Pemerintah mengatakan dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2019
(hal II.2-15) sebagai berikut, “Pada periode Februari tahun 2018, tingkat
pengangguran terbuka (TPT) berhasil diturunkan pada tingkat 5,13 persen atau
mencapai 6,87 juta orang. Jumlah ini merupakan angka terendah yang berhasil
dicapai sejak tahun 2000… “ Pada bagian lain disebutkan bahwa tingkat
pengangguran tahun 2019 akan dapat ditekan pada rentang 4,8 hingga 5,2 persen.
Meskipun betul merupakan angka yang terendah sejak tahun
2000, namun kecenderungan tingkat pengangguran terbuka memang turun tiap tahun
sejak tahun 2006. Yang perlu dibandingkan adalah laju tingkat penurunannya.
Data menunjukkan bahwa prestasi di era pemerintahan Jokowi sebenarnya masih
lebih rendah dibanding dua era pemerintahan sebelumnya, untuk kurun waktu
setara (3,5 tahun).
Terjadi penurunan tingkat pengangguran terbuka selama era
Agustus 2014 sampai dengan Februari 2018, dari 5,94% menjadi 5,13% atau sebesar
0,81%. Padahal pada era SBY-JK, dalan kurun waktu setara, sebesar 1,40%. Dan
pada era SBY-Boediono sebesar 1,99%.
Jika dilihat dari jumlah penganggur, prestasinya lebih buruk
lagi. Jumlah penganggur turun dari 7,24 juta orang menjadi 6,87 juta orang atau
sebanyak 373.641 orang. Sedangkan pada era SBY-JK, untuk kurun waktu setara
adalah sebanyak 823.761 orang. Dan pada era SBY-Boediono sebanyak 1.721.720
orang.
Hal lain yang perlu dicermati dan dapat menjadi pertimbangan
kebijakan ekonomi untuk waktu mendatang adalah soalan pekerja tidak penuh. BPS
mengatakan bahwa indikator ini mampu menjelaskan bahwa seseorang yang bekerja ternyata tidak semua memiliki
produktivitas yang tinggi. Pekerja Tidak Penuh adalah mereka yang bekerja di
bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu). Pekerja Tidak Penuh
terdiri dari setengah penganggur dan pekerja paruh waktu. Hal ini berkaitan
dengan definisi bekerja menurut BPS yang menjadi ukuran tingkat pengangguran
terbuka. Bekerja didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh
seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau
keuntungan, paling sedikit 1 jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu.
Kegiatan tersebut termasuk pola kegiatan pekerja tak dibayar yang membantu
dalam suatu usaha atau kegiatan ekonomi.
Jumlah pekerja tidak penuh pada Februari 2018 adalah
sebanyak 39,99 juta orang atau 31,47% dari total pekerja. Sedangkan jika
dilihat persentasinya dari angkatan kerja adalah sebesar 29,86%. Dengan
demikian, jika definisi bekerja adalah memakai jam kerja normal, maka tingkat
pengangguran adalah sebesar 35% atau sebanyak 46,87 juta orang. Sementara itu,
pada Agustus 2014, jumlah pekerja tidak penuh adalah sebanyak 35,77 juta orang
atau 31,20% dari total pekerja, dan 29,35% dari angkatan kerja. Dengan
demikian, terjadi peningkatan jumlah pekerja tidak penuh dan persentasinya
selama era pemerintahan Jokowi. Secara sederhana dapat diartikan fakta tersebut
mengurangi arti prestasi pengurangan jumlah penganggur dan angka pengangguran
terbuka.
BPS juga mengelompokkan para pekerja sebagai formal dan informal berdasarkan status pekerjaan.
Pekerja formal mencakup status berusaha dengan dibantu buruh
tetap dan buruh/karyawan/pegawai.
Selebihnya termasuk pekerja informal. Berdasarkan identifikasi itu, maka pada Februari 2018 sebanyak 53,09 juta orang (41,78%)
bekerja pada kegiatan formal dan sebanyak 73,98 juta orang (58,22%). Dalam
hal ini memang terjadi sedikit perbaikan dibanding kondisi Agustus 2014,
pekerja formal sebanyak 46,5 juta orang (40,62%), pekerja informal sebanyak
68,1 juta orang (59,83%).
Persentase pekerja informal menurun, namun jumlah
orangnya masih bertambah. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa ini masih
menujukkan tingginya tingkat kerentanan pekerja. Tingkat kerentanan berdasar status pekerjaan dikuatkan lagi
oleh rincian dari pekerja informal, yang termasuk dalam status berusaha sendiri
dan status berusaha dibantu buruh tidak tetap atau buruh tidak dibayar. Jumlah
pekerja pada kedua status ini mengalami peningkatan dari Agustus 2014 sebanyak 40,06
juta orang menjadi 44,55 juta orang pada Februari 2018. Kedua status pekerjaan
ini mencerminkan jumlah pengusaha (bukan pekerjanya) dari usaha berskala mikro
dan berskala kecil. Untuk pengusaha yang berskala menengah umumnya telah masuk
pada status berusaha dibantu buruh tetap.
Salah satu kelemahan definisi bekerja atau penganggur saat
ini adalah tidak menyertakan variabel nilai upah atau hasil usaha yang minimum
diterima. Ada indikasi mereka yang bekerja dengan jam normal atau melebihinya pun
tak selalu berarti menerima imbalan yang baik.
Dapat disimpulkan bahwa pengangguran masih menjadi masalah
serius perekonomian negeri, dan prestasi selama era pemerintahan Jokowi tidak
bisa dikatakan baik.