Keuangan inklusif (financial inclusion) biasa diartikan
sebagai suatu kegiatan menyeluruh yang bertujuan untuk meniadakan segala bentuk
hambatan baik yang bersifat harga maupun non harga terhadap akses masyarakat
dalam menggunakan atau memanfaatkan layanan jasa keuangan. Programnya adalah
agar sebanyak mungkin orang bisa memperoleh produk dan jasa keuangan yang
paling dasar seperti: tabungan, transfer, pinjaman, dan asuransi. Diupayakan
dengan harga dan prosedur yang terjangkau, wajar dan transparan.
Program keuangan inklusif yang diklaim
berhasil oleh Pemerintahan Presiden SBY adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR). KUR memang
diakui berbagai forum internasional mengenai implementasi keuangan inklusif,
dan diadopsi menjadi praktik terbaik penanggulangan kemiskinan di beberapa negara
berkembang. Capaian KUR secara data agregat memang luar biasa. Penyaluran sejak
diluncurkan Nopember 2007 hingga Nopember 2014 mencapai Rp 175 triliun, dengan
baki debet (outstanding) sekitar Rp
50 triliun, serta menjangkau lebih dari 12 juta unit UMKM.
Kesuksesan KUR tampak diakui oleh
Pemerintahan Presiden Jokowi, yang kemudian menggandakan skalanya. Dana subsidi
dialokasikan lebih banyak sejak APBNP 2015, serta APBN 2016 menetapkan target
spektakuler, lebih dari Rp 100 triliun. Kepada bank penyalur diberikan subsidi
untuk KUR mikro sebesar 10%, KUR ritel sebesar 4,5%, dan KUR TKI sebesar 12%. Suku
bunga efektif bagi nasabah menjadi maksimal 9%. Dana subsidi APBN disediakan
sekitar Rp 10,5 triliun, dari pos subsidi Bunga dan Kredit Program, yang
berplafon Rp 16,5 triliun. KUR masih akan berlanjut pada tahun 2017, subsidi
siap digelontorkan lagi dengan jumlah yang setara, namun suku bunga efektif
diharapkan menjadi maksimal 7%.
KUR baru secara konseptual memang
tampak seperti terobosan besar. Diyakini akan makin banyak orang (UMKM) yang
bisa mengakses kredit, dan biaya modal menjadi jauh lebih rendah. Akan tetapi, jika
data data realisasi dicermati, maka ada indikasi perpindahan nasabah lama yang
menikmati suku bunga tinggi ke suku bunga rendah. Artinya, 12 juta nasabah KUR era
Presdien SBY dan beberapa juta nasabah era Presiden Jokowi, mungkin lebih dari
separuhnya berasal dari perpindahan status nasabah nonKUR menjadi KUR saja.
Sebagai contoh, data nasabah
kredit UMKM baru mencapai 11,93 juta rekening hingga Desember 2015, atau bertambah
sebanyak 0,95 juta dari Desember 2014. Data tersebut terkonfirmasi dari sumber
resmi Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, yang mencakup nasabah penerima
kredit KUR dan yang nonKUR. Pada kurun bersamaan, komite KUR melaporkan bahwa
selama 2015 telah tersalur KUR kepada 1.003.533 debitur. Secara lebih khusus,
ketika KUR baru lebih dimasifkan pada tahun 2016, data rekening kredit UMKM
(KUR dan non KUR) dari Januari hingga Oktober 2016 memang bertambah cukup
signifikan, bertambah bertambah 1,33 juta, dari 11,93 juta menjadi 13.26 juta.
Akan tetapi data Sistem Informasi Kredit Program (SIKP) KUR melaporkan pada
kurun tersebut nasabah bertambah lebih dari 3 juta. Dan total rekening yang
masih outstanding adalah 5,23 juta rekening, karena jangka waktu kredit adalah
antara 1 sampai dengan 3 tahun. Terkonfirmasi pula dengan data nilai plafond
kredit UMKM versi Statistik Perbankan dengan SIKP KUR, yang menunjukkan indikasi
serupa.
Sekitar dua tahun, data BI
memperlihatkan bahwa total rekening kredit naik dari 40,51 juta rekening
(januari 2015) menjadi 41,44 juta rekening (oktober 2016), suatu kenaikan yang
“biasa” dan bahkan sedikit di bawah rata-rata kenaikan sebelumnya. Seiring dengan
laju pertumbuhan kredit (nilai) yang memang melambat, akibat kondisi umum
perekonomian. Akan tetapi, data jumlah rekening kredit nonUMKM justeru turun
dari 29,51 juta (jan 2016) menjadi 28,18 juta (okt 2016). Hal yang amat tidak
lazim dalam kurun dua tahun, yang biasanya selalu bertambah. Penjelasan
sederhananya, yang penerima kredit nonUMKM sebagiannya pindah menjadi UMKM,
karena ada insentif KUR. Tidak hanya itu, dalam kriteria kredit UMKM sendiri,
terjadi penurunan dalam kredit Menengah, yang memang secara teknis tidak
tercakup KUR. KUR hanya tersalur pada skala mikro dan kecil. Dengan demikian,
terindikasi kuat adanya perpindahan nasabah nonKUR menjadi KUR, yang tidak
sesuai dengan tujuan kebijakan yang bermaksud memperluas jangkauan layanan.
Perlu diketahui bahwa berdasarkan
definisi usaha dalam UU. No.20/2008 tentang UMKM, baki debet kredit UMKM
mencapai Rp 835,21 triliun pada september 2016. Kontribusi kredit UMKM terhadap
total kredit perbankan itu adalah 19,68 %. Porsi kredit UMKM mengalami
fluktuasi selama beberapa tahun terakhir. Pada kurun tahun 2011-2013, laju
kredit UMKM lebih cepat dari yang nonUMKM. Pada tahun 2014 dan 2015, ada
kecenderungan laju pertumbuhan kredit perbankan yang lebih tinggi daripada yang
khusus UMKM. Akibatnya porsi kredit UMKM pun menurun, meski menaik perlahan
hingga September tahun 2016. Bisa dikatakan bahwa data umum pertumbuhan kredit
UMKM setara saja dengan non UMKM. Porsi kredit UMKM tidak beranjak dari 18-20%,
bahkan kredit mikro hanya 4%, karena dominasi kredit menengah.
Perlu dicatat bahwa penyalur KUR adalah
perbankan yang megajukan dan memenuhi persyaratan. Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
dan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) belum dilibatkan sebagai penyalur langsung.
LKM dimaksud adalah yang sudah operasional puluhan tahun, seperti: koperasi
simpan pinjam dan koperasi syariah (BMT). Akibatnya di lapangan, BPR sudah
merasakan dampak “persaingan” yang berat, bahkan sebelum era bersubsidi bunga.
LKM tidak banyak terdampak ketika itu, karena orientasinya kepada komunitas dan
pendekatan dilakukan secara berbeda. Namun, jelas akan terdampak jika KUR baru
ini makin bersifat masif. Dengan demikian, KUR belakangan ini justeru membuat BRI
mungkin akan memindah nasabah Kupedes menjadi KUR, daripada direbut oleh bank
lain. BPR akan lebih terpuruk, jika tidak segera dilibatkan dalam penyaluran
KUR. Sedangkan LKM (koperasi) akan menghadapi masalah serius karena perpindahan
nasabah.
Sementara itu, dalam konteks paket
kebijakan keuangan inklusif yang lebih luas, yang tampak berjalan cukup masif
antara lain adalah edukasi kepada masyarakat luas tentang layanan keuangan,
khususnya bank. Program unggulan lainnya adalah apa yang disebut sebagai
Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai),
yang dalam wacana akademis biasa disebut branchless
banking. Laku Pandai adalah kegiatan menyediakan layanan perbankan atau
layanan keuangan lainnya yang dilakukan tidak melalui jaringan kantor, namun
melalui kerjasama dengan pihak lain dan perlu didukung dengan penggunaan sarana
teknologi informasi. Dalam konteks ini dikenallah istilah agen laku pandai. Agen
dimaksud bisa perorangan atau badan hukum, yang berfungsi sebagai “kantor
layanan” dari bank.
LKM yang mandiri dari masyarakat saat
ini terancam menjadi korban dari program KUR dan laku pandai, yang tersubsidi
oleh APBN. Agen kemungkinan akan berasal dari pindahan SDM LKM (Koperasi).
Ditambah dengan peluang eks rentenir yang berganti baju, bahkan berperan ganda
sebagi agen sekaligus rentenir. KUR memang terbukti memberi manfaat, namun
tidak sebesar pewartaannya, dan telah pula memiliki pula dampak buruk jika
diperhitungkan dalam konteks industry keuangan secara keseluruhan.
Analisis atas berbagai data simpanan
dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) serta data kredit dari Bank Indonesia
mengisyaratkan banyak hal, diantaranya memperkuat fakta peningkatan
ketimpangan. Dan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa simpanan dengan nilai
nominal yang besar leluasa memilih bentuk dan akan mendapat imbal hasil yang
secara prosentase lebih besar. Sedangkan dalam hal kredit, mereka yang meminjam
dalam nominal kecil akan membayar biaya (bunga) yang lebih tinggi.
Otoritas ekonomi, moneter dan
perbankan perlu mencermati lebih jauh apakah agenda Keuangan Inklusif (termasuk
KUR) benar-benar akan memberi kontribusi positif saat ini dan kedepannya. Baik
dalam hal mensejahterakan rakyat kebanyakan, maupun dalam hal mengurangi
tingkat ketimpangan ekonomi. Yang jelas, ketika agenda tersebut mulai
dikenalkan dan dijalankan, tingkat ketimpangan ekonomi antar kelompok
masyarakat cenderung sedang melebar. Tidak cukup hanya memperhitungkan soal
peningkatan akses layanan keuangan, meningkatkan pendapatan atau mengurangi
kemiskinan, melainkan juga perlu berorientasi mempersempit jurang ketimpangan.
BPS sudah mengingatkan melalui data Susenas bahwa penerima KUR justeru lebih
banyak dua kuintil atas atau 40% penduduk yang berpendapatan paling tinggi.
Bukan yang berada pada kuintil bawah.
Upaya pengembangan Laku Pandai
dan KUR sejak awal seharusnya sudah melibatkan pelaku UMKM dan koperasi sebagai
subyek, bukan sekadar objek. Target RPJMN meningkatkan kontribusi koperasi pada
PDB dari 1,7% tahun 2014 menjadi 8,0% tahun 2019 menjadi mustahil terwujud.
Sesuai penamaannya, kebijakan keuangan inklusif berarti bukan semata perbankan
inklusif.
Dalam hal KUR, wacana dan
pembicaraan koordinatif di pemerintahan telah mengarah kepada pelibatan
koperasi. Secara prinsip dan regulasi, hal itu akan dimungkinkan, meski masih
perlu dicari skema dan prosedur teknisnya. Dalam hal Laku Pandai, koperasi
masih diposisikan sebagai agen, setara dengan agen perorangan. Jika demikian,
koperasi yang sudah mandiri dan berkembang tidak akan diuntungkan. Masih perlu
dicari kemungkinan skema untuk posisi yang lebih tepat bagi koperasi.