"Saya
sudah sampaikan ke Pak Airlangga dan seluruh kementerian di bawahnya untuk
segera menurunkan defisit neraca transaksi berjalan kita, juga defisit neraca
dagang. Kami akan konsen ke situ," kata Jokowi pada 6 November 2019.
Setahun sebelumnya (24 Oktober 2018), Jokowi telah mengatakan bahwa masalah
yang sudah bertahun-tahun tidak bisa diselesaikan adalah defisit neraca
perdagangan dan defisit transaksi berjalan. Bahkan pada 5 September 2018,
Jokowi memerintahkan menterinya untuk segera bergerak menyelesaikannya dalam
waktu satu tahun.
Kenyataannya
kemudian justru tercipta rekor defisit pada tahun 2018 sebesar USD31,06 miliar.
Dan hanya sedikit turun pada tahun 2019 menjadi sebesar USD30,42 miliar.
Defisit pun telah dialami selama 8 tahun berturut-turut.
Soalan
ini terasa makin krusial mengingat selama tahun 1998-2011 selalu mengalami
surplus. Sedangkan kurun tahun 1981-1997 selalu mengalami defisit, dengan nilai
yang berfluktuasi. Nilainya cenderung meningkat jelang krisis 1997.
Meski telah menjadi wacana publik yang cukup luas, istilah
Transaksi Berjalan belum sepenuhnya dimengerti. Diskusi terlampau fokus pada
salah satu bagian saja dari persoalannya, yaitu ekspor dan impor barang. Atau pada
neraca perdagangan versi BPS yang telah memasukkan sebagian jasa terkait
pencatatan nilai impor.
Uraian
terdahulu memperlihatkan bahwa Transaksi Berjalan sebenarnya terdiri dari empat
bagian atau neraca. Yaitu: Barang, Jasa-jasa, Pendapatan Primer, dan Pendapatan
Sekunder. Analisa harusnya mencermati
masing-masing kondisinya. Bahkan perlu kajian atas berbagai detil yang penting,
agar diperoleh rekomendasi kebijakan ekonomi yang tepat. Tak cukup hanya berperspektif
jangka pendek, melainkan juga memperhitungkan dampak jangka menengah dan panjang.
Pada
bagian tulisan ini perlu ditekankan kembali bagian yang penting namun sering kurang
mendapat perhatian dalam diskusi, yaitu tentang Pendapatan Primer.
Upaya pengendalian defisit
Pendapatan Primer akan berbenturan dengan kebijakan otoritas ekonomi yang
mengharapkan masuknya modal asing secara besar-besaran. Peningkatan masuknya
modal asing bahkan sering dibanggakan sebagai indikasi kredibelnya perekonomian
nasional. Padahal harus diingat bahwa pihak asing mau berinvestasi atau memberi
utang karena berharap akan adanya hasil kembalian berupa keuntungan dan
pembayaran bunga.
Arus masuk dan keluar dari
investasi itu sendiri tercatat dalam Transaksi Finansial. Bukan dalam Transaksi
Berjalan. Transaksi
Finansial mencatat perubahan kepemilikan aset dan kewajiban finansial luar
negeri Indonesia. Catatan disebut aset berarti arus keluar dan masuk modal
finansial milik penduduk Indonesia. Disebut kewajiban untuk catatan tentang
milik asing yang masuk dan keluar wilayah Indonesia.
Transaksi Finansial Indonesia cenderung
membukukan arus masuk bersih, dengan nilai berfluktuasi. Arus masuk bersih pada
tahun 2019 meningkat signifikan dari tahun sebelumnya, hingga mencapai USD36,34
miliar. Arus keluar modal finansial milik penduduk Indonesia sebesar USD
14,47
miliar. Sedangkan arus masuk milik asing sebesar USD50,81 miliar.
Dengan demikian, perlu diingat pula bahwa
kecenderungan nilai bersih arus masuk selama ini tidak hanya ditentukan oleh
masuk dan keluarnya modal finansial asing. Melainkan juga oleh perilaku
penduduk Indonesia dalam berinvestasi ke luar negeri.
Transaksi finansial tersebut terdiri
dari investasi langsung, investasi portofolio, dan investasi lainnya. Pada
tahun 2019: investasi langsung surplus sebesar USD20,05 miliar, Investasi
portofolio surplus sebesar USD21,55 miliar, dan investasi lainnya defisit
sebesar USD5,44 miliar.
Sebagaimana diketahui, Investor
portofolio cenderung lebih bersifat spekulatif dibanding investasi langsung,
karena tidak memiliki pengaruh yang cukup dalam perusahaan tempatnya
berinvestasi. Transaksi investasi portofolio adalah atas surat berharga, baik
di pasar perdana atau pun di pasar sekunder. Transaksi terjadi di pasar
finansial terorganisasi, melalui bursa atau pun di luar bursa.
Investor portofolio terutama menimbang
keamanan investasi, kemungkinan apresiasi nilainya, dan imbal hasil yang
diperoleh. Jika kondisi atau keadaan berubah, investor portofolio dapat dengan
mudah menggeser investasi mereka ke wilayah lain.
Pada tahun 2019, investasi portofolio mengalami
surplus sebesar USD21,55 miliar. Investasi Portofolio yang bersifat aset sebesar
USD441,18 juta, dan yang bersifat kewajiban sebesar USD21,11 miliar. Kecenderungannya
memang selalu mengalami surplus selama belasan tahun terakhir.
Akan tetapi perlu dimengerti bahwa
penduduk Indonesia pun melakukan investasi ke luar negeri, dicatat sebagai
investasi portofolio aset, dengan nilai yang berfluktuatif. Kadang bernilai
cukup besar pada tahun tertentu, seperti tahun 2018 yang mencapai USD5,17
miliar.
Dilihat dari aspek fundamental,
dinamika investasi portofolio amat memengaruhi keseluruhan Neraca Pembayaran
Indonesia sekitar sepuluh tahun terakhir. Pengaruhnya makin menentukan beberapa
tahun ke depan. Bagian neraca lainnya tampak lebih stabil, tidak mudah membaik
atau memburuk dalam jangka pendek. Ditambah kemudahan teknis dari jenis
transaksi ini berbalik arah atau sekurangnya melambat.
Arus masuk tersebut memperbaiki neraca
pembayaran dan menambah cadangan devisa pada tahun bersangkutan. Namun, kompensasinya
akan berupa pembayaran pada bagian neraca Pendapatan Primer pada waktu
berikutnya. Berarti pula makin menekan Transaksi Berjalan.
Kita dapat pula mencermati arus masuk
investasi asing portofolio secara neto tiap tahunnya. Ketika masuk sebagai
investasi portofolio, sifatnya menambah devisa. Namun, pembayaran imbal jasanya
kemudian akan mengurangi. Tentu saja, pembayaran tersebut merupakan konsekwensi
dari akumulasi investasi sebelumnya. Arus masuk secara neto dari keduanya kadang
amat kecil dan dapat negatif pada tahun tertentu.
Catatan tentang akumulasi dari investasi
portofolio sebagai bagian dari Transaksi Finansial dapat dicermati dari laporan
Bank Indonesia tentang Posisi Investasi Internasional Indonesia (PIII). Salah
satu bagian yang dilaporkan PIII adalag mengenai posisi kewajiban investasi
portofolio.
Posisi investasi portofolio
dari sisi
kewajiban dalam PIII untuk kondisi akhir September 2019 adalah sebesar USD288,09
miliar. Posisinya terus meningkat dengan pesat, telah mencapai lebih dari 8
kali lipat jika dibandingkan dengan tahun 2005, atau hanya dalam kurun waktu 13
tahun.
Posisi itu dapat pula dibaca sebagai
“modal finansial” yang cukup likuid untuk keluar dalam waktu singkat. Meski
nyaris mustahil akan mendadak balik ke luar negeri sebesar jumlah itu, tetapi
tetap harus dilihat sebagai resiko potensial. Untuk mengguncang atau
memperburuk kondisi jika telah mulai ada guncangan terhadap perekonomian, cukup
10 hingga 20 persen saja yang keluar mendadak dalam kurun satu minggu hingga satu
bulan, diperkirakan dapat menjadi sebab terjadinya krisis ekonomi, kecuali jika
otoritas moneter dengan sigap melakukan langkah antisipatif yang memadai.
Tentu saja harus diakui bahwa bisa pula
yang terjadi adalah sebaliknya, posisi demikian diharapkan menjadi jaminan bagi
datangnya arus masuk baru, karena dinilai kredibel dan layak investasi.
Penentunya antara lain daya tarik dan bukti hasil dari modal finansial yang
telah berada di Indonesia masih relatif lebih menguntungkan dibanding investasi
yang sama di kawasan.
Kembali
kepada topik utama tentang Transaksi Berjalan. Bank Indonesia menilai kondisi terkini yang selalu defisit
masih
aman dan terkendali. Yang dipakai sebagai ukuran adalah rasio defisit transaksi
berjalan atas Produk Domestik Bruto (PDB). Besaran yang disebut aman adalah
defisit 3 persen dari PDB. Sedangkan kestabilan cenderung diartikan tingkat
defisit yang bertahan di kisaran 2,5 hingga 3 persen.