BRIGHT INDONESIA, ECONOMIC OUTLOOK 2009
Sejauh yang diungkapkan kepada publik dalam negeri, Pemerintah dan Bank Indonesia (otoritas ekonomi) tampak optimis menyongsong tahun 2009, meskipun perekonomian nasional terus mendapat tekanan dari goncangan eksternal sepanjang tahun 2008. Sikap demikian bisa dimengerti urgensinya, yakni mengelola ekspektasi, karena kepanikan otoritas ekonomi akan dengan mudah menyebar kepada masyarakat dan pelaku bisnis. Bahkan, kepanikan pelaku ekonomi di satu subsektor, apalagi jika melanda sektor perbankan yang memiliki peran amat strategis di sektor keuangan dan sektor riil, dengan cepat menjadi bersifat dramatis dan sistemik.
Pada akhir tahun 2007 hingga awal 2008, mereka percaya perekonomian Indonesia masih akan tumbuh pesat dan tidak akan banyak terpengaruh oleh beberapa gejolak eksternal yang sebenarnya sudah mulai berlangsung. Sekalipun sedikit merosot, masih ada keyakinan atas daya tahan perekonomian domestik dalam menghadapi dampak buruk krisis keuangan global yang semakin meluas. Argumen dasar yang berulangkali dikemukakan adalah bahwa fundamental ekonomi Indonesia sekarang ini sudah kuat.
Jika dibandingkan dengan estimasi Otoritas ekonomi, maka estimasi BRIGHT Indonesia tentu akan dikatakan kurang bersifat optimis, bahkan cenderung pesimis. Outlook ini berupaya menjelaskan berbagai hal pokok dalam dinamika perekonomian Indonesia beserta prediksinya di tahun mendatang, yang antara lain menyimpulkan : pertumbuhan ekonomi akan sangat melambat, inflasi tetap tinggi, pengangguran meningkat, neraca pembayaran terus mendapat tekanan, cadangan devisa akan berkurang, serta angka kemiskinan akan bertambah.
Dalam semua indikator ekonomi utama tersebut, BRIGHT Indonesia memang mengemukakan prediksi yang lebih buruk. Namun tidak berarti memiliki sikap pesimis terhadap masa depan perekonomian Indonesia. Analisis yang dilakukan justeru bersifat lebih realistis. Harapannya, ada antisipasi dari semua pihak agar kondisi tidak berkembang menjadi lebih buruk lagi di tahun-tahun berikutnya. Sikap optimis berlebihan, terutama dari otoritas ekonomi, cenderung menyamarkan pokok permasalahan. Pada mulanya, sikap demikian dapat menenangkan sebagian pelaku ekonomi, khususnya masyarakat kebanyakan. Pada akhirnya, ketika beberapa fakta ekonomi tidak bisa disamarkan lagi dan bahkan berdampak buruk langsung kepada banyak pelaku ekonomi, maka eskalasi kepanikan amat mungkin menjadi tidak terkendali. Hal demikian menjadi salah satu sisi dari krisis 1997/1998, yang mustinya menjadi pengalaman berharga.
Prediksi yang relatif buruk dari BRIGHT Indonesia adalah untuk kondisi tahun 2009 (terutama dibandingkan dengan tahun 2008). Kondisi perekonomian selanjutnya justeru diharapkan menjadi jauh lebih baik, bahkan dibandingkan dengan kondisi selama ini. Salah satu syaratnya, sikap dan cara yang benar menghadapi tahun 2009. Kesiapan untuk menghadapi situasi yang buruk lebih diperlukan daripada upaya menyamarkan, apalagi meremehkannya.
Ancaman resesi ekonomi memang ada, jika diartikan sebagai pertumbuhan PDB yang negatif sedikitnya dua triwulan berturut-turut. Pada triwulan IV-2008 diperkirakan PDB akan tumbuh negatif. Hal itu merupakan sesuatu yang bersifat musiman dalam perekonomian Indonesia, sedangkan dampak buruk gejolak ekonomi dunia bersifat menambah besaran negatifnya. Resesi atau tidak antara lain dapat dilihat pada angka pertumbuhan PDB triwulan I-2009 nanti, dimana biasanya tumbuh positif. BRIGHT Indonesia sendiri masih melihat kemungkinan akan tetap tumbuh positif, meski dengan laju yang lebih rendah dari tahun sebelumnya.
Bahkan, yang mengancam tidak sekadar resesi, melainkan stagflasi, dalam arti sedikit lebih longgar daripada yang umum dikenal dalam textbook. Juga dalam skala yang lebih kecil daripada yang dihadapi pada tahun 1998 lalu.
Terminologi stagflasi bagi suatu perekonomian bisa diartikan sebagai output yang stagnan atau menurun disertai dengan inflasi yang tinggi. Indikator output yang diterima luas adalah PDB menurut harga konstan (riil). BRIGHT Indonesia memprediksi PDB riil masih akan tumbuh positif sebesar 4,4% pada tahun 2009. Namun, jika dipakai adalah ukuran per kapita dari konsep pendapatan nasional lainnya (misalnya disposable income), maka angkanya akan lebih kecil lagi dan mendekati stagnan. Stagnannya suatu perekonomian secara longgar bisa pula diindikasikan oleh tingkat pengangguran yang tinggi dan cenderung meningkat.
Ancaman stagflasi ada jika diartikan sebagai tingginya angka pengangguran dan angka inflasi yang relatif tinggi pula. Apabila otoritas ekonomi menjalankan kebijakan yang tidak tepat, maka keadaan bisa memburuk pada tahun selanjutnya, stagflasi dalam artian output menurun dan inflasi tetap tinggi bisa terjadi pada tahun 2010.
BRIGHT Indonesia tentu saja menyadari akan ada jebakan yang menghadang prediksi semacam itu. Kesiapan menghadapi krisis secara berlebihan akan berbiaya mahal, dan setiap ramalan buruk bisa menjelma menjadi kekuatan besar bagi perwujudannya. Oleh karenanya, sikap realistis tetap memerlukan kehati-hatian yang memadai. Kepekaan atas berbagai rambu dari gejolak ekonomi dan dampak buruk dari peristiwa tertentu, harus diimbangi dengan keterbukaan pikiran akan peluang baru yang muncul. Sikap optimis bisa mengatasi keadaan musti tetap dipelihara.
Dalam konteks makroekonomi Indonesia, berbagai peluang baru sebenarnya telah tersedia jika melihat segala potensi alam dan masyarakat Indonesia, yang selama ini cenderung terbaikan. Fokus otoritas ekonomi terlampau besar kepada upaya memanfaatkan dinamika perekonomian dunia, khususnya untuk mengundang modal asing. Perbaikan yang terjadi kemudian bersifat sementara dan mengandung kerawanan bagi perekonomian domestik di waktu selanjutnya.
Seharusnya pula, setiap krisis atau kondisi buruk yang dihadapi dapat menjadi momentum untuk meninjau ulang hal-hal mendasar dalam perekonomian nasional. BRIGHT indonesia menilai tahun 2009 adalah kondisi yang tepat atau momentum bagi pembangunan ulang fundamental ekonomi Indonesia.
Dalam konteks makroekonomi Indonesia, berbagai peluang baru sebenarnya telah tersedia jika melihat segala potensi alam dan masyarakat Indonesia, yang selama ini cenderung terbaikan. Fokus otoritas ekonomi terlampau besar kepada upaya memanfaatkan dinamika perekonomian dunia, khususnya untuk mengundang modal asing. Perbaikan yang terjadi kemudian bersifat sementara dan mengandung kerawanan bagi perekonomian domestik di waktu selanjutnya.
Seharusnya pula, setiap krisis atau kondisi buruk yang dihadapi dapat menjadi momentum untuk meninjau ulang hal-hal mendasar dalam perekonomian nasional. BRIGHT indonesia menilai tahun 2009 adalah kondisi yang tepat atau momentum bagi pembangunan ulang fundamental ekonomi Indonesia.
Secara teoritis, indikator makroekonomi memang bisa dipakai sebagai cerminan dari fundamental perekonomian suatu negara. Akan tetapi, indikator makroekonomi Indonesia selama ini memiliki bias statistik yang cukup besar, serta masih terkendala teknis perhitungan yang belum akurat. Diabaikannya satu atau dua indikator yang memburuk kerap pula melemahkan makna analisis secara keseluruhan, mengingat keterkaitan erat antar variabel dalam realitanya.
BRIGHT Indonesia menilai perlunya redefinisi terminologi fundamental ekonomi. Fundamental ekonomi harus diartikan dari berbagai aspek, tidak hanya perkembangan indikator makroekonomi. Diantaranya adalah: struktur produksi barang dan jasa domestik, struktur permintaan agregat, keseimbangan yang dinamis antara permintaan dan penawaran agregat, struktur ekspor, komposisi penggunaan faktor produksi, keterkaitan antara sektor keuangan dan sektor riil, distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat, serta efektivitas peran negara dalam perekonomian.
Berbagai pembahasan dalam Outlook menyinggung sebagian besar aspek tersebut. Perhatian utama yang harus diberikan dalam waktu dekat ini adalah pada aspek penawaran dan potensi domestik. Sebagai contoh, struktur produksi barang dan jasa domestik musti diperkuat dan dengan orientasi berjangka panjang. Perbaikan neraca pembayaran lebih ditekankan kepada perbaikan struktural, yakni kepada penguatan transaksi berjalan. Selain menguatkan struktur ekspor, meminimalkan impor, regulasi atas transaksi finansial pun harus ketat dan jelas. Pemerintah pun tidak perlu sungkan untuk mengoptimalkan potensi pengiriman TKI ke luar negeri.
Keterkaitan antara sektor keuangan dan sektor riil telah memasuki banyak dimensi baru, yang sebagiannya tidak terduga. Pemberian kebebasan berlebih pada sektor keuangan, apalagi jika memberi dukungan dengan biaya yang besar, bisa menjadi bumerang bagi otoritas ekonomi sendiri. Salah satu kata kuncinya adalah regulasi.
Sejalan dengan itu pula, efektivitas peran negara dalam perekonomian perlu ditingkatkan. Mitos tentang negara hanya perlu menjadi sekadar regulator harus ditinggalkan. Yang perlu dirumuskan dan dijalankan adalah intervensi yang bagaimana, dalam hal apa saja, dan seberapa jauh. Itu pun berlangsung secara dinami, bisa ditinjau dari waktu ke waktu dengan prosedur yang baik.
Sejalan dengan itu pula, efektivitas peran negara dalam perekonomian perlu ditingkatkan. Mitos tentang negara hanya perlu menjadi sekadar regulator harus ditinggalkan. Yang perlu dirumuskan dan dijalankan adalah intervensi yang bagaimana, dalam hal apa saja, dan seberapa jauh. Itu pun berlangsung secara dinami, bisa ditinjau dari waktu ke waktu dengan prosedur yang baik.
Analisis mengenai fundamental ekonomi yang mempertimbangkan redefinisi artinya akan menghasilkan kesimpulan bahwa fundamental ekonomi Indonesia belum bisa dikatakan kuat, bahkan cenderung lemah. Sebagai contoh, jika mengartikannya sebagai struktur produksi nasional, maka akan tampak soal kerentanannya terhadap fluktuasi pasokan dan harga beberapa komoditi. Jika yang dimaksud adalah adanya keseimbangan yang dinamis antara permintaan dan penawaran agregat, maka mengapa sumber pertumbuhan ekonomi terbesar kita justeru berasal dari konsumsi. Yang paling mendasar, sekuat apa fundamental ekonomi yang memiliki angka pengangguran sekitar 10 juta orang, atau mencapai lebih dari 30 juta orang jika memasukkan angka setengah penganggur, serta dipenuhi pula oleh lebih dari 35 juta penduduk miskin. Trends perbaikan yang terjadi tidak bersifat mendasar, dimana angka pengangguran dan kemiskinan amat mudah berubah.
BRIGHT Indonesia menilai Otoritas ekonomi terindikasi mengelola perekonomian dengan perspektif yang kurang berjangka panjang, sehingga mengabaikan faktor-faktor yang sebenarnya amat penting. Indikasinya antara lain: pertumbuhan ekonomi dengan sumber utama konsumsi, penambahan modal domestik bruto (investasi) yang bersifat amat padat modal, pertumbuhan pesat lebih bertumpu kepada sektor usaha yang kurang memiliki kaitan ke belakang dan ke depan, ekspor dengan komponen impor yang tinggi, NPI yang ditopang oleh transaki modal jangka pendek, defisit anggaran pemerintah yang dibiayai utang secara terus menerus, dan kebijakan anti inflasi yang berbiaya mahal.
Wajar jika kebijakan makroekonomi hanya mengutak-atik permintaan agregat dari tahun ke tahun. Yang pada kenyataannya, hal itu tidak bisa optimal, karena memang hampir tidak mungkin dilakukan. Upaya menyeimbangkan kontribusi konsumsi (swasta dan pemerintah) dengan investasi sulit untuk berhasil jika aspek produksi riil tidak ditangani secara serius. Apalagi jika investasi dimaksud harus secara nyata meningkatkan kapasitas produksi dalam jangka panjang (tidak sekadar asal meningkatkan permintaan agregat dalam jangka pendek).
Definisi pertumbuhan ekonomi yang lebih luas cakupannya dan berperspektif jangka panjang menekankan perkembangan secara per kapita, pemerataannya dan kelangsungannya secara terus menerus dengan sedikit sekali fluktuasi. Pertumbuhan oun musti bersumber dari proses internal perekonomian tersebut, bukan dari luar yang bersifat sementara. Harus terjadi juga perubahan kelembagaan, termasuk yang bukan ekonomi, yang mendukung kelanggengan peningkatan kapasitas produksi yang berlangsung. Singkatnya, suatu ekonomi dikatakan tumbuh jika berkaitan dengan perubahan sosial yang lebih luas yang menjamin kesinambungan pertumbuhan output.
BRIGHT Indonesia merekomendasikan kepada otoritas ekonomi agar lebih mendasari kebijakannya pada horison waktu yang lebih panjang. Sedangkan mengenai ancaman resesi dan stagflasi dalam jangka pendek ini, untuk mencegahnya adalah memperbaiki sisi penawaran secara mendasar, mulai saat ini. Pada saat bersamaan, perbaikan permintaan agregat dalam negeri tidak perlu dilakukan secara ”dadakan”, baik dengan upaya meningkatkan belanja pemerintah maupun program penanganan kemiskinan yang karikatif dan instan.
BRIGHT Indonesia menilai ada momentum bagi perekonomian Indonesia tahun 2009 untuk membangun ulang fundamental ekonominya, sehingga menjadi lebih berorientasi kepada potensi domestik. Kita tidak boleh lagi mengabaikan potensi domestik yang memang amat besar, baik dilihat dari sumber daya alam maupun sumber daya manusianya. Indonesia memiliki sisi penawaran maupun permintaan yang seimbang dan bisa dioptimalkan. Otoritas ekonomi, terutama Pemerintah dan Bank Indonesia menjadi pelaku kunci bagi perubahan mendasar ini.
Jika semangat demikian melandasi penanganan masalah perekonomian tahun 2009, maka BRIGHT Indonesia yakin bahwa kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia akan terwujud. Tidak perlu menunggu dalam waktu yang amat panjang, serta penuh ketidakjelasan.
Catatan:
Naskah Outlook telah dipublikasikan pada tanggal 25 Nopember 2008. Presentasi oleh tim BRIGHT Indonesia pada tanggal 27 Nopember 2008 di financial club Graha Niaga, Jakarta. Berita tentangnya dimuat di beberapa media cetak nasional sehari kemudian.
Jika semangat demikian melandasi penanganan masalah perekonomian tahun 2009, maka BRIGHT Indonesia yakin bahwa kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia akan terwujud. Tidak perlu menunggu dalam waktu yang amat panjang, serta penuh ketidakjelasan.
Catatan:
Naskah Outlook telah dipublikasikan pada tanggal 25 Nopember 2008. Presentasi oleh tim BRIGHT Indonesia pada tanggal 27 Nopember 2008 di financial club Graha Niaga, Jakarta. Berita tentangnya dimuat di beberapa media cetak nasional sehari kemudian.