jakarta Propertindo sebesar Rp1.500 miliar, 4) PT Bank DKI sebesar Rp1.000 miliar, 5) PT Mass Rapit Transit Jakarta sebesar Rp2.015 miliar, 6) PT Transportasi Jakarta sebesar Rp700 miliar, 7) PT Penjamin kredit Daerah sebesar Rp40 miliar.
PMP kepada PD Dharma Jaya sebesar Rp46 miliar, sesuai dengan Keputusan Gubernur Nomor 2701 Tahun 2015 diberikan dalam rangka pembibitan dan penggemukan sapi di Nusa Tenggara Timur, pembangunan Tempat Penampungan dan Pemotongan Ayam (TPNA dan TPA) dan alat produksi laiinya, revitalisasi alat produksi dan pengembangan usaha, serta perbaikan manajemen, sistem, dan infrastruktur.

PMP kepada PD Pal Jaya sebesar Rp70 miliar sesuai dengan Keputusan Gubernur Nomor 2782 Tahun 2015 diberikan dalam rangka percepatan layanan pengelolaan air limbah di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta 
.
PMP kepada PT Jakarta Propertindo sebesar Rp1.500 miliar sesuai dengan Keputusan Gubernur Nomor 2698 Tahun diberikan dalam rangka investasi pada proyek properti, infrastruktur, utilitas serta pengembangan bisnis PT Jakarta Propertindo.

PMP kepada PT Bank DKI sebesar Rp1.000 miliar sesuai dengan Keputusan Gubernur Nomor 2783 Tahun 2015 diberikan dalam rangka memperkuat modal PT Bank DKI untuk menjaga rasio kecukupan modal (CAR), ekspansi kredit, pengembangan jaringan layanan, penyempurnaan teknologi informatika (core banking system) dan pertumbuhan un-organic.

PMP kepada PT Mass Rapit Transit Jakarta sebesar Rp2.015 miliar sesuai dengan Keputusan Gubernur Nomor 912 Tahun 2015 diberikan dalam rangka penambahan modal kerja.

PMP kepada PT Transportasi Jakarta sebesar Rp700 miliar sesuai dengan Keputusan Gubernur Nomor 2699 Tahun 2015 diberikan dalam rangka pembangunan insfrastruktur, pengembangan sistem pendukung operasional Bus Rapid Transit (BRT), pengadaan bus tingkat kawasan Electronic Road Pricing (ERP) dan cadangan likuiditas.

PMP kepada PT Penjamin kredit Daerah sebesar Rp40 miliar sesuai dengan Keputusan Gubernur Nomor 2744 Tahun 2015 diberikan dalam rangka membantu akses permodalan bagi Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah yang belum memenuhi persyaratan bank secara teknis, disamping pula untuk meningkatkan layanan perbankan serta mengantisipasi risiko kredit.

PMP yang dijelaskan di atas adalah yang diberikan selama tahun anggaran 2015. Secara akumulasi, PMP yang sudah diberikan bertahun-tahun, dengan memperhitungkan penerimaan hasil, perubahan modal akibat operasional dan dampak keuangan lainnya, Pemda DKI mencatat dalam Neraca Daerah apa yang disebut dengan Investasi Permanen. Hal ini sudah dijelaskan dalam seri tulisan ini bagian 3. Ada baiknya kita tampilkan kembali salah satu tabel tabelnya untuk melihat kondisi PMP akumulatif yang tercatat sebagai bagian Neraca Daerah.


Kita dapat mendiskusikan lebih dalam tentang PMP DKI Jakarta tahun 2015 dan rencananya pada tahun 2016 dan 2017. Diantaranya mengenai bagaimana dasar pemikiran serta kajian (akademis) tentang PMP tersebut, bagaimana realisasi penggunaan dana oleh BUMD bersangkutan, sejauh mana target atau hasil dari yang direncanakan, bagaimana kinerja dan transparansi pengelolaan BUMD itu, dan lain-lain. Kita bisa pula minta gambaran Pemda mengenai capaian-capaian BUMD, apakah terkait soal keuangan seperti pendapatan yang dimasukkan ke dalam APBD, dan yang lebih utama terkait seberapa jauh peningkatan layanan publik terkait dengan adanya kucuran PMP.  

Sabtu, 15 Oktober 2016

MEMAHAMI KEUANGAN PEMERINTAH DKI JAKARTA (bagian 5)

Belanja Daerah dan Transfer adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dan diakui pada saat terjadinya pengeluaran dari rekening Kas Daerah. Belanja Daerah dan Transfer meliputi semua pengeluaran Daerah dari rekening Kas Daerah yang mengurangi Ekuitas, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu Tahun Anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah.

Pengelolaan Belanja Daerah disusun berdasarkan pendekatan kinerja dari Satuan Kerja Perangkat Daerah/Unit Kerja Perangkat Daerah (SKPD/UKPD), yang dalam pelaksanaannya sesuai dengan tugas dan fungsinya, yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.

Realisasi Belanja Daerah dan Transfer tahun anggaran 2015 adalah sebesar Rp43.031.322.947.557,00 atau 72,10% dari target. LKPD menyajikannya secara terinci dalam tiga klasifikasi, yaitu: menurut Klasifikasi Ekonomi, menurut Urusan Pemerintahan, dan menurut Kelompok Belanja. Jumlah totalnya adalah sama karena hanya berbeda rincian penyajian.

Belanja Daerah menurut Klasifikasi Ekonomi yaitu pengelompokan belanja yang didasarkan pada jenis belanja untuk melaksanakan aktivitas. Klasifikasi ekonomi berdasarkan jenis belanja untuk Pemerintah Daerah terdiri dari Belanja Operasi meliputi Belanja Pegawai, Belanja Barang, Belanja Bunga, Belanja Subsidi, Belanja Hibah, Belanja Bantuan Sosial, serta Belanja Modal, Belanja Tak Terduga dan Transfer.


Belanja Operasi adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari Pemerintah Daerah yang memberi manfaat jangka pendek, meliputi Belanja Pegawai, Belanja Barang, Bunga, Subsidi, Hibah dan Bantuan Sosial. Realisasinya mencapai Rp32.415,28 miliar atau 79,48%. Penjelasan lebih lanjut adalah sebagai berikut: a. Belanja Pegawai sebesar Rp17.312,34 miliar atau 88,76%, di antaranya berupa realisasi Belanja Gaji dan Tunjangan Pegawai Negeri Sipil sebesar Rp13.654,49 miliar dan Belanja Honorarium Pegawai Honorer/Tidak Tetap sebesar Rp1.434,29 miliar. b.Belanja Barang dan Jasa, yang digunakan untuk pengeluaran pembelian/pengadaan barang yang nilai manfaatnya kurang dari 12 (dua belas) bulan dan/atau pemakaian jasa dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintah daerah. Dengan realisasi sebesar Rp10.633,82 miliar atau 64,76%. c. Belanja Bunga sebesar Rp5,48 miliar atau 11,89%. d. Belanja Subsidi sebesar Rp659,08 miliar atau 70,12%, yang digunakan untuk Belanja Subsidi Kepada BUMD PT Transportasi Jakarta. e. Belanja Hibah, yaitu Pemberian bantuan dalam bentuk uang/barang/jasa kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, sebesar Rp1.717,43 miliar atau 96,20%. f. Belanja Bantuan Sosial, yaitu pemberian bantuan dalam bentuk uang/barang/jasa kepada kelompok/anggota masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bantuan ini tidak dapat diberikan secara terus menerus/tidak berulang, selektif dan memiliki kejelasan peruntukan penggunaannya, dengan sebesar Rp2.087,12 miliar atau 99,96%. Bantuan sosial dirinci: 1. Belanja Bantuan Sosial kepada Individu/Siswa (Biaya Personal Siswa Miskin) melalui Kartu Jakarta Pintar (KJP) sebesar Rp2.079,62 miliar dan 2. Belanja Bantuan Sosial Kepada Organisasi Sosial Kemasyarakatan sebesar Rp7,50 miliar.

Belanja Modal digunakan untuk pembelian/pengadaan aset tetap dan aset lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan seperti perolehan tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya. Realisasinya sebesar Rp10.244,02 miliar atau 55,60%. Antara lain: a. Belanja Tanah sebesar Rp3.451,78 miliar atau 46,91%, b. Belanja Peralatan dan Mesin sebesar Rp2.002,19 miliar atau 62,22%, c. Belanja Gedung dan Bangunan sebesar Rp2.063,98 miliar atau 60,45%, d. Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan sebesar Rp2.685,24 miliar atau 61,95%, e. Belanja Aset Tetap Lainnya sebesar Rp40,83 miliar atau 40,54%.

Belanja Tidak Terduga digunakan untuk penanggulangan bencana alam dan bencana sosial yang tidak diperkirakan sebelumnya, termasuk pengembalian atas kelebihan penerimaan daerah tahun-tahun sebelumnya yang telah ditutup. Disamping itu digunakan dalam rangka pencegahan gangguan terhadap stabilitas penyelenggaraan pemerintahan demi terciptanya keamanan, ketentraman dan ketertiban masyarakat. Realisasi sampai dengan akhir Tahun Anggaran 2015 sebesar Rp877 juta atau 1,21%

Transfer/Bantuan Keuangan adalah pemberian bantuan dalam bentuk uang yang bersifat umum atau khusus kepada pemerintah daerah lainnya dalam rangka peningkatan kemampuan keuangan, termasuk kepada partai politik. Realisasinya sebesar Rp371,15 miliar atau 92,52%.

Belanja Daerah Menurut Urusan Pemerintahan terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan perundangundangan. Belanja Daerah dalam penyelenggaraan urusan wajib adalah urusan yang sangat mendasar yang berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar kepada masyarakat yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak, dan diwujudkan melalui prestasi kerja dalam pencapaian standar pelayanan minimal. Yang dimaksud dengan Urusan Pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi dan potensi daerah.


Dalam klasifikasi ini, realisasi Belanja sebesar Rp43.031,32 miliar terdiri dari: Urusan Wajib sebesar Rp 41.382,80 miliar dan Urusan Pilihan sebesar Rp1.648,52 miliar. Urusan wajib dirinci ke dalam 25 urusan seperti: Pendidikan, Kesehatan, Pekerjaan Umum, Perumahan, Penataan Ruang, Perencanaan Pembangunan,  Perhubungan, Lingkungan Hidup, serta Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum dan Kepegawaian, dan lain-lain. Sedangkan urusan pilihan dirinci ke dalam 7 urusan, seperti: Pertanian Kehutanan, Energi dan Sumberdaya Mineral, Pariwisata, Kelautan dan Perikanan, Perdagangan dan Industri.

Belanja Daerah Menurut Kelompok Belanja terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja Tidak Langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan, sedangkan belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Klasifikasi ini yang paling sering dipublikasikan, dibicarakan dan dikutip media tentang APBD, penganggaran maupun realisasinya.
Dalam klasifikasi ini, realisasi Belanja sebesar Rp43.031,32 miliar terdiri dari: Belanja tidak langsung sebesar Rp20.707,21 miliar dan Belanja langsung sebesar Rp22.324,11 miliar. Belanja tidak langsung terdiri dari: Belanja Pegawai, Belanja Bunga, Belanja Subsidi, Belanja Hibah, Belanja Bantuan Sosial, Belanja Bantuan Keuangan, Belanja Tidak Terduga. Belanja langsung terdiri dari: Belanja Pegawai, Belanja Barang dan Jasa, dan belanja modal.




Semua jenis klasifikasi bisa dianalisis, dan dapat menggambarkan berbagai hal tentang pembagunan DKI Jakarta pada tahun bersangkutan. Jika dibandingkan antar tahun, maka akan diperoleh kemajuan atau bisa pula keterlambatan dalam aspek-aspek tertentu. Secara umum akan tergambar seberapa optimal belanja telah dilakukan. Sebagai contoh dari data di atas,  Realisasi Belanja Modal tampak amat rendah yakni sebesar 55,60% dari target. Dalam rincian lebih lanjut, belanja tanah memang yang realisasinya paling rendah. Namun, realisasi belanja modal seperti peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya pun terbilang rendah. Jika soal tanah terkait dengan kesulitan pembebasannya, maka musti dilihat detilnya lagi, apakah hanya soal harga atau hal lain. Mengingat APBD hanya berhorison satu tahun, maka aspek perencanaannya bagaimana sehingga ada kesulitan demikian. Terlebih dalam hal jenis belanja modal lainnya, musti diperiksa hingga perencanaan dan penganggaran.

Dalam hal belanja menurut urusan pemerintahan, akan dapat dianalisis soal prioritas belanja menurut targetnya dan kemudian bagaimana realisasinya. Jika dibandingkan antar tahun selama kurun tertentu akan diperoleh gambaran kebijakan umum dan pencapaian Pemda. Dapat pula diperbincangkan atau dianalisis mengenai tentang perlu atau seberapa perlu suatu pos belanja. Pemeriksaan atas capaian kinerja akan lebih menguatkan argumen.




MEMAHAMI KEUANGAN PEMERINTAH DKI JAKARTA (bagian 4)

Laporan mengenai realisasi anggaran dalam LKPD adalah yang paling mendapat perhatian publik dan sering menjadi pemberitaan media. Yang dilaporkan adalah tentang Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan. Terlihat tentang persentase realisasi dibanding yang dianggarkan dalam APBD, dan tentang surplus atau defisitnya. Bagian ini hanya membahas mengenai Pendapatan Daerah Provinsi DKI Jakarta tahun 2015 berdasar LKPD yang disampaikan Gubernur.

Pendapatan Daerah adalah hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode yang bersangkutan. Realisasi Pendapatan Daerah tahun 2015 ditargetkan sebesar Rp56.309,24 miliar dan terealisasi sebesar Rp44.209,24 miliar atau 78,51% dari target. Bersumber dari: 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp33.686,18 miliar; 2. Pendapatan Transfer sebesar Rp8.642,34 miliar; dan 3. Lain-lain Pendapatan yang Sah sebesar Rp1.880,68 miliar.

PAD terdiri dari: Pajak Daerah,  Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan Lain-lain PAD yang sah.


Pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Realisasi penerimaan Pajak Daerah Tahun Anggaran 2015 adalah sebesar Rp29.077 miliar atau 89,24% dari target.

Sebagai daerah khusus, DKI Jakarta bisa menetapkan pajak yang menjadi wewenang Provinsi maupun kabupaten/kota, sehingga jenis pajaknya mencapai 13 jenis. Realisasi dan persentasinya dari target pada tahun 2015 adalah sebagai berikut: Pajak Kendaraan Bermotor Rp 6.090 miliar (100,66%), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Rp 4.685 miliar (101,86%), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor Rp 1.233 miliar (91,32%), Pajak Air Tanah Rp105 miliar (110,65%), Pajak Hotel Rp1.276 miliar (85,09%),  Pajak Restoran Rp2.290 miliar (109,06%), Pajak Hiburan Rp609 miliar (110,69%), Pajak Reklame Rp715 miliar (39,72%), Pajak Penerangan Jalan Rp730 miliar (102,80%), Pajak Parkir Rp451 miliar (106,10%), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Rp 3.609 miliar (61,37%), Pajak Rokok Rp475 miliar (113,11%), Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan Rp6.808 miliar (95,89%).


Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan baik yang bersifat pelayanan jasa umum, pelayanan jasa usaha dan perizinan tertentu. Realisasi sampai dengan akhir Tahun Anggaran 2015 mencapai Rp459,46 miliar atau 75,32% dari target.

Retribusi Daerah terdiri dari: 1. Retribusi Jasa Umum. Diantaranya adalah Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor,  Retribusi Persampahan/Kebersihan, Retribusi Pemakaian Tempat Pemakaman, dan Retribusi Pelayanan Kesehatan;2.  Retribusi Jasa Usaha. Diantaranya adalah Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah, Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga, Retribusi Jasa Terminal, Retribusi Jasa Perhubungan Udara, Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan., 3. Retribusi Perizinan Tertentu. Diantaranya adalah Retribusi Izin Mendirikan Bangunan, Retribusi Perpanjangan Izin Memperkerjakan Tenaga Kerja Asing, Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol.


Sedangkan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan sebesar Rp 527,28 miliar terdiri dari: 1. Bagian Laba Perusahaan Milik Daerah (100% kepemilikan) sebesar Rp82,31 miliar; Penerimaan dari Penyertaan Modal Daerah kepada Pihak Ketiga (PT Patungan) dilaporkan sebesar Rp444,07 miliar; 3. Penerimaan dari Badan Pengelola sebesar Rp905,03 miliar.


Kelompok penerimaan Lain-lain PAD mencapai Rp 3.622,51 miliar atau 87,63% dari target. Diantaranya yang bernilai besar diperoleh dari: Pendapatan dari Badan Layanan Usaha Daerah, Hasil Penerimaan Pihak Ketiga, Jasa Giro, Pendapatan Bunga, Pendapatan Sanksi Pajak, dan Pendapatan Denda Retribusi.


Sebagaimana daerah lainnya, sesuai peraturan perundangan, DKI Jakarta juga memperoleh Pendapatan Transfer. Pendapatan Transfer adalah penerimaan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam bentuk Dana Perimbangan, yaitu penerimaan dari bagian daerah yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang bertujuan untuk menciptakan keseimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dana Perimbangan terdiri dari, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Sebagai daerak khusus, DKI Jakarta memperoleh Dana Penyesuaian yang tergolong Tranfer Pemerintah Lainnya.

Pendapatan Transfer Tahun Anggaran 2015 mencapai Rp8.642, 39 miliar atau 54,85%. Bagi Hasil Pajak mencapai Rp5.751,74 miliar atau 44,60%. Porsi terbesarnya adalah dari bagi hasil Pajak Penghasilan (PPh) sebesar Rp5.616,13 miliar  atau 44,17% dari target. Sedangkan Transfer Pemerintah Pusat Lainnya berupa Dana Penyesuaian tercatat sebesar Rp2.755,11 miliar  99,84% dari target. Diantaranya bersumber dari Tambahan Penghasilan Guru PNSD Profesi Sertifikasi sebesar Rp1.746,66 miliar dan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebesar Rp1.008,45 miliar.


Analisis mengenai pendapatan daerah sangat luas cakupannya dan merambah aspek-aspek lain, baik internal birokrasi maupu kondisi perekonomian daerah dan nasional. Salah satu fokusnya adalah mencermati apakah pendapatan sudah diperoleh optimal dibandingkan dengan potensi yang ada sesuai peraturan. Pada sisi yang lain juga apakah peraturan terkait, seperti perda dan pergub, sudah memadai dan dilaksankan dengan baik. Tentu saja bagi ekonom, analisis dapat mencakup apakah iklim investasi terdorong menjadi lebih baik dan kepastian usaha makin terjamin.

Dari aspek lain juga terlihat bahwa pendapatan DKI Jakarta yang terbesar adalah dari Pajak Daerah yang merupakan 86,32% dari PAD. Bahkan pajak daerah mencapai 65,77% dari total Pendapatan Daerah. Artinya ketergantungan dengan transfer dari Pemerintah Pusat tidak terlampau besar, berbeda dengan kebanyakan daerah lain di Indonesia.

Salah satu yang menarik juga adalah dalam hal pajak yang terkait dengan kendaraan bermotor. Ada tiga jenis dari duabelas pajak, yakni: Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor,dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. Ketiganya pada realisasi tahun 2015 mencapai Rp 12.008 miliar atau 41,30% dari total penerimaan pajak daerah. Maka isyu tentang kemacetan, pembatasan kendaraan bermotor, pengalihan pada transportasi masal, dan lain semacamnya akan berhubungan erat dengan hal ini.

Beberapa hal lain yang penting dicermati adalah hasil dari Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, terutama bagian laba dari BUMD dan PT Patungan. Apakah sudah optimal, apakah sepadan dengan penyertaan modal, dan apakah perusahaan dimaksud beroperasi cukup efisien, dan seterusnya. Begitu pula dengan pendapatan lain-lain dari PAD yang sah, seperti pendapatan bunga dan jasa giro. Dari uraian di atas, pendapatan lain-lain ini mencapai Rp3.622,51 miliar atau 10,87% dari total PAD, suatu porsi yang amat besar.