Sabtu, 20 Maret 2010

MEMAHAMI MAKROEKONOMI (3): Pertumbuhan Ekonomi

MEMAHAMI MAKROEKONOMI (3): Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi seolah telah menjelma menjadi semacam mantera, atau sarat dengan dimensi mitos dalam wacana perekonomian Indonesia. Pembahasan tentang perekonomian Indonesia hampir selalu menempatkannya sebagai variabel terpenting. Baik berupa pidato Presiden, laporan resmi dari pemerintah, tinjauan kebijakan Bank Indonesia, tulisan para ekonom pro kebijakan otoritas ekonomi, maupun ekonom yang mengkritiknya.

Arti pertumbuhan ekonomi yang secara resmi dipergunakan sebenarnya adalah pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) riil atau PDB atas dasar harga konstan. Pernyataan bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2009 sebesar 4,5 persen berarti PDB Indonesia tahun 2009, atas dasar harga konstan (tahun 2000), bertambah sebesar proporsi itu dibandingkan dengan tahun 2008. Pengertian serupa dipakai dalam pembicaraan di media masa, termasuk oleh para ekonom.

Rata-rata pertumbuhan ekonomi setiap tahun selama 2001-2009 adalah sebesar 5,10 %. Terendah pada tahun 2001 sebesar 3,83%, dan tertinggi pada tahun 2007 sebesar 6,28%. Dengan angka sedemikian, perekonomian Indonesia dianggap tetap tumbuh secara moderat. Pertumbuhan yang tinggi dialami oleh masa sebelumnya, era 1970an sampai dengan pertengahan tahun1990an, yang rata-rata mencapai lebih dari 7 %.

Pertumbuhan PDB riil per kapita

Dalam teori ekonomi, pertumbuhan ekonomi sebenarnya biasa didefinisikan sebagai peningkatan kapasitas suatu bangsa dalam jangka panjang untuk memproduksi berbagai barang dan jasa. Ada berbagai definisi teknis sebagai penjabarannya. Sebagai contoh, Boediono (1985) mengartikan pertumbuhan ekonomi sebagai proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Menurutnya, ada tiga aspek yang harus ditekankan dalam pengertian ini. Pertama, sebagai proses, yang diperhatikan adalah perubahannya bukan keadaannya pada suatu waktu. Kedua, pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan kenaikan output per kapita. Output per kapita adalah output total dibagi dengan jumlah penduduk. Dengan kata lain, pertumbuhan output atau hasil produksi karena peningkatan kapasitas produksi harus dihubungkan dengan perubahan jumlah penduduk. Ketiga, definisi pertumbuhan ekonomi adalah perspektif waktu jangka panjang. Kenaikan output per kapita selama satu atau dua tahun, yang kemudian diikuti dengan penurunan output per kapita bukan pertumbuhan ekonomi. Suatu perekonomian tumbuh apabila dalam jangka waktu yang cukup lama mengalami kenaikan output per kapita, atau menunjukkan kecenderungan yang jelas untuk menaik.

Jika kita mengambil salah satu saja dari aspek itu, yakni yang dihitung adalah pertumbuhan output per kapita, maka akan terdapat angka yang berbeda dari yang biasa dipublikasikan. Pertumbuhan PDB riil per kapita telah memperhitungkan jumlah penduduk pada pertengahan tahun bersangkutan (misalnya pada tahun 2009 adalah sekitar 231 juta jiwa). Pertumbuhan ekonomi dalam versi ini selalu lebih rendah, karena laju pertumbuhan penduduk masih selalu positif (jumlahnya bertambah) setiap tahun. Sebagai contoh, pertumbuhan ekonomi 2009 hanya sekitar 3,3 %. Sedangkan rata-rata pertumbuhan ekonomi setiap tahun selama 2001-2009 hanyalah sebesar 3,81%. Terendah pada tahun 2001 sebesar 2,54%, dan tertinggi pada tahun 2007 sebesar 4,95%.

Pertumbuhan Sektoral
Pertumbuhan PDB dapat ditelusuri rinciannya untuk masing-masing sektor atau lapangan usaha, yang dalam analisis kerap disebut sisi penawaran. Bisa dicermati apakah seluruh sektor ekonomi mengalami pertumbuhan positif dan seberapa laju masing-masing. Akan terlihat pula kontribusinya dalam pertumbuhan ekonomi, disebut nilainya sebagai sumber pertumbuhan.

Sektor-sektor yang pertumbuhannya cenderung lebih tinggi dari laju pertumbuhan ekonomi selama periode 2002-2009 adalah: sektor telekomunikasi, sektor keuangan, sektor konstruksi, sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor jasa keuangan dan perusahaan, serta sektor jasa-jasa. Patut dicatat bahwa sebagian besar dari sektor itu bersifat padat modal. Sifat lainnya adalah sebagai sektor-sektor yang tidak diperdagangkan (non-tradable sectors), dalam artian ekspor-impor. Fenomenanya lebih kentara jika yang dianalisis adalah pertumbuhan subsektor.

Sementara itu, sekalipun tumbuh, sektor industri pengolahan dan sektor pertanian cenderung lebih rendah dari rata-rata nasional. Perlu diingat bahwa sektor industri pengolahan dan sektor pertanian adalah sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja, menjadi sumber penerimaan devisa dan penerimaan pajak, serta memiliki kaitan ke sektor pensuplai inputnya (backward linkage) dan kaitan ke sektor yang memanfaatkan pada proses produksi selanjutnya (forward linkage) yang tinggi.

Meskipun demikian, karena porsi sektor pertanian dan sektor industri pengolahan dalam struktur PDB masih yang terbesar, maka kontribusinya sebagai sumber pertumbuhan pun signifikan. Sektor lain yang yang memiliki porsi besar dan rata-rata berkontribusi besar adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran.

Analisa untuk data dengan rentang waktu yang lebih panjang, kurun puluhan tahun, biasanya memfokuskan diri terhadap sektor industri pengolahan dan pertanian. Dari analisa itu dikemukakan “tingkat industrialisasi” suatu negara. Pemerintah rezim Orde Baru, terutama para ahli ekonominya, sering mengemukakan keberhasilan Indonesia menjadi negara industri baru. Ditunjukkan kontribusi sektor ekonomi modern, khususnya industri pengolahan, yang makin besar, dan dengan tingkat pertumbuhan yang sangat tinggi. Pertumbuhannya melebihi pertumbuhan PDB, dan sektor usaha lainnya.

Sementara itu, di era pemerintahan Presiden SBY, laju pertumbuhan sektor industri pengolahan selalu berada di bawah laju pertumbuhan ekonomi. Kontribusinya pun berangsur menurun, meski masih signifikan karena porsinya yang paling besar pada struktur PDB. Pada tahun 2009, sektor industri pengolahan hanya tumbuh 2,1% ketika pertumbuhan ekonomi mencapai 4,5%. Kontribusinya hanya sebesar 0,6%, terendah selama satu dasawarsa ini. Dihubungkan dengan data-data lain yang bersifat mikro, sebagian ekonom kritis sudah melihat adanya gejala deindustrialisasi.

Komponen Pertumbuhan Ekonomi
Analisis mengenai pertumbuhan PDB menurut penggunaan kerap menghasilkan tema populer di media atau dalam laporan ekonomi, seperti: konsumsi yang mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerintah yang harus lebih aktif mendorong pertumbuhan ekonomi, investasi yang tumbuh kurang sesuai harapan sehingga kurang mendukung pertumbuhan ekonomi, dan semacamnya.

Selama periode 2001-2009, seluruh komponen cenderung mengalami pertumbuhan yang positif. Namun, konsumsi tercatat memegang peranan paling penting hingga kini. Secara lebih khusus dan luar biasa adalah konsumsi rumah tangga, meskipun konsumsi pemerintah kadang cukup besar, seperti yang berlangsung pada tahun 2009. Sekalipun angka kontribusi ekspor adalah yang tertinggi, namun jika dilihat ekspor netto yang telah memperhitungkan impor, maka angkanya masih lebih rendah daripada konsumsi rumah tangga. Kontribusi net ekspor bahkan sempat negatif pada tahun 2004.

Keadaan konsumsi sebagai sumber pertumbuhan belum banyak berubah, dan cenderung lebih meningkat porsinya sejak tahun 2007. Konsumsi (rumah tangga dan pemerintah) masih menyumbang lebih dari separo angka pertumbuhan ekonomi, dimana konsumsi rumah tangga masih juga menjadi kontributor tertinggi. Bahkan, ketika pertumbuhan ekonomi melambat, kontribusi komponen konsumsi justeru meningkat pada tahun 2009. Pangsanya sendiri hampir mencapai 70%, dan khusus konsumsi rumah tangga di kisaran 60% dari total PDB menurut harga berlaku.

Sebenarnya, pemerintah berulang kali merencanakan atau mengharapkan agar sumber pertumbuhan utama beralih kepada investasi. Target tinggi selalu dikemukakan, dan berbagai paket kebijakan dikeluarkan. Meskipun belum bisa melampaui konsumsi rumah tangga, kontribusi investasi sepanjang tahun 2007 sudah jauh lebih baik daripada tahun 2006, dan berlanjut pada tahun 2008. Namun, akibat dampak buruk krisis keuangan global kembali merosot secara signifikan pada tahun 2009.

Kontribusi investasi masih lebih bersifat harapan daripada kenyataan, dan sangat mungkin terhadang oleh kondisi perekonomian global yang memburuk. Sementara itu, sumbangan konsumsi telah terbukti dan nampaknya masih (terpaksa) akan diandalkan. Dalam arahan mewaspadai krisis tahun 2009 lalu, secara eksplisit akan diupayakan peningkatan arti konsumsi pemerintah. Kontribusi konsumsi Pemerintah memang meningkat signifikan pada tahun 2009 menjadi sebesar 1,3%. Perkembangan kontribusi sebelumnya terhadap pertumbuhan PDB adalah: 0,51% (2005), 0,74% (2006), dan 0,31% (2007), 0,8% (2008).

Kualitas pertumbuhan Ekonomi
Meskipun sudah bisa tumbuh secara cukup memadai atau setidaknya dengan tingkat yang biasa disebut moderat, sebagian ekonom mengingatkan tentang masalah kualitasnya. Rendahnya kualitas pertumbuhan ekonomi di Indonesia antara lain diindikasikan oleh masalah pengangguran dan kemiskinan yang belum teratasi. Padahal, korelasi negatif antara keduanya diakui secara luas dalam teori ekonomi. Artinya, peningkatan laju pertumbuhan ekonomi akan menambah terciptanya lapangan kerja baru atau mengurangi angka pengangguran.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia dianggap kurang berkualitas pula jika dilihat dari sumbernya (sisi permintaan). Kenyataan bahwa konsumsi bertahan begitu lama menggerakkan pertumbuhan merupakan keanehan, dan hanya mungkin dijelaskan dengan berkembangnya kegiatan ekonomi tersembunyi (hidden economy). Hidden economy yang dimaksud adalah kegiatan ekonomi yang tidak tercatat karena bersifat “bawah tanah”, tetapi berskala besar, seperti : penyelundupan, bisnis narkotik, perjudian, dan pornografi. Namun, diduga pula bahwa kegiatan ekonomi yang tersembunyi sebenarnya tidak seluruhnya berkaitan dengan urusan terlarang. Pencatatan kegiatan ekonomi secara formal kerap dihindari oleh pelaku usaha karena berhubungan dengan birokrasi yang dirasa menyulitkan. Jumlah keseluruhan dari sektor nonformal yang tergolong usaha mikro dan kecil pun menjadi cukup signifikan. Aktivitas ekonomi tersembunyi juga kian berkembang karena praktik ekonomi biaya tinggi dan ketidakpastian hukum.

Kualitas tersebut mungkin menjadi lebih rendah lagi bila arahan mewaspadai krisis terlampau mengandalkan pengeluaran pemerintah, yang notabene lebih banyak berkategori konsumsi.

Pertumbuhan Ekonomi dalam arti lebih luas
Sekali lagi diingatkan bahwa arti pertumbuhan ekonomi yang umum dipakai di Indonesia adalah pertumbuhan PDB riil. Kita sudah membahas sedikit tentang definisi lain seperti yang diungkapkan oleh Boediono (1985) ketika beliau masih fokus mengajar, yang mengartikan pertumbuhan ekonomi sebagai proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang.

Ada pula yang mengartikan pertumbuhan ekonomi secara lebih ketat. Misalnya dengan menekankan bahwa pertumbuhan yang terjadi harus bersumber dari proses internal perekonomian tersebut, bukan dari luar yang bersifat sementara. Juga dengan penekanan terhadap perubahan kelembagaan, termasuk yang bukan ekonomi, yang mendukung kelanggengan peningkatan kapasitas produksi yang berlangsung. Singkatnya, suatu ekonomi dikatakan tumbuh jika berkaitan dengan perubahan sosial yang lebih luas yang menjamin kesinambungan pertumbuhan output.

Simon Kuznets, peraih nobel di bidang ekonomi pada tahun 1971, memberi definisi: ”Pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan atau dimungkinkan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi, kelembagaan, dan ideologis terhadap berbagai tuntutan yang ada” (Todaro, 2003).

Perhatikan bahwa selain mengartikan pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan output dalam jangka panjang, penekanannya adalah pada sisi penawaran. Jika dibayangkan sebagai model kurva penawaran dan permintaan, maka dalam jangka panjang adalah vertikal karena output ditentukan oleh modal dan tenaga kerja serta ketersediaan teknologi, tetapi tidak oleh tingkat harga. Dalam jangka pendek, kurva penawaran agregat adalah horisontal, sehingga pergeseran permintaan agregat mempengaruhi output atau kesempatan kerja.

Dengan demikian, kita tidak bisa hanya fokus kepada utak-atik permintaan agregat dari tahun ke tahun, seperti kecenderungan selama ini. Jangankan hanya mengandalkan konsumsi (swasta dan pemerintah) dan ekspor, investasi yang dimaknai sekadar permintaan agregat saja masih tidak mencukupi. Investasi dimaksud harus secara nyata meningkatkan kapasitas produksi. Ada saja pengeluaran yang per definisi adalah belanja modal, namun tidak signifikan sebagai penambahan kapasitas produksi.