Otoritas Jasa Keuangan dan Bank
Indonesia meyakini bahwa pertumbuhan DPK dan kredit pada tahun 2017 akan lebih
baik daripada tahun 2016. Hal itu sejalan
dengan menurunnya suku bunga, kecukupan likuiditas dan meningkatnya pertumbuhan
ekonomi. Menurut prakiraan BI, kredit akan tumbuh di kisaran 10 – 12%, dan Dana
Pihak Ketiga akan tumbuh di kisaran 9 – 11%. Perkiraan ini memberikan sinyal akan kembali meningkatnya fungsi intermediasi perbankan, setelah sedikit
merosot pada tiga tahun terakhir. Beberapa indikator perbankan lainnya pun diyakini akan menunjukkan perbaikan, seperti rasio kredit
bermasalah (NPL) yang tetap terjaga setelah sempat
memburuk, serta rasio
Kecukupan modal (CAR) yang akan tetap tinggi.
Meski akan membaik, perbankan tampaknya akan tetap masih menghadapi tantangan berupa potensi ekses likuiditas. Pada saat yang bersamaan, industri perbankan cenderung lebih
berhati-hati dan ketat dalam penyaluran kredit, atau dengan kata lain
perekonomian justeru menghadapi kesulitan likuiditas. Dalam kondisi perbankan demikian, jika
tiba-tiba yang terjadi adalah arus balik berupa derasnya aliran masuk modal
asing, maka seketika juga dapat menyebabkan peningkatan ekses likuiditas
kembali dalam waktu singkat.
Sementara itu, prioritas kepada pengembangan kredit bagi usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) telah banyak diakui oleh para ahli keuangan dan perbankan sebagai salah satu pilihan langkah strategis dalam memperkuat struktur
kredit yang diberikan dan berpotensi stabil. Prioritas
itu juga telah
menjadi komitmen Bank Indonesia, OJK dan Pemerintah. Sejauh yang dikemukakan
kepada publik, prioritas sudah didukung oleh rencana bisnis bank-bank besar.
Salah satu argumen utama adalah kinerja kredit bagi UMKM yang sering lebih
baik dibanding dengan kredit non MKM, terutama pada kondisi perbankan yang memburuk karena
dampak kondisi keuangan global. Secara lebih khusus, kredit mikro
dianggap akan tetap bisa tumbuh pesat dibanding kredit lainnya. Jika dilihat dari sisi kredit
bermasalah, sekalipun kadang turut meningkat, kondisi kredit UMKM dinilai tetap lebih baik daripada kredit korporasi.
Di sisi lain, para ahli ekonomi
sering mengingatkan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi antara lain ditandai
dengan terciptanya suatu sistem keuangan yang stabil dan memberi manfaat bagi
seluruh lapisan masyarakat. Institusi keuangan berperan melalui fungsi
intermediasinya, terutama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan
stabilitas sistem keuangan. Dianggap pula berperan membantu pemerataan
pendapatan serta pengentasan kemiskinan. Asumsinya adalah seluruh atau sebagian
besar penduduk dewasa memilik akses layanan jasa keuangan yang memadai. Dalam
kerangka tersebut dikenal wacana keuangan inklusif (financial inclusion).
Keuangan inklusif sudah
mengedepan dalam banyak dokumen kebijakan otoritas ekonomi (Pemerintah, Bank
Indonesia dan OJK). Diartikan sebagai suatu kegiatan menyeluruh yang bertujuan
untuk meniadakan segala bentuk hambatan baik yang bersifat harga maupun non
harga terhadap akses masyarakat dalam menggunakan atau memanfaatkan layanan
jasa keuangan. Programnya adalah agar sebanyak mungkin orang bisa memperoleh
produk dan jasa keuangan yang paling dasar seperti: tabungan, transfer,
pinjaman, dan asuransi. Diupayakan dengan harga dan prosedur yang terjangkau,
wajar dan transparan.
Program unggulannya kini adalah
apa yang secara resmi disebut sebagai Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka
Keuangan Inklusif (Laku Pandai), yang dalam wacana akademis biasa disebut branchless banking. Laku Pandai adalah
kegiatan menyediakan layanan perbankan atau layanan keuangan lainnya yang
dilakukan tidak melalui jaringan kantor, namun melalui kerjasama dengan pihak
lain dan perlu didukung dengan penggunaan sarana teknologi informasi.
Bank penyelenggara harus memenuhi
persyaratan yang mencakup sarana teknologi informasi harus yang andal, aman dan
teruji, yang antara lain tercermin dari tersedianya sistem yang mampu melakukan
pembukuan transaksi pada saat transaksi berlangsung (real time). Ada pengaturan mengenai persyaratan, tata cara seleksi,
cakupan perjanjian kerjasama, serta standar dan mekanisme hubungan kerja antara
Bank Penyelenggara dengan Agen. Agen dimaksud bisa perorangan atau badan hukum,
yang berfungsi sebagai “kantor layanan” dari bank. Laku Pandai diluncurkan OJK
secara resmi pada 26 Maret 2015, yang terus didukung oleh makin banyak bank umum.
Program keuangan inklusif
terdahulu yang dianggap berhasil oleh Pemerintahan Presiden Soesilo Bambang
Yudhoyono adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR). KUR bahkan diakui berbagai forum
internasional mengenai implementasi keuangan inklusif, dan akan diadopsi
menjadi praktik terbaik penanggulangan kemiskinan di negara berkembang. Capaian
KUR secara data agregat memang luar biasa. Penyaluran sejak diluncurkan
Nopember 2007 hingga Nopember 2014 mencapai Rp 175 triliun, dengan baki debet (outstanding) kredit sekitar Rp 50
triliun, menjangkau lebih dari 12 juta unit UMKM.
Kesuksesan KUR diakui juga oleh
Pemerintahan Presiden Jokowi, yang menjadikannya sebagai program andalan untuk
mengatasi masalah kemiskinan dan kesenjangan ekonomi. KUR diharapkan akan bisa
memperkuat pelaku usaha mikro, kecil dan menengah, dengan cara mempermudah
akses permodalan yang murah. KUR era Jokowi-JK merupakan perbaikan signifikan
atas era sebelumnya. Dari hanya subsidi pemberian jaminan kredit, digandakan
dengan subsidi bunga. Skema terus diperbaiki dengan menambah lebih banyak
subsidi bagi masing-masing peminjam maupun total yang disediakan. Pada tahun
2015, bunga KUR telah diturunkan dari 22% menjadi 12%, dan mulai tahun 2016
menjadi 9%. Realiasasi penyaluran KUR meningkat, pada tahun 2007-2014 sekitar
Rp175 triliun, pada tahun 2015 mencapai Rp 22,5 triliun, dan berlipat menjadi
sekitar Rp 95 triliun pada tahun 2016. Dilaporkan pula terjadi peningkatan
jangkauan atau jumlah orang (UMKM) yang memperolehnya.
Bagaimanapun, setiap kebijakan
dan program perlu dicermati secara lebih seksama bagaimana konsep detil dan
realisasinya, apalagi jika menyangkut banyak pemangku kepentingan. Kajian dan
evaluasi harus dilakukan secara rutin, dan memungkinkan untuk penijauan ulang.
Apakah realisasi sesuai target, apakah manfaat yang diharapkan bisa diwujudkan,
dan apakah ada dampak (negatif) yang tidak diperhitungkan. Sebagai contoh, dua tahun
berjalan, Laku Pandai baru berupa produk tabungan dengan karakteristik Basic Saving Account, serta beberapa
fitur transfer dan pembayaran.
Sedangkan tentang KUR, Kajian
Perhimpunan BMT Indonesia (beranggotakan 526 Koperasi /BMT) Januari-Februari
2017 antara lain menemukan: 1) sebagian besar penerima KUR adalah mereka yang
sebelumnya telah memperoleh pinjaman dari perbankan; 2) sebagian besar penerima
KUR yang baru adalah mereka yang sebelumnya telah dilayani oleh koperasi; 3)
sebagian besar para penerima KUR adalah dari lapisan pendapatan quintil 3, 4
dan 5 (60% lapisan teratas); 4) secara sectoral, sebagian besar (66,29%)
tersalurkan pada perdagangan besar dan eceran, masih relatif sedikit untuk
pertanian dan kehutanan (17,36%), dan lebih sedikit lagi untuk industri
pengolahan (4,10%); 5) bunga efektif yang secara riil dibayar oleh peminjam
masih di atas 9% (ada cash collateral, pembukaan rekening baru, asuransi
tambahan, dll) dan masih mensyaratkan jaminan.
Kajian memaparkan pula tentang KUR
yang diharapkan tersalur melalui koperasi. Selama ini penyaluran melalui
perbankan, dan ditambahkan dengan lembaga pembiayaan. Koperasi hanya
disebut-sebut dalam konsep chanelling,
yang hampir tidak ada realisasinya. Padahal dampak KUR bagi koperasi simpan
pinjam (termasuk yang syariah) makin terasa, antara lain terjadinya perpindahan
peminjaman dan “tekanan harga” (iklan massif bunga 9%) secara mendadak bagi
layanan koperasi. Belakangan, koperasi
disebut akan dilibatkan langsung dalam skema KUR. Sayangnya, pemahaman
pengambil kebijakan akan dinamika koperasi kurang memadai, sehingga proses
berlarut-larut. Pernyataan dukungan hingga perjanjian kerjasama masih belum
operasional hingga akhir tahun 2016. Ada kendala dalam regulasi dan juga
prosedur operasi. Kajian PBMT Indonesia awal tahun 2017 ini menyampaikan satu
gagasan bagaimana KUR disalurkan melalui Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan
Syariah (KSPPS/BMT).
Salah satu argumen yang dikemukakan dalam kajian PBMT Indonesia
adalah data porsi dan pertumbuhan kredit UMKM yang tidak membaik secara
berarti. Porsi kredit UMKM justeru sedikit menurun pada tahun 2015 dan 2016,
menjadi kembali di bawah 20%. Pada kurun tahun 2011-2013, laju kredit UMKM
lebih cepat dari yang nonUMKM. Pada tahun 2014 hingga 2016, ada kecenderungan laju pertumbuhan kredit perbankan yang lebih
tinggi daripada yang khusus UMKM.
Gambar 1 Perkembangan porsi
kredit UMKM, 2012 - 2016
Sumber: Bank Indonesia,
diolah
Dilihat dari perkembangan rekening kredit UMKM pun tidak terjadi
peningkatan yang signifikan. Jumlah rekening kredit mikro memang meningkat
cukup pesat, namun diimbangi dengan stagnasi atau penurunan pada kredit kecil
dan menengah. Perlu diselidiki indikasi perpindahan status nasabah, bahkan dari
yang dulunya nonUMKM, sejak adanya program KUR.
Gambar 1 Perkembangan jumlah
rekening kredit UMKM, 2012 - 2016
Sumber: Bank Indonesia,
diolah
Sementara itu, keberadaan agen
Laku Pandai secara masif berpeluang mengancam pola hubungan sosial. Perorangan
yang potensial menjadi agen adalah tokoh masyarakat, tokoh adat, dan agama.
Relasi sosial akan menjadi semakin transaksional, solidaritas dan kohesivitas
masyarakat akan terganggu. Agen kemungkinan akan berasal dari pindahan SDM LKM
(Koperasi). Ditambah dengan peluang eks rentenir yang berganti baju, bahkan
berperan ganda sebagi agen sekaligus rentenir.
Dengan demikian, biaya ekonomi
dan sosial terdampaknya LKM (Koperasi) perlu dipertimbangkan dengan baik untuk
kelanjutan program Laku Pandai dan KUR. Ada indikasi bahwa LKM yang mandiri
dari masyarakat akan menjadi korban program yang belum pasti berkelanjutan, dan
akan terus tersubsidi. KUR memang terbukti memberi manfaat, namun tidak sebesar
pewartaannya, dan jika mendadak dieskalasi akan mungkin memiliki pula dampak
buruk.
Otoritas ekonomi, moneter dan
perbankan perlu mencermati lebih jauh apakah agenda Keuangan Inklusif akan
memberi kontribusi positif dalam kondisi strukturan ekonomi yang demikian. Baik
dalam hal mensejahterakan rakyat kebanyakan, maupun dalam hal mengurangi
tingkat ketimpangan ekonomi. Tidak cukup hanya memperhitungkan soal peningkatan
akses layanan keuangan, meningkatkan pendapatan atau mengurangi kemiskinan,
melainkan juga perlu berorientasi mempersempit jurang ketimpangan. Upaya
pengembangan Laku Pandai dan KUR sejak awal seharusnya sudah melibatkan pelaku
UMKM dan koperasi.
Dalam hal KUR, wacana dan
pembicaraan koordinatif di pemerintahan telah mengarah kepada pelibatan koperasi.
Secara prinsip dan regulasi, hal itu akan dimungkinkan, meski masih perlu
dicari skema dan prosedur teknisnya. Selama ini penyaluran melalui perbankan
dan lembaga pembiayaan. Koperasi hanya disebut-sebut dalam konsep chanelling, yang hampir tidak ada
realisasinya. Padahal dampak KUR bagi koperasi simpan pinjam (termasuk yang
syariah) makin terasa, antara lain terjadinya perpindahan peminjaman dan
“tekanan harga” (iklan massif bunga 9%) secara mendadak bagi layanan
koperasi. Belakangan, koperasi disebut
akan dilibatkan langsung dalam skema KUR. Sayangnya, pemahaman pengambil
kebijakan akan dinamika koperasi kurang memadai, sehingga proses
berlarut-larut. Pernyataan dukungan hingga perjanjian kerjasama masih belum
operasional hingga akhir tahun 2016. Ada kendala dalam regulasi dan juga
prosedur operasi. Sedangkan dalam hal Laku Pandai, koperasi masih diposisikan
sebagai agen, setara dengan agen perorangan. Jika demikian, koperasi yang sudah
mandiri dan berkembang mungkin merasa kurang diuntungkan. Masih perlu dicari
kemungkinan skema untuk posisi yang lebih tepat bagi koperasi.