Oleh Awalil Rizky
Realisasi sementara APBNP 2015 secara umum menunjukkan pencapaian yang kurang menggembirakan, jauh di bawah rata-rata historisnya. Pemerintah berkilah bahwa hal itu terbilang cukup bagus di tengah melambatnya pertumbuhan ekonomi dan berbagai kondisi ekonomi yang kurang kondusif, yang melanda seluruh dunia. Ditambahkan bahwa beberapa item capaian justeru lebih baik daripada sebelumnya. Antara lain berupa rekor tertinggi penerimaan pajak sebesar Rp 1.055 trilyun, serta rekor tertinggi penerimaan perpajakan (termasuk bea dan cukai) sebesar Rp 1.235,8 trilyun.
Bagaimanapun, tampak rekor terendah dalam prosentasi atas anggaran, yakni pendapatan pajak yang hanya 81,5%, serta penerimaan perpajakan yang hanya 83%. Dan yang paling mencemaskan adalah rekor defisit yang mencapai Rp 318,5 triliun atau sekitar 2,8% dari PDB. Jauh lebih tinggi daripada target anggaran sebesar Rp 222,5 trilyun atau sekitar 1,9% dari PDB.
Defisit yang membengkak menaikkan jumlah utang pemerintah, karena opsi pembiayaan selain utang sudah tidak tersedia. Opsi utang pun terbatas, yakni menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) lebih banyak dari target. Penarikan pinjaman luar negeri pun sudah melebihi target dan secara neto sudah positif atau bertambah, tidak berkurang seperti biasa. SBN bruto yang diterbitkan mencapai Rp 514 trilyun, dengan neto (dikurangi pelunasan) sebesar Rp 361 trilyun. Melampaui target SBN neto Rp 297,7 trilyun.
Kebijakan Fiskal
Terlepas dari defisit yang melebihi target pada tahun 2015, sebenarnya APBN sendiri memang disusun dengan target defisit, yang berarti utang pemerintah memang akan bertambah dari tahun ke tahun. Kta perlu ingat apa yang dikatakan oleh konstitusi. Pasal 23 UUD 1945 ayat 1 menyatakan: “Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Dilihat dari sisi teori ekonomi, APBN mencerminkan kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal adalah salah satu jenis kebijakan ekonomi makro. Dasar kebijakan fiskal adalah tiga fungsi utama pemerintah, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi. Fungsi alokasi adalah peran anggaran untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian; fungsi distribusi berarti memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan; fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental ekonomi.
APBN harus didesain sesuai dengan fungsi tersebut, dalam upaya mendukung penciptaan akselerasi pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas. Sayangnya, APBN terkesan disusun lebih berdasar pendekatan akuntansi dan lebih taat kepada asas birokrasi daripada melaksanakan fungsi kebijakan fiskal yang baik dan kuat. APBN 2016 yang diberitakan dibahas secara alot dengan pihak DPR pun tidak terlampau mendukung target pembangunan dan arah kebijakan yang merespon tantangan ekonomi terkini. Langkah mengurangi subsidi tidak optimal dialokasikan kepada pos-pos yang merespon kondisi, serta kurang membuktikan apa yang dikedepankan dalam Nawacita ataupun RPJMN. Belanja prioritas kepada infrastruktur dengan sendirinya mengatasi semua masalah. Padahal tidak demikian, karena harus dicermati infrastruktur yang bagaimana, untuk apa dan siapa manfaat terbesarnya.
Utang Pemerintah terus meningkat
Ketika APBN 2016 dibahas dan ditetapkan, realisasi tahun 2015 mungkin belum diperhitungkan akan sebegitu buruk, meski sudah diduga akan tidak sesuai target. Target pendapatan kemudian ditetapkan masih cukup tinggi, diasumsikan meningkat signifikan dari APBNP 2015. Padahal, banyak penilaian bahwa salah satu masalah adalah terlampau ambisiusnya target tahun lalu. APBN 2016 juga tetap bersikeras dengan Belanja yang meningkat. Target defisit meningkat menjadi sekitar Rp 273 trilyun atau 2,15% dari PDB. Melesetnya target defisit 2015 mungkin akan berulang dan lebih besar, artinya utang pemerintah akan membengkak.
Beban utang, yakni cicilan dan bunga, semakin berat di masa mendatang. Daya tawar Pemerintah dalam penerbitan SBN melemah, imbal hasilnya semakin. Imbal hasil SBN yang tinggi dapat menekan suku bunga perbankan, sehingga Bank Indonesia pun kesulitan bermanuver menurunkan BI rate.
Penerimaan pajak Rp 1.360 trilyun atau perpajakan Rp 1.547 trilyun yang ditargetkan APBN 2016 amat sulit dicapai. Disusun dengan perhitungan realistis atas APBNP 2015, namun menjadi terlalu ambisius jika dilihat dari realisasi 2015. Sementara itu, realisasi Belanja diperkirakan akan lebih baik, karena berkurangnya kendala penyerapan tahun pertama pemerintahan. Defisit 2015 cukup “terselamatkan” oleh realisasi belanja yang hanya 91%, sedangkan prakiraan tahun ini di kisaran 95% sesuai historisnya.
Melihat ancaman defisit dan utang pemerintah yang akan membengkak, maka perlu segera disusun rancangan APBNP 2016. Target penerimaan pajak dan perpajakan musti diturunkan. Besaran belanja pun perlu ditinjau ulang. Harus ditelisik apa yang bisa diefisienkan, mana yang masih bisa ditunda. Orientasi APBN untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat adalah bersifat lintas generasi. Tidak boleh generasi kemudian dikorbankan untuk kenyamanan saat ini.