Pertumbuhan Ekonomi yang
Tidak Memperkuat Fundamental.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2018 mencapai
5,17%, tertinggi di era pemerintahan Presiden Jokowi. Secara rata-rata, pertumbuhan
per tahun hanya 5,03%. Sedangkan pada era Presiden SBY, pertumbuhan ekonomi
sempat mencapai 6,38%, dan secara rata-rata sebesar 5,73%.
Pertumbuhan ekonomi 5,17% sebenarnya merupakan perbandingan
nilai Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2018 atas dasar harga konstan dibandingkan
dengan nilainya pada tahun 2017. PDB adalah nilai pasar semua barang dan jasa
akhir yang diproduksi dalam wilayah Indonesia selama setahun. Nilai PDB tahun
2018 atas dasar harga berlaku (harga tahun bersangkutan) adalah sebesar Rp14.837,4
triliun. Sedangkan PDB harga konstan merupakan nilai dengan memperhitungkan
kenaikan harga yang dihadapi produsen dalam rangka berproduksi. Saat ini, Badan
Pusat Statistik (BPS) memakai tahun dasar 2010 untuk menentukan nilai PDB harga
konstan. PDB atas dasar harga berlaku tahun 2018 tadi jika diperhitungkan memakai
harga tahun 2010, maka nilainya menjadi sebesar Rp10.425,3 triliun. Sementara
itu PDB tahun 2017 atas dasar harga konstan sebesar Rp9.912,7 triliun. Terjadi
penambahan nilai produksi sebesar 5,17%, yang biasa disebut sebagai pertumbuhan
ekonomi.
Sebagaimana dijelaskan terdahulu, salah satu aspek dari fundamental
ekonomi adalah tentang apa saja barang dan jasa yang diproduksi selama beberapa
tahun terakhir. Angka pertumbuhan ekonomi hanya menunjukkan peningkatan nilai
keseluruhan produksi. Sementara itu, barang dan jasa terdiri dari jutaan macam
barang. BPS mengelompokkannya ke dalam 17 jenis menurut lapangan usaha atau
sektor usaha yang menghasilkannya. BPS juga mempublikasikan data yang lebih
detil, yang merinci 17 sektor tadi menjadi 53 subsektor, dan bahkan tersedia
data subsubsektor untuk keperluan kajian tertentu. Analisis tentang apa
merupakan pencermatan berbagai sektor dan subsektor tersebut. Dicermati berapa
porsi masing-masing dalam keseluruhan produksi, yang angka-angkanya dikenal
sebagai struktur PDB. Sebagai contoh, dalam struktur PDB 2018, porsi sektor
industri pengolahan sebesar 19,86%. Artinya, barang dan jasa dari sektor itu
mencapai sekitar seperlima dari kesuluruhan produksi.
Pengamatan atas struktur PDB untuk kurun waktu yang panjang
akan menggambarkan perubahan struktur perekonomian. Dari contoh tadi, dapat diihat
porsi industri pengolahan pada lima, sepuluh, dua puluh hingga tiga puluh tahun
lalu. Porsinya sebesar 9,34%(1970), 11,64% (1980), 20,66% (1990), 27,75% (2000)
dan 22,04% (2010). Jika digambarkan dalam grafik per tahun dalam kurun 1960 –
2018, tampak kecenderungan naik dari 1970-2008, dan kecenderungan turun dari
2009-2018. Proses pertama dikenal sebagai industrialisasi dan proses era
berikutnya adalah indikasi deindustrialisasi. Industrialisasi biasa terjadi
pada suatu negara yang mulai membangun dan pembangunannya berjalan cukup baik.
Sedangkan deindustrialisasi biasa terjadi jika suatu perekonomian telah maju
dan pendapatan per kapita penduduknya tergolong tinggi, yang ditandai pula
perkembangan jasa-jasa yang modern yang mengambil sebagian porsi industri
pengolahan. Namun yang terjadi di Indonesia jelas bukan hal demikian, karena
belum mencapai pendapatan per kapita yang tinggi. Ditambah belum pernah mencapai
porsi di atas 30% yang berlangsung selama bertahun-tahun.
Perhatian kepada porsi industri pengolahan antara lain
karena menunjukkan seberapa bergantung suatu perekonomian pada hasil alam
secara langsung, seperti pertambangan (penggalian) dan pertanian (termasuk
kehutanan dan perikanan). Dalam kaitannya dengan fundamental ekonomi, porsi
industri pengolahan yang besar dan stabil mengindikasikan kuatnya. Tentu perlu
diperiksa lagi perbandingannya dengan porsi jasa-jasa penunjang industri,
termasuk sektor keuangan, sektor informasi dan komunikasi. Juga dilihat subsektor
industri pengolahan apa saja yang memiliki porsi lebih besar, termasuk
kaitannya dengan tingkat teknologi yang dipergunakan dalam produksi.
Dalam hal teknologi produksi, kelompok subsektor industri
pengolahan yang memakai teknologi rendah mengalami kenaikan porsi, dari
46,52%(2010) menjadi 51,29%(2018) dari total produksi industri pengolahan. Subsektor
yang dikategorikan teknologi rendah antara lain: makanan dan minuman, pengolahan
tembakau, tekstil dan pakaian jadi, furniture, dan lain-lain. Kelompok yang
tergolong memakai teknologi menengah justeru mengalami penurunan, seperti: Batubara
dan Pengilangan Migas, Barang Galian bukan Logam, Logam Dasar. Sedangkan yang berteknologi
tinggi hanya sedikit meningkat atau relatif stagnan, seperti: industri Kimia, Farmasi,
Komputer, Barang Elektronik, Optik, Peralatan Listrik, Mesin, dan Alat Angkutan. Hal ini memperkuat gejala deindustrialisasi, karena lazimnya dalam industrialisasi, porsi teknologi menengah dan teknologi tinggi yang meningkat.
Perubahan struktur PDB dalam jangka menengah dan panjang
adalah akibat dari perbedaan tingkat pertumbuhan masing-masing sektor dan subsektor.
Kita dapat mencermati kelompok barang dan jasa apa yang pertumbuhannya lebih
tinggi atau lebih rendah dibanding rata-rata pertumbuhan PDB (pertumbuhan
ekonomi). Sebagai contoh, dalam kurun 2010-2018, sektor yang tumbuhnya
cenderung dibawah PDB adalah sektor pertanian dan industri pengolahan. Sedangkan
yang diatasnya adalah sektor informasi dan komunikasi dan sektor jasa keuangan
dan asuransi. Salah satu akibatnya penurunan porsi sektor industri pengolahan
tadi.
Lazimnya dalam suatu perekonomian yang makin berkembang memang
porsi sektor pertanian dalam jangka panjang akan menurun, namun nilainya tetap
meningkat. Diiringi dengan berkurangnya jumlah tenaga kerja, maka produkitifitas
sektor pertanian meningkat pesat. Perhatian utama dalam rangka fundamental
ekonomi adalah subsektor pangan, untuk menjamin kecukupan pangan seluruh rakyat,
dan tak mudah terdampak buruk oleh goncangan internasional. Sayangnya, data produksi
tanaman pangan Indonesia tak mengkonfirmasi penguatan fundamental ekonomi.
Produksi padi (beras) memang cenderung meningkat, namun lajunya cenderung
setara dengan konsumsi. Meski dilaporkan mencukupi, impor tetap dilakukan
karena kecukupannya tak berlebih dan rawan spekulasi ataupun salah perhitungan
jumlah produksi. Produksi jagung termasuk yang cenderung meningkat, namun juga
diiringi konsumsi yang meningkat, karena banyak dibutuhkan oleh sektor lainnya.
Sementara itu produksi tanaman pangan yang lain justeru turun atau stagnan,
seperti: ubi kayu, ubi jalar, kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau. Bisa
ditambahkan fenomena yang tidak menggembirakan pada produksi subsektor perkebunan
seperti tebu dan teh. Begitu pula indikasi stagnasi dalam produksi daging sapi,
daging kambing dan susu segar. Jumlah ternaknya pun demikian. Secara umum
dilihat dari aspek ini, fundamental ekonomi amat rapuh.
Asesmen atas fundamental ekonomi selanjutnya menelusuri apakah
jasa-jasa yang tumbuh kembang telah menunjang industrialisasi? Indikasinya,
tidak demikian. Produksi jasa-jasa memang meningkat, namun tak menunjukkan keterkaitan
yang saling dukung. Banyak jasa yang berkembang sendiri, lebih karena
kreatifitas atau keterpaksaan, antara lain karena tak tertampungnya tenaga
kerja pada sector industri pengolahan dan sektor modern lainnya. Banyak yang
tidak mampu memberi nilai tambah tinggi.
Berikutnya adalah apakah barang dan jasa yang diproduksi
dapat diperdagangkan (ekspor) memiliki porsi yang besar, setidaknya makin
meningkat. Hal itu diperlukan untuk dapat mencukupi kebutuhan pembayaran luar
negeri, yang tidak hanya karena kebutuhan impor, melainkan pula pembayaran keuntungan
investasi dan bunga utang luar negeri. Faktanya, porsi ekspor dari komoditas primer
masih besar, seperti: penggalian, pertanian dan perkebunan. Sedangkan ekspor industri
pengolahan pun terindikasi mengandung atau membutuhkan bahan impor yang sangat
tinggi, yang mengurangi nilai tambah akhir dilihat dari sisi devisa tidak
optimal.
Dapat pula dicermati tentang apakah barang dan jasa yang
diproduksi cukup bervariasi, serta telah ada yang menjadi andalan atau ciri
utama perekonomian Indonesia. Ada barang dan jasa yang menjelma menjadi
keunggulan atau kompetensi dalam konteks perdagangan internasional.
Meskipun tak secara langsung diartikan memperkuat
fundamental, namun yang berhubungan erat dengan fundamental ekonomi adalah korelasi
positif dan signifikan pertumbuhan ekonomi dengan tingkat pengangguran dan
kemiskinan. Pemerintah sering mengklaim pertumbuhan ekonomi telah berkualitas
karena diiringi oleh turunnya kedua hal itu. Namun perlu diperiksa apakah
korelasinya menguat atau melemah. Tiap satu persen pertumbuhan ekonomi secara statistik
menurunkan berapa poin. Jika dilihat data penurunan tingkat kemiskinan dan
tingkat pengangguran era Jokowi dihubungkan dengan pertumbuhan rata-rata 5
persennya tadi, maka korelasinya melemah.
Berdasar aspek yang dibahas bagian ini, soalan pertumbuhan
ekonomi, fundamental ekonomi kita tidak bisa dikatakan kuat. Lebih tepat jika
dikatakan rapuh atau lemah. Pelemahan memang telah berlangsung sekitar 10 an
tahun, dan selama era Presiden Jokowi, proses pelemahan fundamental ekonomi menjadi
makin tak terbendung.
Bersambung