Beberapa hari lalu Bank Indonesia mempublikasikan statistik Utang
Luar Negeri (ULN) Indonesia edisi Nopember, untuk posisi terakhir September
2013. Beberapa info saya ringkaskan berikut ini.
1.
Posisi ULN Indonesia pada September 2013 tercatat
USD259,9 miliar. Posisi ULN sektor publik pada September 2013 mencapai USD123,2
miliar sedangkan ULN sektor swasta sebesar USD136,7 miliar.
2.
Komposisi ULN Indonesia tersebut terdiri dari USD212,8
miliar (81,9%) berjangka panjang, dan USD47,1 miliar (18,1%) berjangka pendek. Khusus, komposisi ULN publik berjangka panjang
adalah 94,3%,sedangkan ULN swasta berjangka panjang sebesar 70,6%.
3.
ULN sektor swasta sebagian besar merupakan ULN
swasta nonbank yaitu mencapai 83,6%, sedangkan ULN bank hanya mencapai 16,4%.
Tiga sektor ekonomi terbesar ULN swasta terarah kepada sektor keuangan,
persewaan dan jasa perusahaan, sektor industri pengolahan, dan sektor
pertambangan dan penggalian. Dari sisi kreditur, sebagian ULN swasta merupakan
utang kepada afiliasi yaitu mencapai 35,2% dari total ULN swasta.
4.
Dari 2006 sampai dengan 2012 (31 Desember),
posisi utang luar negeri Indonesia meningkat sebesar USD119,7 miliar (90,3%).
5.
Rasio utang luar negeri Indonesia terhadap PDB turun
dari 35,9% (2006) menjadi 28,7% (2012), lalu naik menjadi 29,2% (Sep 2013). Rasio
utang terhadap ekspor naik dari 107,2% (2006) menjadi 113,6% (2012), lalu
120,6% (Sep 2013). Debt service ratio (Rasio pembayaran pokok dan bunga utang
luar negeri terhadap penerimaan hasil ekspor) naik dari 17,6% (2006) menjadi
34,9% (2012), lalu 39,1% (Sep 2013).
Penilaian sepintas
Dalam laporan itu, Bank Indonesia memandang perkembangan ULN
Indonesia masih cukup sehat dan sesuai dengan fundamental ekonomi. Namun
dikatakan juga bahwa Bank Indonesia akan terus memantau perkembangan ULN
Indonesia, terutama ULN jangka pendek swasta, sehingga tetap optimal mendukung
perekonomian Indonesia. Nah, BI tampak mulai khawatir dengan soal ULN Swasta, terutama yang berjangka pendek.
Secara sepintas, kita melihat bahwa dalam jangka pendek kita
tidak terlampau bermasalah. Namun, jika melihat perkembangan 9 bulan saja,
angka-angka beban utang langsung memburuk dan mulai mengeliminasi pencapaian 6
tahun sebelumnya, maka keadaan tidak bisa dikatakan aman juga. Bahkan bagi
orang awam, data itu bisa dibaca berbeda, kita masih akan punya utang untuk
jangka yang amat lama, dan pasti akan bertambah.
Menarik pula melihat “penjelasan” tentang utang secara popular
dalam publikasi lain BI, Gerai Info, meski untuk konteks yang berbeda, berikut
ini: “Ada tiga jenis penjelasan mengenai utang. Bagi sebagian orang, utang harus
dihindari, agar tidak repot melunasinya. Ada juga yang berutang karena kepepet,
tidak ada jalan lain, terpaksa. Utang bagi kedua golongan ini menjadi hal
menakutkan. Tapi ada juga orang yang hidup dari utang. Utang dicintai karena
utang bisa bikin kaya. Sebaliknya, semakin kaya maka kian banyak bisa berutang!”
NAH, Apakah kita tidak ingin introspeksi sebagai suatu
bangsa dan Negara, mengapa mengelola perekonomian nasional dengan mengandalkan
utang luar negeri?