Iklim Investasi Dan Kondisi Usaha Mikro dan
Kecil Masih Belum Baik
Investasi
diakui secara luas sebagai faktor terpenting dalam pembangunan ekonomi suatu
negara. Besaran dan laju pertumbuhan investasi merupakan salah satu penentu
angka pertumbuhan ekonomi. Oleh karenanya, pemerintah Indonesia didukung oleh
otoritas ekonomi lainnya berupaya keras agar iklim investasi terus membaik.
Iklim investasi antara lain mencakup kemudahan berusaha, kepastian usaha, dan potensi
keuntungan atau kembalian dari modal yang ditanamkan.
Kebijakan
otoritas ekonomi pun diupayakan mencakup semua aspek tersebut. Pemerintahan
Jokowi mengeluarkan berbagai paket kebijakan ekonomi, diantaranya yang menonjol
adalah Online Single Submission (OSS)
atau Sistem Perizinan Terpadu Daring dan berbagai keringanan pajak untuk
menarik investasi (tax allowence dan tax holiday). Bank Indonesia dan
Otoritas Jasa keuangan juga membuat kebijakan pendukung di bidang moneter dan
bidang perbankan agar iklim investasi makin sehat dan membaik. Sebagaimana era
pemerintahan sebelumnya, Pemerintahan Jokowi terutama berharap besar pada arus
masuk investasi modal asing.
Upaya
tersebut tampaknya mulai membuahkan hasil. Country
Director Bank Dunia untuk Indonesia, Rodrigo Chaves (Januari 2019) memuji
Indonesia sebagai negara negara tujuan investasi yang cukup menjanjikan. Dia
menilai makin baiknya iklim investasi, yang terlihat dari lima tanda. Pertama, pertumbuhan Produk Domestik
Bruto (PDB) yang kuat, rata-rata 5% per tahun dari 2015 hingga 2017. Kedua, fundamental ekonomi yang baik dan
koordinasi kebijakan fiskal dan moneter yang solid. Ketiga, pertumbuhan penerimaan pajak yang tinggi. Keempat, surat utang Indonesia yang
berada pada level investment grade. Kelima, lelang surat utang negara terbaru
yang selalu oversubscribed rata-rata
hingga 2,5 kali.
Iklim Iinvestasi
di Indonesia memang tampak makin membaik, atau sekurangnya tidak buruk, jika dilihat dari data realisasi penanaman
modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA) dari Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM). PMDN meningkat setiap tahun dan mencapai Rp328,6
triliun pada tahun 2018. Sedangkan PMA berfluktuasi dengan kecenderungan
meningkat, meski realisasi tahun 2018 sebesar USD290 miliar lebih rendah dibanding
tahun 2017.
Investasi
yang cenderung meningkat tersebut belum diikuti oleh peningkatan laju
pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi masih tetap bertahan di kisaran 5%,
dan dua era pemerintahan sebelumnya pun rata-rata hanya 5,73% per tahun. Untuk
menentukan penyebabnya memang diperlukan kajian yang lebih menyeluruh dan
mencermati lintas faktor, namun salah satu indikasi adalah dari tingginya Rasio
Incremental Capital Output Ratio
(ICOR) Indonesia. ICOR merupakan rasio antara investasi dengan pertumbuhan
output. ICOR yang tinggi menujukkan tingkat efisiensi yang masih rendah.
Pemerintah
mengklaim terjadi penurunan dalam tiga tahun terakhir, namun rasionya masih sebesar
6,3. Sebelumnya sempat di level 6,64 pada tahun 2015. Akan tetapi jika dibandingkan
ICOR negara se-kawasan, Indonesia lebih tinggi dari hampir semua negara ASEAN. ICOR
Malaysia sebesar 4,6, Filipina sebesar 3,7, Thailand sebesar 4,5, dan Vietnam sebesar
5,2. Umumnya diakui bahwa ICOR yang ideal adalah mendekati atau di kisaran 3%.
Dapat pula
dikatakan bahwa ICOR sangat dipengaruhi soal kemudahan dalam berbisnis dan daya
saing pasar tenaga kerja. ICOR yang tinggi dan bertahan lama mengindikasikan masih
banyak soalan struktural yang terkait dengan investasi. Ada beberapa indikasi
yang cukup jelas. Sebagai contoh, peringkat Ease
of Doing Business (EoDB) Indonesia dalam hasil survei Bank Dunia pada
laporan edisi 2019 adalah ke-73 dunia dari 190 negara, dan itu turun satu
tingkat dari sebelumnya. OSS yang belum lama diterapkan juga merupakan
pengakuan bahwa selama ini koordinasi masih tumpang tindih dan aturan main kadang
tidak jelas bagi investasi. Dalam perspektif investor asing, diketahui bahwa
mereka memiliki pilihan yang kurang banyak dan kurang leluasan atas instrumen
investasi dan sektor riil investasi. Ketidakpastian dalam hal regulasi
ketenagakerjaan juga menjadi isu yang penting dari sudut pandang investor. ICOR
tertekan dari dua sisi dalam konteks ketenagakerjaan, pertumbuhan upah
rata-rata sekitar 8–9% per tahun, sedangkan tingkat produktivitas pekerja hanya
di kisaran 3%.
Kebutuhan
akan investasi asing yang sangat besar kadang menimbulkan dilema pilihan
kebijakan jika dikaitkan dengan neraca pendapatan primer (Primary Income Balance) yang telah dibahas pada bagian terdahulu.
Masuknya investasi asing tadi akan menimbulkan kewajiban pembayaran di waktu
kemudian, seperti keuntungan dan bunga. Jumlah pembayaran ke pihak asing yang
dilakukan pada tahun 2018 mencapai USD39,58 miliar, naik hampir dua setengah
kali lipat dibanding tahun 2009 yang masih sebesar USD16,99 miliar.
Dengan
menimbang akan adanya tekanan pada neraca pendapatan primer di kemudian hari, maka
tidak bisa kebijakan berorientasi asal masuk modal asing sebesar-besarnya.
Perlu kajian mendalam dan kebijakan lintas otoritas (termasuk Pemerintah
Daerah) yang menghasilkan bauran kebijakan (policy
mix) yang memperhitungkan neraca perdagangan, transaksi berjalan, ICOR,
daya saing, dan lain sebagainya. Soalan pun akan menjadi lebih rumit dan
sensitif dikaitkan dengan kekhawatiran banyak pihak atau “persepsi” atas
dominasi asing.
Dilihat
dari aspek teknis ekonomi, arus masuk PMA memang dibutuhkan agar investasi meningkat
yang akan lebih mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun perlu tambahan pertimbangan
agar memprioritaskan investasi yang dapat menghasilkan devisa, agar mampu
membayar kewajiban di kemudian hari. Akan lebih baik jika porsi besar PMA adalah
ke dalam sektor yang menghasilkan barang dan jasa yang dapat diperdagangkan
(ekspor). PMA di negara berkembang biasanya diharapkan pula dapat memperbaiki
teknologi produksi secara berkelanjutan, yang pada gilirannya menurunkan ICOR
atau meningkatkan efisiensi. Salah satu cara mengeliminasi “persepsi negatif”
atas modal asing adalah dengan memperlihatkan manfaat nyatanya bagi
perekonomian dan bagi hidup rakyat banyak.
Persoalan
lain yang kini sering mendapat sorotan dalam hal iklim investasi adalah peran
Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Peran BUMN tampak meningkat selama era Jokowi,
yang antara lain ditunjukkan oleh pertumbuhan pengeluaran investasi (capital expenditure) dan kinerja
keuangan lainnya. Peningkatan peran ini positif dalam satu hal, karena sesuai
amanat konstitusi, serta dinilai lebih dapat dikontrol oleh Pemerintah. Namun
menimbulkan reaksi negatif dari pelaku usaha yang telah existing di sektor
usaha yang makin didominasi oleh BUMN. Dalam jangka menengah dan panjang memang
diperlukan harmoninasi antar pelaku usaha ini, melalui regulasi dan kebijakan
yang lebih memberi kepastian dan rasa keadilan bagi semua pihak.
Sejauh ini
pembahasan kita dapat dikatakan menyangkut pelaku usaha menengah dan besar, baik
domestik (termasuk BUMN) maupun asing. Sementara itu, jumlah pelaku usaha yang
berskala mikro dan berskala kecil (UMK) sebenarnya jauh lebih banyak. Jumlah
usaha nonpertanian menurut Sensus Ekonomi 2016 Lanjutan adalah sebanyak 26,42
juta usaha. Terdiri dari usaha mikro dan usaha kecil (UMK) sebanyak 26,07 juta
usaha, dan usaha menengah dan usaha besar (UMB) sebanyak 348,57 ribu usaha.
Peran UMK
dalam perekonomian Indonesia telah sering diakui oleh Pemerintah, dan berbagai
kajian para ahli pun memberi konfirmasi. Kontribusi terbesar UMK adalah pada
penyerapan tenaga kerja, yang berdasar Sensus Ekonomi 2016 Lanjutan mencapai
59,27 juta orang. Wajar jika tiap era pemerintahan mengeluarkan berbagai
kebijakan yang bermaksud membantu dan mendorong perkembangan UMK.
Salah satu kebijakan
terkait itu yang menonjol adalah program Kredit Usaha Rakyat (KUR), yang telah
dimulai oleh Pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. KUR dinilai
berhasil oleh banyak pihak, dan bahkan diakui berbagai forum internasional
mengenai implementasi keuangan inklusif, dan akan diadopsi menjadi praktik
terbaik penanggulangan kemiskinan di beberapa negara berkembang. Capaian KUR
secara data agregat memang luar biasa. Penyaluran sejak diluncurkan Nopember
2007 hingga Nopember 2014 mencapai Rp 175 triliun, dengan baki debet (outstanding) kredit sekitar Rp 50
triliun, menjangkau lebih dari 12 juta unit UMKM.
Kesuksesan
KUR diakui juga oleh Pemerintahan Presiden Jokowi, yang menjadikannya sebagai
program andalan untuk mengatasi masalah kemiskinan dan kesenjangan ekonomi. KUR
diharapkan akan bisa memperkuat pelaku usaha mikro, kecil dan menengah, dengan
cara mempermudah akses permodalan yang murah. KUR era Jokowi merupakan
perbaikan signifikan atas era sebelumnya. Dari hanya subsidi pemberian jaminan
kredit, digandakan dengan subsidi bunga. Skema terus diperbaiki dengan menambah
lebih banyak subsidi bagi masing-masing peminjam maupun total yang disediakan.
Realiasasi penyaluran KUR dilaporkan terus meningkat pesat, baik dari sisi
nilai kredit maupun jangkauan penerimanya. Pada tahun 2018 dilaporkan telah
disalurkan kredit dengan skema KUR sekitar Rp120 triliun dengan 4,44 juta orang
debitur.
KUR
tampaknya memang sedikit membantu UMK, terutama dalam hal menurunkan biaya
modal, karena bunga nya yang tersubsidi. Cukup banyak pula UMK yang baru memperoleh
kredit, setelah sebelumnya tidak bisa mengakses kredit perbankan. Akan tetapi
klaim keberhasilan tereliminasi oleh berbagai fakta lain. Data porsi dan
pertumbuhan nilai kredit UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah) ternyata tidak
mengalami peningkatan berarti. Porsi kredit UMKM justeru turun dan kemudian
relatif stagnan pada periode 2015 hingga tahun 2018, menjadi kembali di bawah
20%. Pada kurun tahun 2011-2013, laju kredit UMKM lebih cepat dari yang
nonUMKM. Sejak tahun 2015, ada kecenderungan laju pertumbuhan kredit non UMKM
yang lebih tinggi daripada yang khusus UMKM, atau setidaknya hanya tumbuh dengan
kecepatan setara.
Perkembangan
jumlah rekening kredit UMKM pun tidak terjadi peningkatan yang signifikan, dalam
arti dampak KUR tak terlampau besar. Pada saat KUR tahun 2018 dikucurkan pada
sekitar 4,44 juta debitur, statistik tentang kredit UMKM hanya menunjukkan
penambahan 382 ribu rekening. Jumlah rekening kredit usaha mikro memang
meningkat cukup pesat, namun diimbangi dengan stagnasi atau penurunan pada
kredit usaha kecil dan usaha menengah. Ada indikasi kuat terjadinya perpindahan
status nasabah, dari kredit kecil dan menengah ke kredit mikro. Bahkan dari
yang dulunya nonUMKM, menjadi kredit UMKM. Meski secara teknis, KUR
mensyaratkan tidak sedang memperoleh kredit lainnya, namun hal itu mudah
disiasasti. Tekanan agar petugas bank meningkatkan jangkauan KUR sering
mengurangi dampak positif yang diharapkan dalam hal jangkauan program.
Kondisi
makin tidak menggembirakan jika dilihat nilai kredit yang diterima oleh usaha
mikro dan usaha kecil hanya separuh dari UMKM. Separuhnya lagi diterima oleh
usaha menengah yang tetap dicatat sebagai UMKM.
Persoalan
lain dari usaha mikro dan usaha kecil adalah kecepatannya untuk berganti jenis
atau sektor usaha, namun tetap dalam skala yang mikro atau kecil. Upaya
mengembangkan UMK bukan berarti selalu menambah jumlah usahanya, melainkan bagaimana
memperbaiki kondisi usaha dan kondisi hidup para pelakunya. Sebagai contoh
informasi data yang memberi indikasi bahwa hasil yang diperoleh oleh usaha
mikro secara rata-rata masih dibawah upah pekerja atau buruh. Usaha mikro dalam
data ini diwakili oleh status berusaha sendiri.
Keberhasilan
kebijakan yang mendorong perkembangan UMK mustinya tercermin pula dalam peningkatkan
skala usahanya secara umum. Misalnya, terjadi peningkatan cukup banyak usaha
kecil menjadi usaha menengah. Data BPS yang dapat dijadikan indikasi menunjukkan
bahwa tak terjadi perubahan signifikan dalam hal itu. Jumlah UMK hasil sensus
ekonomi 2016 meningkat lebih pesat dibanding UMB meningkatporsi, bias dengan
membandingkan sensus ekonomi 2006 dengan 2016. Diperkuat pula oleh data BPS
tentang ketenagakerjaan tentang pekerja berstatus usaha dibantu buruh tetap
yang mencerminkan UMB justeru menurun persentasinya.
Persoalan
terakhir, namun paling mendasar dari kondisi dunia usaha Indonesia adalah
dominasi sekelompok pelaku usaha yang makin membesar, hingga dapat disebut fenomena
oligarki ekonomi. Oligarki ekonomi tersebut tumbuh dalam proses puluhan tahun,
yang antara lain memanfaatkan relasi erat pelaku usaha dengan pelaku politik
yang berkuasa. Antara lain tercermin dari informasi bahwa Indonesia menempati
urutan ketujuh dalam indeks Kapitalisme Kroni 2017 versi The Economist. Hal itu
didukung antara lain oleh fakta-fakta berikut: Lonjakan kekayaan para miliarder
yang mempunyai hubungan erat dengan penguasa politik; Beberapa industri besar
cenderung mengandalkan rente; Praktik kartel, monopoli dan lobi-lobi bisnis
menjadi cara yang diduga sering dilakukan pengusaha dengan melibatkan aparat
negara. Dapat ditambahkan bahwa sektor bisnis yang rentan terjadinya kartel
antara lain di sektor telekomunikasi, industri berbasis sumber daya alam, real
estate, konstruksi dan pertahanan.
Dari keseluruhan
uraian di atas, iklim investasi di Indonesia tidak bisa dikatakan buruk atau
tidak sehat, namun juga belum dapat dikatakan baik. Kebijakan investasi tampaknya
belum menyeluruh dan mempertimbangkan hal-hal yang bersifat jangka panjang dan
fundamental. Daya saing memang sedikit membaiki, namun lebih karena tingginya return dan kedisiplinan Indonesia dalam membayar
utang dan kewajiban lainnya, serta stabilitas politik yang cukup baik. Beberapa
hal yang mendasar belum cukup memadai ditangani, seperti: soal ketenagakerjaan,
kepastian usaha, porsi peran BUMN, daftar negatif investasi, dan kebijakan atas
UMK.
Bersambung