Pemerintah Indonesia membayar utang pokok sebesar Rp 118 triliun, dan bunga utangnya sebesar Rp 79,5 triliun pada tahun 2007. Sementara itu, utang pemerintah Indonesia yang masih belum dibayar per 31 Desember 2007 adalah sekitar Rp 1.400 triliun atau setara USD 148,25 miliar. Sekitar 40 persennya tergolong utang luar negeri, dan 60 persen lainnya biasa disebut utang dalam negeri.
Apakah total pembayaran beban utang senilai Rp 197,5 triliun itu tergolong besar? Terlampau beratkah bagi APBN? Apakah kemudian berdampak buruk bagi perekonomian nasional secara keseluruhan? Apakah posisi (stok) utang pemerintah akan berkurang atau justeru sebaliknya? Jika cenderung bertambah, apa memang direncanakan untuk tidak pernah ”diselesaikan”?
Sebagian pihak akan langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan nada yang amat kritis. Jawabannya kurang lebih sebagai berikut : pembayaran beban utang pemerintah sudah terlampau besar dan memberatkan APBN; kondisi itu telah amat mempersempit ruang fiskal, sehingga ”peran langsung” pemerintah untuk menggairahkan perekonomian menjadi semakin kecil; pemerintah menjadi semakin tidak mampu memberi pelayanan umum yang memadai bagi rakyat kebanyakan; sementara itu, stok utang pemerintah hampir mustahil berkurang dengan kebijakan pengelolaan utang yang dijalankan saat ini.
Pemerintah sendiri memang memiliki jawaban atau penjelasan yang jelas berbeda dari pandangan pihak yang kritis itu. Pemerintah antara lain mengemukakan soal arti pentingnya pembayaran beban utang bagi kredibilitas pengelola keuangan negara (yang dalam hal ini dianggap mencerminkan perekonomian nasional) di mata dunia, atau lebih tepat disebut para pelaku pasar internasional. Beban itu diakui memang berat oleh pemerintah, namun masih bisa dikelola secara berhati-hati, dengan kesinambungan fiskal sebagai konsep kuncinya. Salah satu penalarannya, peningkatan beban utang akan diimbangi oleh naiknya pendapatan pemerintah, yang diharapkan lebih cepat. Jika bisa direalisasikan, nominal pembayaran beban utang memang naik, namun porsinya terhadap penerimaan pemerintah akan menurun. Argumen serupa (namun sedikit lebih teoritis) diberikan dalam kaitan antara stok utang pemerintah dengan pendapatan nasional. Dalam bahasa awam, pengeluaran yang meningkat tidak akan menjadi masalah jika pendapatan meningkat lebih cepat (dilihat dari sisi pemerintah saja maupun perekonomian nasional secara keseluruhan).
Ada berbagai penjelasan lain dari pihak pemerintah untuk menguatkan pandangan bahwa utangnya belum menjadi masalah besar saat ini dan di masa datang. Sebagian besar argumen sebenarnya bersifat ”tidak langsung” dan penuh dengan asumsi. Selain yang telah disinggung di atas, kerap dikemukan bahwa pemerintah (negara) justeru akan menjadi lebih efektif jika memainkan peran tidak langsung dalam perekonomian. Seolah akan ada blessing in disguise dari kesulitan anggaran pemerintah, yang bahkan akan membuat perekonomian menjadi lebih efisien dan tumbuh lebih cepat. Pemerintah di masa lalu, dengan pengeluaran yang besar serta terlampau jauh berperan dalam dinamika ekonomi, dinilai telah mendistorsi perekonomian.
Penjelasan pemerintah sering mendapat pembenaran para ekonom mainstreams, karena memang dibuat oleh sebagian dari mereka yang bekerja untuk pemerintah. Para ekonom dari beberapa universitas ternama (melalui lembaga studi atau penelitiannya) hanya memberi ”masukan” kepada pemerintah untuk mengatur arus beban itu agar optimal. Maksudnya agar beban itu merata dan meningkat secara terukur dari tahun ke tahun, dan dengan biaya seminimal yang dimungkinkan. Salah satu istilah teknisnya yang keren adalah optimal borrowing, yang biasanya disertai rekomendasi reprofiling utang pemerintah untuk memoderasi beban.
Masyarakat awam nampaknya akan lebih mudah memahami argumen dari pihak yang kritis terhadap soal ini. Oleh karenanya, utang pemerintah tidak bisa menjadi sekadar soal ekonomi, melainkan selalu menjadi tema politik yang utama. Isyu utang pemerintah dan bebannya bisa dikatakan bersifat laten, kerap muncul berdampingan dengan sebagian besar masalah besar di negara ini. Sebagai contoh, tatkala harga BBM akan dinaikkan, sebagian pihak langsung ”teringat” dengan soal utang. Demikian pula dengan pembicaraan mengenai anggaran untuk Program Kemiskinan, yang bahkan kurang banyak diketahui jika sebagian cukup besarnya dibiayai oleh utang luar negeri.
A. Berbagai Perspektif Atas Utang Pemerintah
Dalam percakapan sehari-hari kerap terdengar ungkapan bahwa berutang itu soal biasa, yang kemudian menjadi masalah adalah bagaimana membayarnya. Hal serupa seolah berlaku bagi pemerintah suatu negara yang berutang, dimana masalahnya akan lebih terasa dan menjadi perhatian semua pihak, ketika kewajiban membayar bebannya muncul pada pos anggaran. Permasalahan menjadi semakin serius, ketika pembayaran cicilan (pelunasan pokok) utang dan biaya bunganya mencapai tingkat yang melampaui surplus anggaran negara bersangkutan. Secara logika sederhana, beban utang seharusnya dibayar dari surplus anggaran, yaitu kelebihan penerimaan setelah dipergunakan untuk belanja terlebih dahulu.
Jika yang terjadi, belanja lebih besar daripada penerimaan, maka jumlah utang tidak akan pernah bisa berkurang. Stok utang tidak mungkin dapat dilunasi dalam artian menjadi nihil nilainya. Yang bisa dilakukan adalah gali lubang tutup lubang. Negara pengutang membayar utang kepada satu pihak kreditur dengan utang baru dari pihak lainnya. Seringkali pula, mereka membayar utang kepada kreditur yang sama dengan utang baru lagi, dengan persyaratan baru pula. Fenomena semacam inilah yang secara umum terjadi pada keuangan pemerintah Indonesia dalam beberapa dekade terakhir.
Kondisi utang pemerintah bahkan direncanakan kurang lebih tetap demikian di masa mendatang. Konsep resminya disebut sebagai kesinambungan fiskal, yang berarti transaksi utang hanya perlu dijaga agar pemerintah Indonesia masih bisa membayar pengeluarannya, sekalipun minimalis. Kadang diutarakan keinginan untuk sedikit menurunkan posisi utang (terutama utang luar negeri) atau setidaknya menahan lajunya agar stagnan. Komitmen semacam itu pada kenyataannya hanya berhasil untuk satu atau dua tahun tertentu, kemudian terjadi peningkatan kembali yang cukup signifikan.
Secara teoritis, kita dapat membandingkan pengelolaan utang pemerintah dengan manajemen utang sebuah perusahaan bisnis. Dalam kasus utang perusahaan, jumlah dan beban utang yang membesar memang dapat dibenarkan jika didukung oleh perhitungan ekonomis dari variabel-variabel lainnya. Diantaranya adalah: laba yang meningkat, aset yang tumbuh, likuiditas yang optimal, kualitas aktiva produktif yang baik, dan sebagainya. Bahkan, portofolio utang sering diperlukan dalam bisnis yang tumbuh sehat, karena pertimbangan non teknis seperti kredibilitas perusahaan. Sebagai contoh, perusahaan yang telah go public dan kerap menerbitkan surat utang (obligasi) namun mampu memenuhi kewajibannya dengan baik, maka akan memiliki keuntungan ganda. Baik dari sisi kemudahan sumber pendanaan pengembangan bisnis, maupun kepercayaan dari pihak lain (seperti suplier dan customer).
Tampaknya, pemerintah dan kebanyakan ekonom memandang soal utang pemerintah dengan perspektif yang menempatkan negara serupa pelaku bisnis. Utang pemerintah memang dilihat dalam konteks keseluruhan perekonomian negara, namun dengan cara pandang yang banyak dipengaruhi oleh ilmu manajemen keuangan saja. Stok dan beban utang diperbandingkan dengan variabel-variabel seperti : tingkat Produk Domestik Bruto dan laju pertumbuhannya, kondisi neraca pembayaran internasional dan cadangan devisa, perkembangan penerimaan dan pengeluaran pemerintah, dan sebagainya.
Kadang ada penjelasan yang menambahkan variabel lain seperti: tingkat pengangguran, inflasi, dan kondisi rakyat berpendapatan rendah atau miskin. Pandangannya mengarah kepada masih perlunya pemerintah berutang. Agar masih bisa berutang, maka utang lama perlu dikelola (harus dibayar) sesuai kesepakatannya. Jika tidak dilakukan secara demikian, maka semua variabel tadi dikatakan akan menjadi lebih buruk lagi.
Tentu saja, cara pandang semacam itu ditentang oleh pihak yang amat kritis yang menyarankan “penyelesaian” yang lebih radikal atas utang yang masih ada (outstanding). Sebagian pihak lain yang bersikap lebih moderat, namun juga tidak sepakat dengan cara pengelolaan utang oleh pemerintah, menganjurkan upaya negosiasi yang lebih serius terhadap para kreditur.
Secara umum, dari sudut pandang teori ekonomi, utang pemerintah memang tidak berarti baik atau buruk. Teori ekonomi, sebagaimana biasanya, hanya menjelaskan secara positivistik mengenai utang pemerintah. Sebagai contoh, dalam tinjauan yang bersifat makro, dibahas dampak utang pemerintah terhadap alokasi sumber daya perekonomian nasional. Sedangkan ulasan mikroekonomi biasa berfokus kepada kemampuan keuangan pemerintah dalam menangani beban utang.
Pada kenyataannya, utang pemerintah tidak hanya merupakan soal ekonomi (apalagi soal keuangan saja), melainkan berdimensi sosial politik yang kental. Dimensi politik ini menjadi semakin penting pada negara-negara dengan utang yang sebagian besarnya bersumber dari luar negeri. Pertimbangan akan persyaratan berutang dan pengelolaannya sering menyentuh aspek psikologis dan ideologis.
Terlepas dari luasnya dimensi permasalahan, maka persoalan sudah dimulai sejak diambil keputusan untuk berutang secara perhitungan ekonomi. Pertimbangan rasional ekonomi apa yang menjadi alasan berutang, serta perhitungan teknis yang bagaimana untuk menentukan besaran masing-masing jenis utang yang diambil. Misalnya, apakah untuk meningkatkan pendapatan di masa datang, yang berarti bersifat produktif. Ataukah untuk memenuhi kebutuhan darurat yang tidak bisa ditunda demi kelangsungan hidup negara atau sebagian rakyatnya. Apa saja yang menjadi alasan pemilihan beberapa karakteritik utang tertentu, seperti: soal jenis mata uang, pihak pemberi utang, lamanya pelunasan, tingkat bunga, dan lain sebagainya.
Persoalan berikutnya adalah menyangkut bagaimana dana utang tersebut dikelola. Setelah dana diperoleh, apakah penggunaan dan cara pengelolaannya sesuai dengan yang direncanakan dalam berbagai pertimbangan terdahulu. Masalah konsistensi dan kedisiplinan menurut perencanaan ini menjadi penting karena pencairan dana biasanya berlangsung beberapa tahap dan dengan senjang waktu yang cukup lama. Urgensi lain adalah untuk evaluasi keseluruhan proses utang itu sendiri, termasuk perencanaannya.
Dengan demikian, soal utang pemerintah harus diperiksa sejak dari perencanaan sampai dengan pengelolaannya. Bisa saja, keputusannya sudah salah sejak awal karena pertimbangan yang keliru dalam perhitungan ekonomi dari perencanaan utang. Yang kemudian paling banyak dicurigai adalah pengelolaan utang secara buruk, meskipun perencanaannya dapat diterima. Perencanaan utang pemerintah itu sendiri sedikitnya telah memuat alasan untuk berutang dan perhitungan kemampuan membayarnya.
B. Alasan Utang Pemerintah
Pemerintah di negara mana pun dewasa ini melakukan transaksi meminjam dana atau berutang. Penyebab utamanya adalah pengeluaran pemerintah yang cenderung terus meningkat. Peningkatan pengeluaran tidak selalu bisa diimbangi oleh penerimaan, sehingga defisit anggaran menjadi sesuatu yang lazim terjadi. Ada beberapa pilihan kebijakan untuk mengatasi defisit anggaran, seperti: mencetak uang, menjual aset kepada pihak swasta (privatisasi) dan berutang. Dengan demikian, pembiayaan defisit melalui utang merupakan salah satu pilihan wajar. Kondisi itu dialami oleh sebagian negara industri maju, serta oleh hampir seluruh negara miskin dan negara berkembang. Tentu saja ada perbedaan jumlah nominal, maupun porsi utang terhadap anggaran keseluruhan (ataupun pendapatan nasional) antar masing-masing negara.
Hampir semua negara memiliki utang yang dananya berasal dari luar dan dalam negeri. Artinya, ada kreditur asing dan kreditur domestik dilihat dari sisi negara pengutang (debitur). Porsinya berbeda antar negara. Utang pemerintah negara industri maju pada umumnya bersumber dari dalam negerinya sendiri. Pemerintah negara-negara miskin lebih mengandalkan sumber luar negeri. Sedangkan negara-negara sedang berkembang memiliki kombinasi keduanya.
Secara historis, kebanyakan utang pemerintah negara-negara miskin dan berkembang pada awalnya berasal dari luar negeri. Utang luar negeri pemerintah itu kemudian biasa diikuti oleh utang pelaku ekonomi non pemerintah atau pihak swastanya. Sedangkan dari sisi kreditur, yang sering memulai pemberian utang dalam jumlah besar adalah pemerintah negara industri maju dan lembaga keuangan internasional non komersial. Pihak kreditur swasta (meskipun telah secara lebih dini terlibat) cenderung memberi utang dalam skala yang mengikuti arah kedua jenis kreditur tadi.
Ada banyak alasan bagi transaksi utang dilihat dari sisi kedua pihak, yang berutang dan yang memberi utang. Secara logika sederhana, syarat yang harus terpenuhi bagi transaksi utang adalah ada pihak debitur yang membutuhkan dana dan pihak kreditur yang memiliki dana. Dari sisi debitur, penyebab utama kebutuhan itu adalah pengeluaran pemerintah yang cenderung meningkat dan kerap melebihi penerimaannya. Dari sisi kreditur, ada dana yang tersedia, dan sebagian besarnya memang dimaksudkan untuk dipinjamkan. Terlepas adanya opini mengenai tujuan filantropis, pelepasan dana itu jelas memiliki perhitungan ekonomi tersendiri (seperti optimalisasi profit).
Dalam wacana teori ekonomi sering dikemukakan lebih jauh alasan mengapa transaksi itu bisa dan perlu terjadi. Analisis dilakukan terhadap soal pengeluaran pemerintah yang cenderung meningkat di berbagai negara, sehingga difahami polanya. Sebagai contoh, ditemukan fakta bahwa pengeluaran pemerintah akan meningkat secara dramatis pada saat perang. Fokus analisis lain adalah terhadap asal usul dana dan lembaga kreditur. Sebagai contoh, ditemukan bahwa dana berlimpah dari lembaga keuangan internasional (komersial dan non komersial) pada pertengahan 1970-an sampai 80-an adalah dari hasil industri minyak, yang sering disebut petrodollar.
Salah satu yang mendapat perhatian khusus dalam teori ekonomi adalah keberadaan Utang luar negeri (ULN) negara-negara miskin dan negara-negara sedang berkembang (NSB). Sebagai catatan, hampir seluruh ULN dari NSB pada tahap awalnya (umumnya sekitar satu dekade) adalah utang pemerintah. Penjelasan teoritis yang tersedia menekankan pada faktor internal negara-negara debitur, mengenai alasan (pertimbangan) ekonomi perlunya ULN. Diantara yang paling sering dikemukakan adalah: adanya kendala keterbatasan Devisa, untuk meningkatkan persediaan tabungan domestik, dan kebutuhan akan bantuan teknis.
Penjelasan untuk alasan pertama dan kedua sebenarnya berhubungan sangat erat. Pada umumnya, pembahasan dimulai dengan anggapan bahwa negara yang berutang dianggap memiliki kesenjangan dalam dua variabel pokok perekonomiannya. Pertama, adanya kesenjangan antara persediaan dengan kebutuhan tabungan, yang disebut kesenjangan tabungan (savings gap). Kedua, adanya kesenjangan antara ketersediaan dengan kebutuhan akan devisa, yang disebut kesenjangan devisa (foreign-exchange gap). Kedua kesenjangan itu memerlukan tambahan sumber keuangan dari luar negeri, baik yang berupa bantuan maupun utang. Tentu saja, sumber yang tersedia paling banyak adalah berupa utang.
Sedangkan penjelasan mengenai alasan kedua, yaitu meningkatkan persediaan tabungan domestik, diberi penekanan pada sisi yang berbeda. Tekanan diberikan terkait dengan teori pertumbuhan ekonomi, yang memerlukan persediaan tabungan dalam jumlah tertentu yang terus bertambah dari waktu ke waktu. ULN dianggap dapat secara seketika meningkatkan persediaan tabungan domestik, sebagai hasil dari meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi. Jika alasan pertama di atas adalah pada sisi mencukupi, maka alasan kedua ini menekankan akibat berikutnya (yang segera terjadi) dari tertutupinya kesenjangan tersebut. Penalarannya, terjadi pertumbuhan ekonomi yang meningkatkan kemampuan menabung di dalam negeri. Pada akhirnya nanti, diharapkan kebutuhan terhadap bantuan dan utang luar negeri akan menurun dengan sendirinya, setelah sumber-sumber domestik semakin memadai.
Selanjutnya, ada pula penjelasan alasan tentang bantuan teknis yang biasa menyertai ULN. Alasannya dikaitkan dengan soal alih teknologi, termasuk manajemen moderen, yang diharapkan berlangsung antara pemberi utang dengan penerima utang. Para kreditur, baik negara maju maupun pihak swasta internasional, diasumsikan memiliki kemampuan teknologi yang diperlukan oleh pengutang. Sebagian alih teknologi juga dipersyaratkan dalam transaksi, antara lain untuk menjamin kemungkinan pembayaran utang di masa datang, melalui peningkatan kapasitas produksi negara debitur. Ada pandangan optimistik dalam wacana ini, yang melihat kebutuhan kedua belah pihak (kreditur dan debitur) agar terjadi alih teknologi.
Ketiga alasan tadi adalah mengenai perlunya negara miskin dan NSB berutang kepada pihak luar negeri. Masih diperlukan penjelasan mengenai berapa jumlah utang yang sebenarnya diperlukan oleh suatu negara. Teori ekonomi, khususnya ekonomi pembangunan, tertarik untuk menganalisa tentang jumlah utang luar negeri yang optimal.
Secara teoritis, jumlah utang itu harus ditentukan berdasarkan daya serap dari negara penerima pinjaman. Dalam praktiknya, pihak donor dan kreditur sendiri yang menentukan berapa jumlah serta dalam bentuk apa saja diberikan. Alasan filantropis mungkin hanya berlaku bagi sumbangan (hibah) atau sebagian utang dari negara dan lembaga internasional. Pada akhirnya, alasan terbesar tetap bersifat komersial. Mayoritas kreditur pasti menginginkan keuntungan dari transaksi utang piutangnya. Sebagai transaksi bisnis, berbagai jenis risiko selalu dihadapi. Sebagai contoh, perhitungan mengenai daya serap negara debitur kadang meleset, sehingga utang yang diberikan terlampau banyak.
Dalam kasus utang luar negeri Indonesia, hampir semua alasan teoritis yang disebut tadi dipakai sebagai pembenaran oleh pemerintah dan para ekonom. Mulai dari soal kendala keterbatasan devisa, peningkatan persediaan tabungan domestik, kebutuhan akan bantuan teknis, sampai kepada seberapa besar ULN yang diperlukan dan sektor apa saja yang diprioritaskan.
Seperti kebanyakan negara berkembang lain, pada tahap awal penarikan ULN, pemerintah menjadi pelaku utama. Pemerintah secara aktif melakukan perundingan dengan para kreditur, dan mengelola ULN tersebut secara langsung. Bersamaan dengan ULN itu memang ada pula sedikit bantuan yang bersifat hibah. Sejumlah ULN diklaim bersifat bantuan atau setengah bantuan, karena persyaratan pembayarannya dianggap ringan atau berbiaya murah. Pada tahap selanjutnya, pihak swasta dalam negeri turut menjadi pelaku penting dalam transaksi ULN. Uraian tentang argumen perlunya ULN, sekaligus dengan kontra argumen dari pihak yang tidak menyetujuinya akan dibahas lebih lanjut pada bab 2. Mengenai sejarah ULN dan utang pemerintah Indonesia akan dibahas lebih mendalam pada bab 3.
Sebagaimana telah disinggung, semua negara dewasa ini memiliki utang luar negeri. Hanya besaran dan komposisinya yang berbeda-beda. Di negara-negara berkembang, ULN pemerintah cenderung lebih banyak. Diantara utang swastanya terdapat pula ULN yang dijamin oleh pemerintah (publicly guaranted), sehingga dalam analisa, kadang diperlakukan sama dengan utang pemerintah. Dengan berkembangnya pasar keuangan (pasar uang dan pasar modal) suatu negara, biasanya pemerintah memanfaatkan pula utang yang bersumber dari dalam negeri.
Alasan utama adanya Utang dalam negeri (UDN) adalah pada kebutuhan untuk membiayai defisit anggaran. Defisit anggaran terjadi karena penerimaan pemerintah lebih kecil daripada pengeluarannya. Padahal, fungsi-fungsi pemerintahan harus dijalankan, yang memerlukan biaya. Selain itu, pemerintah kerap diharapkan memiliki peran langsung dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Peran ini bisa dilakukan melalui pengeluaran pemerintah seperti belanja modal atau investasi. Akhirnya, UDN dianggap memiliki alasan ekonomi yang wajar.
UDN pemerintah antara lain terdiri dari: penarikan utang langsung, biasanya dari lembaga keuangan domestik; serta yang diperoleh dari penerbitan obligasi atau surat utang. Pada saat ini, hampir seluruh UDN pemerintah Indonesia berupa Surat Utang Negara (SUN).
Posisi mutakhir dari UDN (SUN) pemerintah Indonesia justeru telah melebihi porsi ULNnya (sekitar 60 berbanding 40). Namun, ketika dikritisi lebih jauh definisi ULN dan UDN untuk kasus utang pemerintah Indonesia (pada bab 4), maka tetap saja sumber dana dari luar negeri yang lebih banyak.
Serupa dengan ULN, posisi UDN pemerintah Indonesia dapat diketahui per tanggal tertentu. Sedangkan angka-angka arus utang, penarikan dan pembayarannya, tercatat dalam realisasi anggaran pemerintah. Pemerintah Indonesia mencatat rencana transaksi utangnya dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sedangkan realisasinya antara lain terlihat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), yang dahulu berupa Pelaksanaan Anggaran Negara (PAN). Sesuai dengan undang-undang, saat ini pemerintah juga melaporkan posisi utangnya secara rutin, terutama dalam situs direktorat pengelolaan utang Departemen Keuangan RI.
Sebenarnya, sebagian arus uang terkait UDN pemerintah Indonesia tercatat pula dalam neraca pembayaran luar negeri. Ada sebagian dari SUN yang dinyatakan dalam nilai nominal mata uang (denominasi) rupiah, namun dimiliki oleh yang bukan penduduk (off shores). Pembelian SUN tersebut mengakibatkan arus masuk dalam neraca pembayaran internasional, yang tercatat dalam neraca modal. Selain itu, pemerintah juga menerbitkan SUN dengan denominasi dolar Amerika. Ketika diterbitkan, hampir seluruh SUN jenis ini dibeli oleh pihak yang bukan penduduk. Dalam perkembangannya, karena dapat diperdagangkan, sewaktu-waktu memang bisa dimiliki oleh penduduk Indonesia. SUN dengan denominasi US dolar kadang diperlakukan sebagai ULN dalam pencatatannya. Hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam bab 4.
C. Posisi Utang Luar Negeri Indonesia
Salah satu bentuk transaksi modal dalam hubungan ekonomi internasional dewasa ini yang nilainya amat besar adalah utang piutang internasional. Dalam transaksi itu, penduduk suatu negara mendapat utang atau pinjaman dari yang bukan penduduk. Penduduk yang berutang (debitur) di sini meliputi pemerintah dan swasta. Sedangkan pihak bukan penduduk yang meminjami (kreditur) pun beragam, seperti: pemerintah negara lain, perusahaan swasta negara lain, lembaga internasional (yang dianggap non komersial), dan lembaga keuangan komersial (bank maupun nonbank).
Transaksi utang piutang internasional suatu negara dicatat dalam neraca pembayaran internasionalnya, baik peminjaman maupun pembayarannya. Pencatatan bersifat arus (flow), besaran (nominal) dalam rentang waktu tertentu. Dapat diketahui dari neraca pembayaran, aliran modal berkenaan dengan Utang Luar Negeri (ULN) selama kurun waktu tertentu, seperti: satu triwulan, satu semester, dan satu tahun. Dari sisi utang, ada pembayaran cicilan dan penarikan utang baru. Dari sisi piutang, ada penerimaan cicilan utang, dan ada pemberian piutang baru.
Akumulasi transaksi utang piutang luar negeri, dari waktu ke waktu, membentuk posisi ULN suatu negara. Pada suatu waktu, misalnya tanggal 31 Desember 2007, dapat diketahui posisi utang dan posisi piutang negara tersebut. Dengan demikian, datanya bersifat persediaan atau stok (stock).
Dalam kasus negara seperti Indonesia, yang biasa menjadi fokus analisa adalah posisi ULN (external debt outstanding). Sekali lagi untuk diperhatikan, posisi ULN Indonesia adalah hasil bersih atau akumulasi dari arus ULN selama bertahun-tahun. Uraian berikut menggambarkan lebih lanjut maknanya dengan contoh angka-angka yang memang terjadi dalam kasus Indonesia.
Sejak tahun 1970 sampai era awal 90-an, Indonesia mulai menerima arus ULN yang cenderung makin meningkat tiap tahun. Laju peningkatannya kemudian menurun, nominalnya masih bertambah, tetapi dengan prosentase pertumbuhan yang lebih kecil dari tahun sebelumnya. Memang pernah juga terjadi dalam satu-dua tahun, pertumbuhan itu bersifat negatif, arus ULN yang diterima pada tahun yang bersangkutan lebih rendah daripada tahun sebelumnya.
Di lain sisi, sejak akhir 70-an, arus pembayaran ULN berupa cicilan pokok dan bunga cenderung terus meningkat sampai dengan saat ini. Penyebabnya adalah utang-utang terdahulu sudah harus mulai dibayar. Selama periode tahun 1970-2006, diperkirakan ULN yang telah ditarik sudah lebih dari USD 200 milyar. Pelunasan utang pokok, tidak termasuk pembayaran bunganya, telah mencapai USD 75 milyar. Perlu diketahui bahwa penggunaan mata uang dolar Amerika Serikat (USD) hanya suatu kebiasaan pencatatan. Sedangkan transaksi sejatinya menggunakan juga berbagai mata uang asing yang lain, sehingga memerlukan perhitungan konversinya bagi keperluan pencatatan.
Posisi ULN Indonesia pada awal tahun 1970 adalah sebesar USD 2,52 milyar, termasuk ULN Orde Lama sebesar USD 2,1 milyar yang telah dijadwal ulang melalui Paris Club tahun 1970, namun tidak memasukkan utang warisan pemerintah kolonial Belanda. Posisi ULN tersebut meningkat menjadi sebesar USD 20,9 milyar pada akhir tahun 1980 dan mencapai posisi tertinggi, USD 150,89 milyar pada akhir tahun 1999. Dalam kurun waktu tersebut ULN pemerintah meningkat dari USD 2,52 milyar pada awal tahun 1970, sebesar USD 6,6 milyar pada akhir tahun 1980, dan menjadi USD 75,87 milyar dollar pada akhir tahun 1999. Sedangkan ULN swasta, yang hampir tidak ada pada tahun 1970, menjadi USD 14,3 milyar dollar pada akhir tahun 1980, kemudian mencapai posisi tertinggi, USD 83,56 milyar dollar pada akhir tahun 1998.
Posisi ULN Indonesia, pemerintah dan swasta, pada 31 Maret 2008 adalah sebesar USD 145,47 miliar. Komposisinya adalah sebagai berikut: posisi ULN pemerintah USD 87,50 milyar; posisi ULN swasta USD 57,97 milyar (lihat tabel 1.1). Dalam ULN pemerintah itu sudah termasuk SUN dengan denominasi dolar. Perlu diketahui bahwa ULN Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dikategorikan sebagai swasta dalam tabel itu, mengikuti kebiasaan BI serta menurut perundang-undangan yang berlaku saat ini. Posisi ULN BUMN bukan bank per 31 Maret 2008 adalah USD 3,35 miliar, dan posisi ULN Bank Persero adalah USD 1,95 miliar.
Tabel 1.1 bisa dikatakan menggambarkan profil atau struktur ULN Indonesia dalam hal pemilik utang, yang membedakan antara ULN pemerintah dengan swasta. Terlihat bahwa porsi utang pemerintah adalah sekitar 60,15% dari total ULN. Porsi tersebut akan membesar (63,79%) jika kita memasukkan ULN BUMN, baik bank maupun non bank. Namun, pengertian sektor pemerintah dalam tabel tersebut adalah dalam arti pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Profil ULN juga dapat dilihat dari jangka waktu pelunasannya. Jangka pendek diartikan sebagai ULN yang masa pelunasannya sampai dengan satu tahun; sedangkan ULN jangka menengah dan panjang adalah yang masa pelunasannya lebih dari satu tahun. Berdasarkan jangka waktunya, posisi ULN jangka pendek relatif masih rendah, sebagian besar ULN Indonesia berjangka menengah dan panjang.
Posisi ULN jangka pendek hanya sekitar 6 % dari total ULN. Sebagian besar dari ULN jangka pendek tersebut merupakan ULN swasta. ULN jangka pendek swasta terbesar justeru dimiliki oleh swasta yang bukan lembaga keuangan, atau perusahaan di sektor riil. Hal itu memang terkait dengan kebutuhannya (seperti kredit supplier). Utang jangka pendek umumnya memiliki suku bunga tidak tetap dan bersifat komersial.
D. Profil Utang Pemerintah Indonesia
Kita sudah menyinggung bahwa utang luar negeri (ULN) Indonesia terdiri dari ULN pemerintah dan ULN swasta. Selain ULN, Pemerintah masih memiliki utang dalam negeri (UDN). Untuk lebih mengenali profil utang Pemerintah, kita perlu membedakan dahulu hirarki dari sektor pemerintah di Indonesia dalam konteks permasalahan utang. Hal ini perlu dilakukan karena dalam penggunaan sehari-hari (bahkan berita media) sering terjadi ketidakjelasan mengenai arti kata pemerintah.
Menurut Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan Republik Indonesia (2007), sektor pemerintah (Public Sector) terdiri dari pemerintah umum (General Government) dan sektor pemerintah lainnya (Rest of the Public Sector). Pemerintah umum dibedakan antara pemerintah pusat (Central Government) dan pemerintah daerah (Local Government). Sektor pemerintah lainnya dibedakan antara yang merupakan sektor keuangan (Financial public sector) dengan yang bukan sektor keuangan (Non-financial public sector). Sedangkan yang sektor keuangan sendiri terdiri dari bank sentral dan sektor keuangan lainnya.
Kepentingan pembedaan ini berkenaan dengan data statistik yang tersedia untuk pengertian tertentu adalah lebih kontinu dan transparan. Di masa lalu, terdapat banyak data yang berbeda, dan sering tidal konsisten, meskipun dikeluarkan oleh instansi yang sama. Setidaknya dalam beberapa tahun terakhir ini, sesuai dengan amanat Undang-undang, data tersebut mulai lebih konsisten dan dapat dipertanggungjawabkan.
Salah satu data yang dimaksud adalah tentang utang pemerintah pusat (Central government debt). Yang tidak termasuk dalam data ini antara lain adalah utang yang dimiliki oleh bank Indonesia, pemerintah daerah, dan BUMN. Data-data utang pemerintah selain pemerintah pusat biasa disajikan tersendiri Selain ketersediaan data, pangsa utang pemerintah pusat adalah yang terbesar dari sektor publik, lebih dari 90 persen. Dampaknya terhadap APBN juga bersifat langsung, sehingga analisa terhadap data utang pemerintah pusat paling sering dilakukan, dan cukup representatif sebagai profil utang pemerintah keseluruhan.
Dalam beberapa tahun terakhir, ada lagi sedikit perubahan, dimana utang luar negeri pemerintah daerah memerlukan persetujuan yang lebih ketat dan bahkan dikendalikan oleh pemerintah pusat. Tentu saja berdampaknya pula pada pertanggungjawabannya. Berbagai publikasi data utang pemerintah pusat pun sering memasukkan ULN pemerintah daerah ke dalamnya, seperti yang disajikan dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2008. Dalam buku ini, jika tidak disebut lain yang dimaksud dengan utang pemerintah adalah pengertian semacam itu.
Posisi utang pemerintah per 29 Februari 2008 adalah sebesar USD 155,29 atau setara dengan sekitar 1.400 triliun rupiah (dikonversikan dengan kurs waktu itu). Utang tersebut berasal dari berbagai sumber, yang dapat juga diartikan dari berbagai pihak (kreditur). Ada yang dikelompokkan sebagai pinjaman luar negeri (41,43%), yang terdiri dari: Pinjaman Bilateral (21,90%), Pinjaman Multilateral (12,22%), Kredit ekspor (7,28%), Kredit komersial (0,03%) dan leasing (0,01%). Ada yang dikelompokkan sebagai pinjaman berbentuk Surat Berharga Negara (58,57%), yang terdiri dari Surat Utang Negara (SUN) berdenominasi valuta asing (sejauh ini baru dalam dolar Amerika) dan yang berdenominasi rupiah. Perinciannya dapat dilihat pada tabel 1.2 (di buku)
Namun perlu diketahui bahwa pengelompokkan utang pemerintah ini kadang tidak disajikan secara demikian, dimana SUN berdenominasi valuta asing dikategorikan sebagai pinjaman luar negeri. Begitu pula dengan kategori pinjaman bilateral, yang pada beberapa publikasi, sebagian jumlahnya masuk kategori pinjaman komersial bersama-sama dengan sebagian besar pinjaman berbentuk kredit ekspor dan leasing.
Profil utang pemerintah juga bisa dicermati atas dasar denominasi mata uangnya. Utang luar negeri dalam tabel 1.2 yang dinyatakan dalam dolar Amerika sebenarnya terdiri dari berbagai mata uang. Pemahaman akan profil ini diperlukan dalam memperhitungkan risiko nilai tukar bagi pembayaran cicilan dan bunga utang. Misalnya saja kita harus membayar beban utang dalam Yen Jepang, sementara devisa yang kita miliki kebetulan dolar Amerika, maka kurs Dolar Amerika dan Jepang akan mempengaruhi perhitungannya. Masalahnya menjadi lebih kompleks karena ada beberapa mata uang yang menjadi denominasi utang, namun demikian pula dengan perolehan devisa kita.
Penjelasan lebih lanjut tentang masing-masing jenis utang dalam tabel 1.2 dan profil terkait denominasi tersebut akan diberikan pada bab 4. Kita juga akan melihat beberapa perbedaan data utang pemerintah, karena adanya perbedaan definisi dalam beberapa hal. Akan dibahas pula perkembangan posisinya dalam beberapa tahun terakhir.
E. Beban Utang Pemerintah Indonesia
Masalah yang utama dari utang pemerintah saat ini dan di masa datang adalah beban pelunasan, berupa cicilan pokok beserta bunganya. Bunga seperti interest untuk pinjaman luar negeri dan kupon untuk Obligasi Negara, bukanlah satu-satunya biaya utang. Ada biaya-biaya lain yang terkait dengan pengadaan pinjaman luar negeri, diantaranya: commitment fee, management fee, dan biaya/premi asuransi. Sedangkan untuk UDN, dalam pengertian yang lebih spesifik, biaya utang yang sebenarnya bagi Pemerintah adalah imbal hasil (yield) SUN yang diperoleh investor. Dalam hal ini, imbal hasil SUN merupakan keuntungan bagi investor yang sudah memperhitungkan besarnya kupon dan harga pasar dari SUN. Pergerakan imbal hasil SUN berlawanan arah (berbanding terbalik) dengan harganya. Artinya, jika imbal hasil turun seiring dengan menurunnya ekspektasi inflasi dan suku bunga, maka harga pasar SUN akan naik, dan begitu juga sebaliknya.
Telah menjadi kebiasaan untuk memakai istilah beban utang setiap tahunnya dengan menjumlahkan antara pelunasan pokok dengan biaya utang. Untuk keperluan analisa, pengertian biaya utang memang disederhanakan sebagai bunga utang yang harus dibayar pada tahun itu. Bagi pemerintah pusat, beban utang langsung terlihat dalam APBN. Beban pembayaran bunga utang (ULN dan UDN) setiap tahunnya muncul sebagai pos pembayaran bunga utang dalam bagian belanja pemerintah pusat, sedangkan beban cicilan pokok masuk ke dalam bagian pembiayaan.
Angka cicilan pokok UDN “tersembunyi” dalam subpos pembiayaan melalui SUN neto. Dikatakan tersembunyi karena angka yang ditampilkan adalah hasil bersih penerbitan SUN baru dikurangi dengan pelunasan SUN. Kadang SUN yang dilunasi tidak hanya yang telah jatuh tempo, melainkan juga yang belum namun dibeli kembali oleh pemerintah (buyback). Dapat pula dilakukan penukaran secara langsung seri lama dengan seri SUN baru sesuai dengan yang ditawarkan (debtswitch).
Sementara itu, cicilan ULN tertera dalam denominasi rupiah, sesuai dengan kurs pada saat terjadi pembayaran. Angka kurs diasumsikan dalam APBN, dan dihitung secara sebenarnya dalam laporan realisasi (PAN dan LKPP).
Dalam APBN 2007, direncanakan total pembayaran utang pemerintah pusat adalah Rp 171,59 triliun. Terdiri dari: pelunasan pokok utang sebesar Rp 86,50 triliun (cicilan ULN Rp 54,83 triliun dan pelunasan UDN Rp 31,67 triliun) dan pembayaran bunga utang sebesar Rp 85,09 triliun (bunga ULN Rp 26,66 triliun dan bunga UDN Rp 58,42 triliun). Total pembayaran utang tersebut merupakan 23,73 % dari total Pendapatan negara yang direncanakan pada tahun tersebut. Namun, realisasinya (dari LKPP, masih bersifat sementara) tidak persis seperti itu. Pelunasan utang pokok menjadi lebih besar, namun pembayaran bunga justeru lebih kecil (lihat tabel 1.3). Ini bisa terjadi karena memang dimungkinkan oleh peraturan mengenai mekanisme keuangan negara, serta sebagian biaya bunga dibayar sesuai dengan tingkat yang sesungguhnya terjadi.
Salah satu yang paling “luwes” untuk berubah adalah rencana pelunasan pokok utang dalam negeri (SUN). APBN 2007 mencantumkan angka SUN neto sebesar Rp 40,61 triliun, artinya selisih dari yang diterbitkan (utang baru) dengan yang dilunasi. Teknisnya tidak bersifat terlalu mengikat (meskipun ada prosedur persetujuan DPR), karena biasanya SUN yang dilunasi lebih dari jumlah yang jatuh tempo tahun bersangkutan, diantaranya dengan membeli kembali (buyback) atau menukar (debtswitch) SUN tertentu. Yang ditekankan oleh APBN 2007 adalah adanya kebutuhan pembiayaan untuk menutup defisit melalui SUN sebesar neto itu. Dalam kenyataanya (termasuk adanya revisi APBN di tengah pelaksanaan tahun anggaran), pada tahun 2007 diterbitkan SUN senilai Rp 117,15 triliun dan yang dilunasi senilai Rp 60,06 triliun. Dengan demikian, SUN neto tahun 2007 adalah Rp 57,07 triliun (lebih besar dari yang direncanakan APBN).
Dalam APBN 2008, direncanakan total pembayaran utang pemerintah pusat adalah Rp198,14 triliun. Terdiri dari: pelunasan pokok utang sebesar Rp106,6 triliun (cicilan ULN Rp59,66 triliun dan pelunasan UDN Rp 47 triliun) dan pembayaran bunga utang sebesar Rp91,54 triliun (bunga ULN Rp28,74 triliun dan bunga UDN Rp62,80 triliun). Total pembayaran utang tersebut merupakan 26,02 % dari total Pendapatan negara yang direncanakan pada tahun tersebut. Namun, realisasinya masih akan kita tunggu.
Hanya saja, oleh karena RAPBN diajukan bulan Agustus, biasanya dengan data utang per bulan Juni, maka selama pembahasannya (sekitar tiga bulan) sering sudah ada perubahan. Selain itu, pihak DPR bisa saja menghendaki adanya perubahan, meskipun jarang bersifat mendasar untuk pos utang. Perubahan pun sangat mungkin terjadi di tengah pelaksanaan APBN, melalui mekanisme APBN Perubahan. Untuk tahun 2008, baru berjalan dua bulan, pemerintah sudah mengajukan RAPBN-P (ketika buku ini ditulis ditetapkan APBN-P). Khusus untuk pos utang, diajukan kenaikan yang cukup signifikan. Besar kemungkinan akan ada APBN-P II dalam tahun anggaran ini.
Sebenarnya untuk lebih mengendalikan beban utang di masa mendatang, Pemerintah dan DPR telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang KeuanganNegara. Pemerintah juga telah mengeluarkan PP Nomor 23 Tahun tentang “Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah”. Undang-undang dan PP tersebut diantaranya mengatur bahwa besarnya defisit dari General Governments maksimal 3 persen dari PDB dan besarnya rasio utang dari General Governments terhadap PDB maksimal 60 persen.
Target agar angka rasio utang dari General Governments terhadap PDB tidak melebihi dari 60%, tampaknya tidak sulit dicapai. Bahkan pada masa menjelang dan awal krisis saja, angka rasio ULN total (pemerintah dan swasta) terhadap PDB masih menunjukkan angka 48,5 % dan 60,3%. Wajar jika untuk tahun 2008 ini, pemerintah mematok angka 34% sebagai target rasio utang pemerintah atas PDB.
Sebagai catatan, kebanyakan ekonom menyarankan rasio yang aman untuk total ULN terhadap PDB adalah 25%. Berarti, jika hanya memperhitungkan ULN pemerintah, angkanya harus lebih kecil lagi. Ingat bahwa angka penyebutnya masih tetap PDB.
Untuk memahami kondisi beban utang yang berat saat ini, kita memang harus melihat perkembangan utang sejak pemerintahan Orde Baru. Pada masa itulah, Indonesia mulai memposisikan utang sebagai salah satu penopang utama pengelolaan ekonomi negara. Konsep yang dikatakan dipakai adalah kebijakan anggaran belanja berimbang. Prakteknya, pemerintah menempatkan utang luar negeri sebagai komponen penutup kekurangan.
Pada saat Indonesia mendapat rejeki berlimpah dari oil boom, ada peluang mengubah kondisi ini dalam kebijakan anggaran. Namun, utang luar negeri tetap saja menjadi komponen utama pemasukan di dalam angaran pemerintah. Tampaknya, para kreditur justeru makin antusias memberi pinjaman, melihat “kemampuan membayar” Indonesia dari hasil minyaknya. Dalam konteks ini, kemungkinan besar pandangan yang mengatakan bahwa ULN mengakibatkan tidak terjadinya pertumbuhan tabungan domestik yang berarti adalah benar. Sederhananya, dengan ULN yang berlimpah maka perekonomian Indonesia menjadi “manja”, dan tak berupaya keras untuk melakukan akumulasi kapital domestik bagi investasi.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa beban ULN saat ini sebagian besarnya adalah akibat keputusan pemerintahan Soeharto. Selama periode tahun 2001 – 2007 justeru pembayaran ULN lebih besar daripada penarikannya, meskipun masih belum terlampau besar, sehingga posisi ULN pemerintah sempat menurun. Saat ini, ada komitmen untuk mengurangi posisi ULN pemerintah. Upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan membayarnya secara disiplin, dan sedapat mungkin menekan penarikan ULN baru.
Dilihat sepintas, hal itu adalah langkah yang baik. Akan tetapi harus diingat bahwa pembayaran cicilan disertai bunganya saat ini dan beberapa tahun ke depan adalah beban yang cukup berat bagi APBN dan perekonomian Indonesia. Secara tidak langsung, rakyat banyak akan memikul beban berat. Penerimaan pajak, apalagi penerimaan SDA, mestinya adalah sarana untuk meningkatkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hak mereka itu sebagiannya dirampas untuk membayar beban utang, yang tidak sepenuhnya mereka nikmati.
Sementara itu, posisi ULN pemerintah yang sempat mengalami penurunan, ternyata diimbangi dengan UDN yang mengalami peningkatan. Pemerintahan pasca Soeharto turut bertanggung jawab atas langkah ini, dengan anjuran atau rekomendasi dari IMF.
Peningkatan UDN hampir seluruhnya melalui mekanisme penerbitan SUN. Kebijakan ini memang secara serius dilakukan untuk mulai mengubah struktur utang pemerintah. Alasannya, UDN lebih bisa dikontrol dan tidak membuat perekonomian serentan jika posisi ULN-nya yang sangat besar.
Utang dalam negeri dianggap dapat diselesaikan oleh pemerintah tanpa harus bergantung pada uluran tangan atau kemurahan hati para kreditur internasional. UDN juga dianggap dijamin oleh sumber pendanaan berupa hasil penjualan aset-aset yang diserahkan oleh para konglomerat sebagai pengganti fasilitas penerbitan utang tersebut. Harap diingat sekitar 650 triliun SUN yang awal adalah berkaitan dengan program Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan program restrukturisasi perbankan. Persoalan utang dalam negeri juga diyakini akan dapat ditanggulangi oleh pemerintah dengan menunda pembayaran bunganya, atau dengan melakukan penataan ulang masa jatuh temponya (reprofiling).
Bagaimanapun, SUN baru terus diterbitkan beberapa tahun terakhir. Penjelasan resminya adalah untuk membiayai defisit anggaran pemerintah. Ironisnya, salah satu penyebab utama defisit itu adalah SUN yang diterbitkan terdahulu (ditambah dengan beban ULN pemerintah yang masih besar). Ephoria SUN dengan denomisasi dolar Amerika juga perlu diwaspadai, karena secara langsung akan bertentangan dengan tekad mengurangi ULN pemerintah. Dengan kata lain, seluruh SUN itu tetap membebani APBN di masa-masa mendatang.
Perhatikan bahwa ULN maupun UDN pemerintah akan berdampak pada pengelolaan keuangan pemerintah. Ada beberapa hal telah terjadi dan diprediksi masih berlangsung pada tahun-tahun mendatang. Salah satunya, APBN semakin sulit diharapkan menjadi stimulus fiskal bagi pertumbuhan ekonomi, karena sebagian cukup besarnya telah dihabiskan untuk membayar beban utang.
Aspek lain dari upaya pemerintah untuk mengubah profil utangnya, sehingga UDN lebih besar dari ULN tetap perlu dicermati. Sebagian SUN saat ini saja sudah ada yang dimiliki oleh bukan penduduk (off-shore). Begitu pula jika dilihat kepemilikan akan SUN saat ini kebanyakan adalah pada lembaga keuangan, khususnya bank, yang mulai diprivatisasi. Dalam prakteknya, privatisasi lebih mungkin berarti pembelian oleh pihak asing, sekalipun sebagiannya dilakukan oleh anak perusahaannya yang berbadan hukum Indonesia. Obligasi yang dahulu diberikan untuk “menolong” berarti akan menguntungkan bank-bank tersebut. Cermatilah bahwa akan ada transfer keuntungan di masa-masa yang akan datang.
Secara perhitungan, setelah memasukkan unsur risiko eksternal, UDN dianggap lebih tidak memberatkan bagi pemerintah dibandingkan ULN. Akan tetapi melihat beban yang masih tetap berat, serta kemungkinan transfer keuntungan yang terjadi, perubahan profil semacam itu tak akan berarti banyak. Ditambah lagi kecenderungan untuk meningkatkan obligasi dengan denominasi dolar, yang jelas beban bunganya cukup berat, membuat upaya pengurangan ULN secara total akan terhambat. Yang berubah adalah profil krediturnya, dari anggota CGI ke lembaga-lembaga keuangan internasional, bahkan dana pensiun dari suatu negara bagian Amerika. Keuntungan yang jelas barulah uang kas atau devisa yang masuk saat berutang. Pengalaman Orde Baru dapat terulang, gali lubang tutup lubang, dan generasi mendatang tetap akan menanggung akibatnya.
F. Tentang Buku Ini
Sebagian isi buku ini bersifat deskriptif, menjelaskan seluk beluk utang pemerintah. Pembaca diharapkan bisa mengetahui dan memahami beberapa aspek penting permasalahannya. Antara lain mengenai: seberapa besar utang pemerintah pusat saat ini, dalam bentuk dan jenis seperti apa, kepada siapa saja pemerintah berutang, bagaimana sejarah pembentukan utang itu, serta seberat apa beban yang harus ditanggung di masa depan.
Uraian deskriptif hampir seluruhnya berasal dari sumber resmi (pemerintah dan Bank Indonesia). Baik mengenai kebijakan pengelolaan utang yang dijalankan, maupun tentang angka-angka yang dilaporkan. Penalaran umum atas permasalahannya disajikan sesederhana mungkin. Contoh-contoh penalaran umum dimaksud antara lain adalah: posisi utang saat ini (tanggal yang disebutkan) adalah hasil akumulasi transaksi utang (penarikan, pembayaran dan penghapusan) sebelumnya; beban utang setiap tahunnya adalah pelunasan pokok ditambah bunga pada tahun tersebut, dengan tetap mengingat bahwa ada biaya lainnya; beban utang tersebut harus ditanggung oleh penerimaan negara, baik yang berasal dari pajak maupun yang bukan pajak; jika pelunasan pokok utang lebih kecil daripada penerimaan utang baru maka total utang pemerintah menjadi bertambah.
Selain uraian deskriptif, pembaca akan diajak melakukan analisis. Analisis dilakukan terhadap berbagai aspek, mulai dari argumen untuk berutang, pengelolaan utang, sampai kepada soal beban utang. Ada tinjauan terhadap argumen penting yang biasa dibahas dalam disiplin ilmu ekonomi pembangunan. Ada tinjauan singkat atas kasus-kasus beberapa negara. Ada penelusuran yang cukup detil mengenai sejarah utang pemerintah Indonesia, khususnya sejak masa Orde Baru. Dan yang lebih dikedepankan adalah analisa atas profil utang pemerintah pada saat buku ini ditulis. Analisa profil utang tersebut secara logis berlanjut kepada beban utang yang ditanggung sekarang dan di masa depan.
Urutan pembahasannya adalah sebagai berikut. Setelah tinjauan umum ini akan dibicarakan mengenai teori ekonomi utang pemerintah (bab 2). Yang terutama ingin dijelaskan adalah alasan (pembenaran) teoritis perlunya utang pemerintah, kemudian dihubungkan dengan fakta empiris yang terjadi. Diuraikan pula penilaian umum tentang biaya dan risiko utang pemerintah Indonesia, dan dilengkapi dengan perspektif teoritis penyelesaiannya secara teoritis.
Bab 3 menggambarkan sejarah singkat utang pemerintah Indonesia, dari era Orde Lama hingga kini. Dilanjutkan dengan deskripsi yang cukup detil tentang profil atau struktur utang pemerintah Indonesia saat ini (Bab 4). Pemahaman akan profil memudahkan kita menghitung beban utang yang harus ditanggung oleh pemerintah (pada akhirnya dibebankan kepada rakyat) Indonesia saat ini dan masa mendatang (bab 5).
Bab 6 menghubungkan antara kondisi yang dideskripsikan pada bab-bab sebelumnya dengan kebijakan pemerintah (khususnya pemerintahan SBY) dalam pengelolaan utang. Kesimpulan yang diambil buku pada akhirnya cukup sederhana, yaitu: dengan keberadaan utang sekarang dan arah kebijakan pengelolaan utang yang resmi dinyatakan maka utang pemerintah adalah beban berat bagi perekonomian Indonesia sampai kapan pun.
Secara ekonomi, kita bukan tidak mampu membayar beban utang tersebut. Indonesia masih memiliki sumber daya alam dan jumlah penduduk yang banyak. Masalahnya adalah beban terberat ditanggung oleh rakyat kebanyakan, yang bahkan tidak terlampau mengerti mengapa ada utang dan beban sebesar itu.
Penulis mengajukan hipotesa bahwa UTANG PEMERINTAH SUDAH MENCEKIK RAKYAT INDONESIA.