Posisi utang Pemerintah mencapai Rp4.478,57 Triliun pada
akhir Oktober 2018, menurut publikasi dari Kementerian Keuangan Republik
Indonesia dalam APBN KITA edisi Nopember 2018. Terdiri dari Pinjaman sebesar Rp833,92 Triliun (18,62%)
dan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar
Rp3.644,65 Triliun (81,38%).
Perlu diketahui bahwa penambahan utang pemerintah selama
tahun 2018 terdiri dari dua sebab utama. Yaitu karena pembiayaan utang bagi APBN,
dan karena pelemahan kurs rupiah terhadap dolar Amerika.
APBN 2018 merencanakan pembiayaan utang sebesar Rp399,22
Triliun, yang digunakan untuk menutupi defisit anggaran sebesar Rp325,94
triliun, serta membiayai pengeluaran lainnya yang tak termasuk dalam belanja.
Contoh pengeluaran dimaksud antara lain adalah: investasi kepada BUMN,
investasi kepada BLU, pemberian pinjaman kepada BUMN atau Pemda, dan kewajiban
penjaminan.
APBN KITA menginformasikan bahwa dari rencana pembiayaan
utang tadi, telah direalisasi sebesar Rp333,72 triliun atau 83,59% hingga akhir
Oktober. Khusus untuk target penerbitan SBN neto sebesar Rp414,52 triliun,
telah direalisasi sebesar Rp343.23 triliun. Sedangkan Pinjaman Neto
direncanakan negatif, karena penarikan pinjaman baru akan lebih sedikit
dibanding pembayaran cicilan pokok, yang dari target negatif Rp15,30 triliun
telah direalisasi sebesar negatif Rp9.51 triliun.
Penyebab kedua penambahan posisi utang selama tahun 2018
adalah pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika. Meskipun porsi SBN
berdenominasi rupiah meningkat, jika dilihat secara keseluruhan utang, maka utang
berdenominasi dolar Amerika masih berporsi sekitar 40%. Akibatnya, pelemahan rupiah
telah menambah posisi utang.
Informasi terbaru lainnya dari Kemenkeu RI untuk kondisi per
14 Nopember 2018, posisi SBN neto telah meningkat menjadi Rp374,81 triliun.
Artinya, bertambah sekitar Rp31,58 triliun selama dua minggu. Jika dianggap
posisi pinjaman belum berubah, maka posisi utang telah naik menjadi Rp4.510,15
triliun.
Pemerintah sendiri masih tetap menjelaskan bahwa kondisi
utangnya aman terkendali, dan bahkan diberi rating yang baik oleh berbagai
lembaga pemeringkat internasional. Argumen berulang adalah porsi utang atas PDB
yang masih di kisaran 30%, dan jauh dari batas yang dibolehkan undang-undang
sebesar 60%. Ditambahkan alasan penggunaan utang selama ini adalah untuk
keperluan produktif, terutama membiayai proyek-proyek strategis yang
diprioritaskan. Diingatkan pula bahwa sebagian beban utang berasal dari era
pemerintahan sebelumnya.
Terlepas dari cukup beralasannya, perlu ditelusuri tentang
berapa target utang berdasar perencanaan jangka menengah yang disusun oleh
pemerintah sendiri. Salah satu diantaranya adalah Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019, yang ditetapkan melalui Perpres
No.2/2015 tanggal 8 Januari 2015. “Terjaganya rasio utang pemerintah dibawah 30
persen PDB dan terus menurun yang diperkirakan menjadi 20,0 persen PDB pada
tahun 2019… (Buku I RPJMN halaman 6-183). Dirinci target rasio tiap tahun pada
Buku I halaman 4-16 dan Buku II halaman 3-63 sebagai berikut: 26,7% (2015),
23,3% (2016), 22,3% (2017), 21,1% (2018), dan 19,3% (2019).
Dari target RPJMN pada akhir 2018 sebesar 21,1% dari PDB,
maka target posisi utang sebenarnya hanya sebesar Rp3.079,89 triliun.
Sebagaimana perhitungan di atas, posisi utang pada 14 Nopember 2018 telah
mencapai Rp4.510 triliun. Sedangkan asumsi PDB tahun 2018 menurut APBN KITA
edisi Nopember sebesar Rp14.596,64 triliun, maka rasionya telah mencapai 30,90%.
Berdasar prakiraan realisasi APBN hingga akhir tahun, dengan asumsi rupiah
tetap stabil seperti saat ini, maka posisi utang masih akan sedikit bertambah
menjadi sekitar Rp4.530 triliun, dengan rasio utang menjadi 31%.
Prakiraan realisasi itu juga meleset dari target yang
ditetapkan pada 27 Nopember 2017 dalam Keputusan Menteri Keuangan
No.884/KMK.08/2017 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Jangka Menengah
tahun 2018-2021. Target rasio utang pada tahun 2018 dalam Kepmen itu sebesar
29,3%, yang jika diperhitungkan dengan asumsi PDB tahun 2018 dalam APBN KITA di
atas berarti sebesar Rp4.276,81 triliun. Ada selisih perkiraan tambahan utang
lebih dari Rp250 tiliun dibanding perencanaan Kemenkeu setahun lalu.
Sementara itu, APBN 2019 merencanakan pembiayaan utang
sebesar Rp359.279,1 miliar, yang antara lain untuk membiayai defisit sebesar
Rp297,16 triliun. Jika asumsi kurs rupiah sebesar Rp15.000 dapat dipenuhi
sepanjang tahun 2019, maka posisi utang akan di kisaran Rp4.890 triliun, dan
rasio masih akan tetap di atas 30%. Jika target defisit meleset dan atau rupiah
melemah, maka kondisinya akan lebih buruk. Posisi utang sangat mungkin mencapai angka psikologis Rp5.000 triliun pada akhir tahun 2019.