Posisi utang Pemerintah mencapai Rp5.877,71 triliun pada akhir Oktober 2020, meningkat sangat signifikan dari posisi akhir tahun 2019 yang sebesar Rp4.786 triliun. Dan berdasar perhitungan atas pos pembiayaan utang pada Perpres No.72/2020, maka masih akan meningkat lagi hingga akhir tahun. Posisinya diprakirakan di kisaran Rp6.100 triliun. Dengan asumsi, kurs rupiah pada akhir tahun masih terjaga pada tingkat setara akhir Oktober.
APBN 2021 merencanakan tambahan utang sebagai konsekwensi dari pengelolaan APBN sebesar pos pembiayaan utang, yaitu Rp1.177,40 triliun. Jika sesuai rencana, dan kurs pada akhir tahun 2021 setara dengan akhir tahun 2020, maka posisi utang akan di kisaran Rp7.277 triliun.
Untuk posisi tahun-tahun selanjutnya hingga tahun 2024, belum dinyatakan proyeksi tentang pembiayaan utang yang eksplisit. Meski demikian, posisi utang sedikit mendapat gambaran berdasar target rasio utang atas PDB dalam Nota Keuangan APBN 2021.
Sayangnya berbeda dengan Nota Keuangan pada tahun-tahun sebelumnya, tidak disebutkan secara definitif berapa rasionya pada tahun 2021. Hanya disebutkan bahwa rasio akan dijaga dalam batas aman. Adapun yang dinyatakan secara eksplisit hanya berupa kisaran, yaitu rasio utang hingga akhir 2024 sebesar range 38-43%.
Bisa dimengerti bahwa hal tersebut terutama disebabkan kondisi yang masih ditandai banyak ketidakpastian, dan program pemulihan ekonomi belum bisa dipastikan seberapa cepat memperbaiki kondisi fiskal pemerintah.
Untuk perhitungan rasio utang atas PDB, selain bergantung seberapa besar posisi utang, maka bergantung pula dengan perkembangan PDBnya. Di atas disebutkan prakiraan posisi utang sebesar Rp6.100 pada akhir 2020, dan meningkat menjadi Rp7.277 triliun pada akhir 2021. Sedangkan PDB nya masih belum dapat dipastikan, dan memiliki rentang kemungkinan yang cukup besar, meski realisasi tahun 2020 hanya tinggal satu triwulan.
Pemerintah dalam Nota Keuangan dan APBN 2021 serta beberapa paparannya menyebut rasio utang atas PDB akan sebesar 38% pada akhir tahun 2020. Sedangkan untuk tahun-tahun selanjutnya hingga tahun 2024 hanya disebut kisaran 38-43%.
Sementara itu, proyeksi World Economic Outlook (WEO) edisi Juni 2020 dari IMF tentang rasio utang pemerintah Indonesia pada tahun 2020 adalah sebesar 37,7%. WEO memproyeksikan akan meningkat menjadi 40,3% pada tahun 2021.
Kita dapat memakai rerata pertumbuhan PDB 2010-2019 yang sebesar 9,75% untuk memprakirakan nilai nominal PDB pada tahun 2021 hingga tahun 2024. Besaran PDB tahun 2020 tidak diperhitungkan dalam rerata, karena bisa dianggap sebagai pengecualian untuk kondisi khusus. Realisasi PDB tahun 2020 atas dasar harga berlaku (nominal) itu sendiri baru berjalan tiga triwulan. Selama tiga triwulan, nilainya hanya sebesar Rp 11.505,12 triliun.
APBN 2020 versi Perpres No.72/2020 sebenarnya memiliki asumsi tentang nilai PDB nominal. Dapat dihitung dari postur APBN yang merencanakan defisit sebesar Rp1.039,22 triliun, yang disebut sebagai 6,34% atas PDB. Artinya PDB nominal atau atas dasar harga berlaku tahun 2020 diasumsikan sebesar Rp16.391,44 triliun.
Asumsi nilai PDB demikian nyaris mustahil akan dicapai. Dibutuhkan capaian sebesar Rp4.886,32 triliun pada triwulan IV agar asumsi tersebut terpenuhi. Sebagai perbandingan, nilai PDB triwulan IV tahun 2019 hanya sebesar Rp4.018,84 triliun. Padahal, nilai PDB selama 3 triwulan tahun 2019 justru lebih besar dari tahun 2020, mencapai Rp11.629,27 triliun.
Seandainya memang telah terjadi pemulihan ekonomi yang sangat signifikan pada triwulan IV 2020, maka PDB triwulan ini bisa mencapai Rp4.250 triliun. Artinya PDB nominal tahun 2020 hanya akan sebesar Rp15.755 triliun. Penulis memprakirakan akan lebih rendah lagi, yakni sekitar Rp15.725 triliun.
Berdasar rerata dan prakiraan PDB tahun 2020, maka kisaran nilai PDB nominal pada tahun-tahun mendatang: Rp17.258,19 triliun (2021), Rp18.940,86 triliun (2022), Rp20.787,59 triliun (2023), Rp22.814,39 triliun (2024).
Dapat diambil titik tengah dari rasio utang atas PDB yang ditargetkan oleh Pemerintah yang di kisaran 38%-43%, yakni sebesar 40,5%. Maka posisi utang berturut-turut akan sebesar: Rp6.989,57 triliun (2021), Rp7.671,05 triliun (2022), Rp8.418,98 triliun (2023), Rp9.239,83 triliun (2024).
Akan tetapi, rasio utang pada tahun 2021 saja telah sulit untuk bisa dijaga sebesar 40,5%. Dari prakiraan berdasar postur APBN 2021, posisi utang telah mencapai Rp7.327 triliun. Lebih tinggi dari proyeksi berdasar titik tengah rasio di atas, yang hanya Rp6.989,57 triliun. Rasionya atas PDB pun akan menjadi sebesar 42,46%. Artinya, batas rentang terburuk dari target saja hampir terjadi pada tahun 2021.
Pada tahun 2020 pun rasionya kemungkinan akan melebihi prakiraan pemerintah yang 38%. Prakiraan posisi utang sebesar Rp6.100 triliun dibandingkan PDB sebesar Rp15.725 triliun adalah sebesar 38,79%.
Penulis berpandangan berdasar kinerja APBN tahun 2020 dan prakiraan berdasar APBN tahun 2021, maka posisi utang kemungkinan akan melampaui Rp10.000 triliun pada tahun 2024. Rasionya pun akan sulit dijaga dalam rentang yang ditargetkan oleh Pemerintah. Dikaitkan dengan proyeksi PDB nominal, maka rasio utang dapat mencapai 45% atas PDB pada akhir tahun 2024.
Beberapa faktor memberi kontribusi atas kecenderungan ini. Posisi utang yang akan meningkat signifikan karena kebutuhan pembiayaan utang, yang didorong oleh kebijakan Pemerintah yang masih ingin APBN bersifat ekspansif. Ditambah faktor kurs yang cukup rawan di masa mendatang. Sedangkan peningkatan nilai nominal PDB akan terkendala oleh pertumbuhan ekonomi yang jika kembali ke lintasannya, hanya di kisaran 5%.
Tentu ada pengecualian, yakni perekonomian dilanda inflasi tinggi yang akan meningkatkan nilai PDB nominal. Bagaimanapun, otoritas ekonomi dipastikan akan sangat serius mencegah hal ini, karena inflasi tinggi akan menimbulkan banyak soalan lain yang lebih kompleks dan memberatkan.