Sebenarnya ada biaya lain yang
terkait dengan pengadaan pinjaman luar negeri, seperti: commitment fee, management
fee, dan premi asuransi. Bahkan ada denda jika tidak jadi dicairkan,
padahal sudah disepakati dalam perjanjian tertulis. Secara bahasa awam, biaya
itu antara lain adalah: ongkos untuk perundingan, proses pencairan, pengawasan
dan ongkos pembatalan, keterlambatan pencairan, denda, dan lain sebagainya.
Sedangkan bunga untuk SBN secara
riil adalah terkait dengan imbal hasil (yield)
yang diperoleh investor atau pembelinya. Imbal hasil SBN merupakan keuntungan
bagi investor sesudah memperhitungkan besarnya kupon dan harga pasar. Sebagai
contoh, harga SBN ketika diterbitkan (berarti yang diterima oleh pemerintah) tidak
selalu sama nilainya (100%) dari nominal tercantum. Jika sama dengan nominalnya
berarti yield sama dengan kupon
(bunga). Jika lebih rendah dari nominalnya (kurang dari 100%) berarti yield lebih dari kupon. Dimunkinkan pula
kasus sebaliknya. Yang lebih sering terjadi adalah yield lebih besar dari kupon.
Selain itu, pemerintah juga harus mengeluarkan beberapa biaya terkait dengan
proses penerbitan dan distribusi SBN.
Dalam pencatatan dan publikasi
APBN, keseluruhan biaya utang dianggap merupakan pembayaran bunga utang. Pos
pembayaran bunga utang luar negeri telah memperhitungkan semua jenis biayanya,
yang riil dikeluarkan. Pos pembayaran bunga dalam negeri telah mencakup perhitungan
imbal hasil neto dan biaya lainnya dari SBN. Biaya yang dikeluarkan dalam hal
SBN Syariah, meskipun mekanismenya tidak dengan perhitungan bunga, pembayaran
riil nya dicatat pula dalam pos ini.
Pada tahun 2017, total pembayaran
bunga utang adalah Rp216,6 triliun. Terdiri dari pembayaran bunga utang dalam
negeri Rp200 triliun dan pembayaran bunga utang luar negeri Rp16,6 triliun.
Pengertian bunga utang luar negeri di sini adalah utang yang berdenominasi
valuta asing. Sedangkan bunga utang dalam negeri adalah untuk yang
berdenominasi rupiah. Ada perbedaan definisi untuk keperluan publikasi dan
analisis lain tentang arti dalam dan luar negeri, yang akan dibahas kemudian.
Pembayaran bunga utang cenderung
naik dari tahun ke tahun, seiring dengan bertambahnya utang dan posisi utang
yang lebih besar. Tampak pada gambar yang diolah dari data publikasi bulanan
utang dari DJPPR Kemenkeu RI. Pembayaran bunga utang dalam negeri memiliki
porsi yang lebih besar dengan kecenderungan makin besar. Perlu diketahui bahwa
SBN dengan denominasi rupiah dimiliki pula oleh yang bukan penduduk atau pihak
asing. Sebagaimana dalam bagian tulisan terdahulu, kepemilikan asing atas SBN
telah mencapai kisaran 40% saat ini.
Untuk mengetahui seberapa besar
beban pembayaran bunga, tidak semata-mata dari jumlahnya. Berbagai rasio bisa
dihitung atas data pembayaran bunga dibandingkan dengan beberapa besaran fiskal
atau indikator ekonomi lainnya. Seperti posisi utang dibandingkan dengan PDB,
yang menghasilkan rasio utang dan PDB. Bisa dihitung rasio pembayaran bunga
utang dan PDB juga. Akan tetapi untuk analisis beban bunga utang, yang lazim
diperhatikan antara lain adalah perbandingan atau rasionya dengan belanja
negara, dengan pendapatan negara, dengan posisi utang.
Rasio bunga utang dengan belanja
adalah untuk melihat porsinya, karena pembayaran bunga adalah salah satu pos
belanja dalam APBN, pada bagian belanja Pemerintah Pusat. Pembayaran bunga
utang sebesar Rp216,6 triliun adalah 10,82% dari realisasi Belanja tahun 2017
yang sebesar Rp2.001,6 triliun. Dicermati pula perubahan porsinya dari tahun ke
tahun. Tentu saja, makin kecil porsinya akan menguntungkan bagi anggaran
Pemerintah.
Pemerintahan Presiden Jokowi
sebaiknya mewaspadai akan kenaikan pembayaran bunga utang dan rasio atas
belanja ini. Belanja sudah diakui sengaja ditingkatkan untuk mendukung
kebijakan bersifat ekspansif, terutama dalam hal program prioritas. Posisi
utang meningkat tentu meningkatkan nominal pembayaran bunga. Akan tetapi dalam
hal rasionya atas belanja merupakan indikasi hal lain pula, bahwa porsi
membayar bunga dari belanja tersebut makin besar.
Rasio bunga utang dengan
pendapatan adalah untuk melihat porsinya, karena pembayaran bunga sebaiknya
dibayar dari Pendapatan Negara. Pembayaran bunga utang tadi adalah 13,08% dari
realisasi Pendapatan tahun 2017 yang sebesar Rp1.655,8 triliun. Dicermati pula
perubahan porsinya dari tahun ke tahun, dengan penalaran yang serupa dengan
belanja. Dalam beberapa analisis, bagian terpenting dari pendapatan negara,
yaitu penerimaan perpajakan dilakukan pula. Anggapannya, penerimaan perpajakan
lebih bisa dikontrol atau diperkirakan, serta mencerminkan tingkat kelesuan
ataupun garirah perekonomian. Rasionya tentu lebih tinggi.
Rasio bunga utang dengan posisi
utang adalah untuk melihat tingkat biaya yang riil dikeluarkan. Bisa dikatakan
menggambarkan tingkat bunga rata-rata untuk seluruh utang saat itu atau selama
setahun berjalan. Ada dua posisi utang yang lazim dipakai, yaitu posisi utang
akhir tahun bersangkutan. Pembayaran bunga utang tadi dibandingkan dengan
posisi utang per 31 Desember 2017 sebesar Rp3.938,45 triliun, atau sekitar
adalah 5,50%. Dicermati pula perubahannya dari tahun ke tahun. Jika makin kecil,
maka biaya utang secara riil dianggap turun. Dan sebaliknya.
Dalam hal posisi utang,
sebenarnya kurang tepat membandingkan pembayaran bunga selama setahun dengan
posisi akhir tahun. Posisi utang mengalami fluktuasi selama setahun berjalan,
sehingga “biaya” yang harusnya dicermati bukanlah atas posisi akhir tahun. Cara
akuntansi yang sedikit lebih sulit adalah “menyetahunkan”, antara lain dengan
menghitung rata-ratanya tiap bulan. Cara yang lebih sederhana, namun sudah
cukup mewakili adalah dengan memakai rata-rata posisi akhir tahun berjalan
dengan akhir tahun sebelumnya. Posisi utang pada akhir tahun 2016 sebesar Rp3515.46,
dan tahun 2017 sebesar Rp3.938,45, maka posisi utang rata-rata tahun 2017 dianggap
sebesar Rp3.726.96. Rasionya adalah 5,81%.
Pemerintah sebaiknya mewaspadai
kecenderungan kenaikan rasio yang mencerminkan makin tingginya biaya utang.
Padahal penilaian dan rating Indonesia dalam hal utang terus membaik.
Pemerintah pun selalu mengatakan akan mengelola utang dengan baik, yang salah
satunya adalah dengan menurunkan biaya utang. Kenaikan nominal bunga yang
dibayarkan adalah satu hal, kenaikan “tingkat bunga” adalah hal lain, dan
keduanya musti ditangani dengan baik.
Analisis yang lebih lanjut adalah
mencermati beberapa jenis utang berdasar mata uang, berdasar jenis pinjaman
atau SBN, dan lain sebagainya. Urgensinya antara lain karena beberapa jenis
utang memang memiliki “biaya” yang rendah, sehingga bisa menyamarkan jenis
lainnya. Misalkan, SBN yang tidak bisa diperdagangkan yang dimiliki oleh Bank
Indonesia kini nyaris tak berbiaya atau kecil sekali. Padahal dalam analisis di
atas dia dimasukkan ke dalam satuan pembanding.
Analisis lain yang sering
dilakukan adalah membandingkan yield dari berbegai SBN atas waktu jatuh
temponya. Ada yang kurang dari satu tahun, satu tahun, tiga tahun, dan
seterusnya. Untuk sementara kita belum mencantumkan data hal semacam ini. Hanya
untuk sekadar pembanding, kita ulangi lagi rasio bunga utang dengan posisi
utang akhir tahun 2017 adalah 5,50%, rasio dengan posisi utang rata-rata tahun
2017 adalah 5,81%. Data yield Desember 2017 belum dipublikasi resmi. Data yield
SUN (salah satu jenis SBN) berdenominasi Rupiah pada Desember 2016, antara
lain: sebesar 6,44% untuk tenor satu tahun, 7,46% (3 tahun), 7,50% (5 tahun),
7,91% (10 tahun), 8,54% (30 tahun). Gambar disalin dari publikasi DJPPR
Kemenkeu edisi Agustus 2017. Untuk edisi selanjutnya, data ini tidak
ditampilkan lagi di webnya.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 6