Produk Domestik Bruto (PDB) adalah nilai pasar semua barang dan jasa akhir yang
diproduksi dalam perekonomian selama kurun waktu tertentu. Kata kunci pertama
adalah produksi. Produksi menghasilkan barang dan jasa, kadang cuma disebut
sebagai barang saja. Istilah yang kerap dipakai adalah output, yang timbul oleh
karena adanya kegiatan produksi. Nilai pasar artinya diukur dengan harga,
satuannya mata uang. Arti kata “akhir” menunjukkan bahwa yang dihitung nilai
tambahnya saja, yang secara teknis bisa diperhitungkan.
Pengertian perekonomian merujuk kepada wilayah atau wilayah
domestik, karena dapat menunjukkan bagian dari suatu negara, suatu negara atau
gabungan beberapa negara. Semua barang dan jasa sebagai hasil kegiatan ekonomi
yang beroperasi di wilayah domestik Indonesia diperhitungkan tanpa
memperhatikan apakah faktor produksinya dimiliki atau dikuasai oleh penduduknya
atau pihak asing. Mencakup produksi dari perorangan , perusahaan, lembaga
swasta, lembaga pemerintah atau badan hukum lainnya. Dengan kata lain, output
yang diproduksi di Indonesia, bukan oleh orang Indonesia. Produksi warga
Indonesia di negara lain, tidak dimasukkan ke dalam PDB Indonesia.
Kurun waktu tertentu yang baku adalah satu tahun menurut
penanggalan, 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Urgensinya membuat PDB
dihitung dan dipublikasikan pula secara triwulanan di banyak negara, termasuk
Indonesia.
Output terdiri dari ribuan atau jutaan jenis. Ada barang
yang berasal dari produksi pertanian, dari industri pengolahan, dari penggalian,
dan lain-lain. Bisa berasal dari lahan petani kecil, produksi rumah tangga,
maupun dari produksi perkebunan besar dan inudustri yang bersifat korporasi.
Macam jasa juga demikian. Ada jasa pedagang kecil dan tukang pangkas rambut,
namun ada pula jasa konsultan manajemen dan jasa keuangan untuk korporasi.
Seluruhnya diupayakan masuk dalam perhitungan PDB. Perhitungan hanya mungkin
dengan menyamakan satuan hitung dari seluruh barang dan jasa, yakni dengan mata
uang, rupiah. Bisa dikatakan bahwa definisi PDB menyiratkan keinginan meringkas
aktivitas ekonomi dalam nilai tunggal (uang) selama periode tertentu. Ilmu
ekonomi arus utama menganggap PDB paling mencerminkan dinamika perekonomian.
Ada satu konsep penting yang terkandung dalam definisi PDB
yang harus selalu diingat. Perhitungan bersifat arus (flow), yaitu kuantitas
per kurun waktu. Ini berbeda dengan penghitungan yang bersifat persediaan
(stock), yaitu kuantitas pada suatu waktu, misalnya pada tanggal tertentu.
Kekayaan suatu negara, yang secara teoritis bisa dihitung pada tanggal
tertentu, bersifat persediaan. Sedangkan penghasilan seluruh penduduk suatu
negara selama satu tahun adalah arus. Suatu negara mungkin saja memiliki
kekayaan yang besar (misalnya karena sumber daya alam yang berlimpah), akan
tetapi memiliki penghasilan per tahun yang tergolong masih rendah. Tentu saja,
hubungan yang lazim adalah searah, arus penghasilan yang tinggi akan
memungkinkan akumulasi kekayaan yang terus membesar.
PDB Indonesia tahun 2015 adalah sebesar Rp 11.540,80
triliun. Kerap disebut pula angka PDB per kapita, yakni dibagi dengan jumlah
penduduk Indonesia pada pertengahan tahun, yakni Rp 45.176.151. Jika memakai
angka rata-rata jumlah anggota keluarga sebesar 3,64, maka diperoleh angka Rp 164.441.189.
Sayangnya “pendapatan atau produksi” per kapita maupun per keluarga itu
bersifat rata-rata. Gambar disalin dari publikasi BPS.
Pendekatan dalam Menghitung
PDB dapat dihitung dengan menjumlahkan nilai barang dan jasa
(output) yang diprouduksi, sehingga disebut pendekatan produksi. Karena ada
jutaan jenis output, maka dikelompokkan berdasar jenis sektor usaha,
publikasinya disebut PDB menurut Lapangan Usaha. Output itu diproduksi dengan
menggunakan faktor produksi yang memperoleh balas jasa. Jika dijumlahkan semua
balas jasa itu, nilainya sama dengan nilai output, disebut sebagai pendekatan
pendapatan. Sisi yang pertama melihat barangnya, sedang sisi yang kedua melihat
siapa saja yang memperoleh hasil dari produksi barang tersebut. Ada satu cara
lagi, yakni menjumlahkan para pihak yang memakai barang, biasa disebut PDB
menurut Pengeluaran, karena merupakan pengeluaran dari yang menggunakannya.
Secara konsep ketiga pendekatan tersebut akan menghasilkan
angka yang sama. Jadi, jumlah pengeluaran akan sama dengan jumlah barang dan
jasa akhir yang dihasilkan dan harus sama pula dengan jumlah pendapatan untuk
faktor-faktor produksi. PDB yang dihasilkan dengan cara ini disebut sebagai PDB
atas dasar harga pasar atau harga berlaku.
Sebelum penjelasan hal lain, perlu dicatat bahwa yang
dihitung adalah barang dan jasa “akhir”, maka yang dijumlahkan pada
masing-masing sektor hanyalah nilai tambah produksi, agar tidak terjadi
penghitungan ganda. Misalkan pada produksi suatu, nilai tambah produksi bahan
bakunya harus dipilah. BPS punya teknik memilah dan menentukan nilai akhir ini
sesuai dengan pedoman dan kelaziman di dunia internasional.
Dalam hal pendekatan produksi, BPS yang bertugas menghitung
PDB Indonesia menyajikan hasil perhitungan ke dalam 17 kelompok (sebelumnya
hanya 9 kelompok), berdasar jenis sektor usaha yang memproduksinya. Disediakan
pula rincian lagi dari masing-masing sektor, yang biasa disebut subsektor. PDB
Indonesia tahun 2015 adalah sebesar Rp 11.540,80 triliun, dirinci menjadi: (A)
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan sebesar Rp 1.560,40 triliun, (B)
Pertambangan dan Penggalian sebesar Rp 879,40 triliun, (C) Industri Pengolahan
sebesar Rp 2.405,41 triliun, dan seterusnya. (lihat gambar yang disalin dari publikasi BPS).
Sektor Industri Pengolahan dapat dirinci sebagai berikut: 1. Industri Batubara dan Pengilangan Migas sebesar Rp 307,70 triliun, 2. Industri Makanan dan Minuman sebesar Rp 647,00 triliun, 3. Industri Pengolahan Tembakau sebesar Rp 108,86 triliun, 4. Industri Tekstil dan Pakaian Jadi sebesar Rp 139,40 triliun, dan seterusnya hingga 16 sub sektor.
Untuk PDB berdasar pendekatan Pendapatan, BPS belum mempublikasikan secara resmi dan rutin hasil perhitungannya, karena memang secara teknis lebih sulit dilakukan. Beberapa kertas kerja mereka sudah menjelaskan metode dan hasil untuk tahun tertentu. Sekali lagi, komponen PDB pendekatan ini seharusnya terdiri dari antara lain kompensasi pekerja, surplus usaha bruto, pendapatan campuran bruto, dan pajak kurang subsidi atas produksi dan impor.
Sedangkan PDB dengan pendekatan pengeluaran yang merupakan semua komponen permintaan akhir, pada tahun 2015 terdiri dari: 1. Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga sebesar Rp 6.453,21 triliun, 2. Pengeluaran Konsumsi Lembaga Non Profit Rumah Tangga sebesar Rp 130,94 triliun, 3. Pengeluaran Konsumsi Pemerintah sebesar Rp 1.125,54 triliun, 4. Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto sebesar Rp 3.829,98 triliun, 5. Perubahan Inventori sebesar Rp 158,76 triliun, dan 6. Ekspor Neto (ekspor dikurangi impor) sebesar Rp 28,42 triliun. (lihat gambar yang disalin dari publikasi BPS)
Penyajian PDB atas dasar harga berlaku oleh BPS dengan
pendekatan produksi (lapangan usaha) dan pendekatan pengeluaran, apalagi yang
rinci hingga sub komponennya dapat dianalisis. Antara lain untuk mengetahui
struktur perekonomian, misal terkait pertanian dan industri pengolahan, yang
jika dilakukan untuk data beberapa tahun memberi gambaran kasar sebagian proses
industrialisasi. Sedangkan dalam hal pengeluaran, dapat dilihat perbandingan
antara konsumsi dan investasi (pembentukan modal tetap domestik bruto), dan
secara lebih rinci konsumsi rumah tangga dan pemerintah.
Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan
Setelah mendapatkan angka PDB menurut harga berlaku pada
tahun bersangkutan, pada tahap berikutnya, BPS mencoba meniadakan faktor
kenaikan harga-harga. Alat yang dipakai adalah indeks harga tertentu, yaitu PDB
deflator. Angka PDB deflator ini sedikit berbeda dengan angka Indeks Harga
Konsumen (IHK) yang biasa dipakai sebagai ukuran inflasi. IHK dihitung berdasar
harga yang dibayar oleh konsumen akhir untuk semua barang yang dibeli,
sedangkan PDB deflator berdasar harga untuk semua barang yang diproduksi.
Contoh perbedaan tersebut dalam penghitungan antara lain adalah: peningkatan
dalam harga barang yang diproduksi oleh perusahaan atau pemerintah akan
terlihat dalam PDB deflator tetapi tidak dalam IHK; kenaikan barang-barang
impor terlihat dalam IHK, tetapi tidak dalam PDB deflator.
Dengan menghilangkan faktor fluktuasi harga, diharapkan yang
diperbandingkan adalah benar-benar kuantitas produksi, dimana nilai uang hanya
bersifat satuan ukuran yang memungkinkan dilakukannya penjumlahan. Angka yang
didapat disebut PDB atas dasar harga konstan, kadang disebut pula sebagai PDB
riil.
Pada dasarnya bisa diambil sembarang tahun untuk menjadi
kurun waktu dasar (base period) tertentu. Kemudian, nilai PDB pada tahun-tahun
sesudahnya “disesuaikan” dengan “tingkat harga” pada tahun dasar tersebut.
Seolah-olah, PDB tahun yang diamati dihitung menggunakan harga-harga yang
terjadi pada tahun dasar yang telah ditetapkan. Dalam prakteknya, ada sangat
banyak harga dan berubah-ubah, maka dipergunakan teknik penghitungan atas dasar
ilmu statistika, yakni menggunakan angka indeks. Dengan kata lain, angka indeks
itu berfungsi sebagai deflator. Tahun dasar umumnya diubah setiap 10 tahun
sekali, dan yang dipakai saat ini adalah tahun 2010, mengikuti anjuran Badan
Statistik PBB agar setiap negara memakai tahun kelipatan 5. Perlu diketahui,
Indonesia sebelumnya memakai tahun dasar 1993, 1983 dan 1973.
Karena tahun dasar publikasi BPS saat ini adalah 2010, maka
PDB Indonesia pada tahun 2010 atas dasar harga berlaku persis sama dengan atas
dasar harga konatan, yakni sebesar Rp 6.864,1 triliun. Sedangkan PDB Indonesia
tahun 2015 atas dasar harga berlaku adalah sebesar Rp 11.540,8 triliun, yang
jika dinyatakan dalam harga konstan (harga tahun 2010) maka hanya sebesar Rp
8.976,9 tiriliun.
Perbandingan PDB atas dasar harga konstan dari suatu tahun
atas tahun sebelumnya ini lah yang dipakai sebagai angka pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2015 sebesar 4,79 % berarti PDB Indonesia
tahun 2015 atas dasar harga konstan tahun 2010, bertambah sebesar proporsi itu
dibandingkan dengan tahun 2014. Yakni, Rp 8.976,9 triliun (2015) dibandingkan
dengan Rp 8.566,3 triliun (2014).
Rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam kurun tahun 2010
– 2015 adalah 5,62% per tahun. Sedangkan periode tahun 2001-2009 adalah sebesar
5,10 %. Terendah pada tahun 2001 sebesar 3,83%, dan tertinggi pada tahun 2007
sebesar 6,28%. Dengan angka sedemikian, perekonomian Indonesia dianggap tetap
tumbuh secara moderat. Pertumbuhan yang tinggi dialami oleh masa sebelumnya,
era 1970an sampai dengan pertengahan tahun1990an, yang rata-rata mencapai lebih
dari 7 %.
Dengan demikian, perkiraan angka pertumbuhan ekonomi sebesar
5,2 % pada tahun 2016, setelah 4,79% (2015), dan 5,02% (2014) bisa dikatakan
kurang menggembirakan. Ingat lagi, konsep PDB sejak awal adalah agregat
(keseluruhan) tidak menunjukkan distribusinya. Jika dianalisis hati-hati,
sebenarnya angka rincian sektoral, sub sektoral beserta rincian pendekatan
pengeluaran, akan memberi indikasi awal struktur dan distribusinya.