Jumat, 29 Maret 2019

FUNDAMENTAL EKONOMI YANG RAPUH (bagian 2)


Pertumbuhan Ekonomi yang Tidak Memperkuat Fundamental.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2018 mencapai 5,17%, tertinggi di era pemerintahan Presiden Jokowi. Secara rata-rata, pertumbuhan per tahun hanya 5,03%. Sedangkan pada era Presiden SBY, pertumbuhan ekonomi sempat mencapai 6,38%, dan secara rata-rata sebesar 5,73%.

Pertumbuhan ekonomi 5,17% sebenarnya merupakan perbandingan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2018 atas dasar harga konstan dibandingkan dengan nilainya pada tahun 2017. PDB adalah nilai pasar semua barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam wilayah Indonesia selama setahun. Nilai PDB tahun 2018 atas dasar harga berlaku (harga tahun bersangkutan) adalah sebesar Rp14.837,4 triliun. Sedangkan PDB harga konstan merupakan nilai dengan memperhitungkan kenaikan harga yang dihadapi produsen dalam rangka berproduksi. Saat ini, Badan Pusat Statistik (BPS) memakai tahun dasar 2010 untuk menentukan nilai PDB harga konstan. PDB atas dasar harga berlaku tahun 2018 tadi jika diperhitungkan memakai harga tahun 2010, maka nilainya menjadi sebesar Rp10.425,3 triliun. Sementara itu PDB tahun 2017 atas dasar harga konstan sebesar Rp9.912,7 triliun. Terjadi penambahan nilai produksi sebesar 5,17%, yang biasa disebut sebagai pertumbuhan ekonomi.

Sebagaimana dijelaskan terdahulu, salah satu aspek dari fundamental ekonomi adalah tentang apa saja barang dan jasa yang diproduksi selama beberapa tahun terakhir. Angka pertumbuhan ekonomi hanya menunjukkan peningkatan nilai keseluruhan produksi. Sementara itu, barang dan jasa terdiri dari jutaan macam barang. BPS mengelompokkannya ke dalam 17 jenis menurut lapangan usaha atau sektor usaha yang menghasilkannya. BPS juga mempublikasikan data yang lebih detil, yang merinci 17 sektor tadi menjadi 53 subsektor, dan bahkan tersedia data subsubsektor untuk keperluan kajian tertentu. Analisis tentang apa merupakan pencermatan berbagai sektor dan subsektor tersebut. Dicermati berapa porsi masing-masing dalam keseluruhan produksi, yang angka-angkanya dikenal sebagai struktur PDB. Sebagai contoh, dalam struktur PDB 2018, porsi sektor industri pengolahan sebesar 19,86%. Artinya, barang dan jasa dari sektor itu mencapai sekitar seperlima dari kesuluruhan produksi.  

Pengamatan atas struktur PDB untuk kurun waktu yang panjang akan menggambarkan perubahan struktur perekonomian. Dari contoh tadi, dapat diihat porsi industri pengolahan pada lima, sepuluh, dua puluh hingga tiga puluh tahun lalu. Porsinya sebesar 9,34%(1970), 11,64% (1980), 20,66% (1990), 27,75% (2000) dan 22,04% (2010). Jika digambarkan dalam grafik per tahun dalam kurun 1960 – 2018, tampak kecenderungan naik dari 1970-2008, dan kecenderungan turun dari 2009-2018. Proses pertama dikenal sebagai industrialisasi dan proses era berikutnya adalah indikasi deindustrialisasi. Industrialisasi biasa terjadi pada suatu negara yang mulai membangun dan pembangunannya berjalan cukup baik. Sedangkan deindustrialisasi biasa terjadi jika suatu perekonomian telah maju dan pendapatan per kapita penduduknya tergolong tinggi, yang ditandai pula perkembangan jasa-jasa yang modern yang mengambil sebagian porsi industri pengolahan. Namun yang terjadi di Indonesia jelas bukan hal demikian, karena belum mencapai pendapatan per kapita yang tinggi. Ditambah belum pernah mencapai porsi di atas 30% yang berlangsung selama bertahun-tahun.


Perhatian kepada porsi industri pengolahan antara lain karena menunjukkan seberapa bergantung suatu perekonomian pada hasil alam secara langsung, seperti pertambangan (penggalian) dan pertanian (termasuk kehutanan dan perikanan). Dalam kaitannya dengan fundamental ekonomi, porsi industri pengolahan yang besar dan stabil mengindikasikan kuatnya. Tentu perlu diperiksa lagi perbandingannya dengan porsi jasa-jasa penunjang industri, termasuk sektor keuangan, sektor informasi dan komunikasi. Juga dilihat subsektor industri pengolahan apa saja yang memiliki porsi lebih besar, termasuk kaitannya dengan tingkat teknologi yang dipergunakan dalam produksi.



Dalam hal teknologi produksi, kelompok subsektor industri pengolahan yang memakai teknologi rendah mengalami kenaikan porsi, dari 46,52%(2010) menjadi 51,29%(2018) dari total produksi industri pengolahan. Subsektor yang dikategorikan teknologi rendah antara lain: makanan dan minuman, pengolahan tembakau, tekstil dan pakaian jadi, furniture, dan lain-lain. Kelompok yang tergolong memakai teknologi menengah justeru mengalami penurunan, seperti: Batubara dan Pengilangan Migas, Barang Galian bukan Logam, Logam Dasar. Sedangkan yang berteknologi tinggi hanya sedikit meningkat atau relatif stagnan, seperti: industri Kimia, Farmasi, Komputer, Barang Elektronik, Optik, Peralatan Listrik, Mesin, dan Alat Angkutan. Hal ini memperkuat gejala deindustrialisasi, karena lazimnya dalam industrialisasi, porsi teknologi menengah dan teknologi tinggi yang meningkat.


Perubahan struktur PDB dalam jangka menengah dan panjang adalah akibat dari perbedaan tingkat pertumbuhan masing-masing sektor dan subsektor. Kita dapat mencermati kelompok barang dan jasa apa yang pertumbuhannya lebih tinggi atau lebih rendah dibanding rata-rata pertumbuhan PDB (pertumbuhan ekonomi). Sebagai contoh, dalam kurun 2010-2018, sektor yang tumbuhnya cenderung dibawah PDB adalah sektor pertanian dan industri pengolahan. Sedangkan yang diatasnya adalah sektor informasi dan komunikasi dan sektor jasa keuangan dan asuransi. Salah satu akibatnya penurunan porsi sektor industri pengolahan tadi.

Lazimnya dalam suatu perekonomian yang makin berkembang memang porsi sektor pertanian dalam jangka panjang akan menurun, namun nilainya tetap meningkat. Diiringi dengan berkurangnya jumlah tenaga kerja, maka produkitifitas sektor pertanian meningkat pesat. Perhatian utama dalam rangka fundamental ekonomi adalah subsektor pangan, untuk menjamin kecukupan pangan seluruh rakyat, dan tak mudah terdampak buruk oleh goncangan internasional. Sayangnya, data produksi tanaman pangan Indonesia tak mengkonfirmasi penguatan fundamental ekonomi. Produksi padi (beras) memang cenderung meningkat, namun lajunya cenderung setara dengan konsumsi. Meski dilaporkan mencukupi, impor tetap dilakukan karena kecukupannya tak berlebih dan rawan spekulasi ataupun salah perhitungan jumlah produksi. Produksi jagung termasuk yang cenderung meningkat, namun juga diiringi konsumsi yang meningkat, karena banyak dibutuhkan oleh sektor lainnya. Sementara itu produksi tanaman pangan yang lain justeru turun atau stagnan, seperti: ubi kayu, ubi jalar, kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau. Bisa ditambahkan fenomena yang tidak menggembirakan pada produksi subsektor perkebunan seperti tebu dan teh. Begitu pula indikasi stagnasi dalam produksi daging sapi, daging kambing dan susu segar. Jumlah ternaknya pun demikian. Secara umum dilihat dari aspek ini, fundamental ekonomi amat rapuh.



Asesmen atas fundamental ekonomi selanjutnya menelusuri apakah jasa-jasa yang tumbuh kembang telah menunjang industrialisasi? Indikasinya, tidak demikian. Produksi jasa-jasa memang meningkat, namun tak menunjukkan keterkaitan yang saling dukung. Banyak jasa yang berkembang sendiri, lebih karena kreatifitas atau keterpaksaan, antara lain karena tak tertampungnya tenaga kerja pada sector industri pengolahan dan sektor modern lainnya. Banyak yang tidak mampu memberi nilai tambah tinggi.

Berikutnya adalah apakah barang dan jasa yang diproduksi dapat diperdagangkan (ekspor) memiliki porsi yang besar, setidaknya makin meningkat. Hal itu diperlukan untuk dapat mencukupi kebutuhan pembayaran luar negeri, yang tidak hanya karena kebutuhan impor, melainkan pula pembayaran keuntungan investasi dan bunga utang luar negeri. Faktanya, porsi ekspor dari komoditas primer masih besar, seperti: penggalian, pertanian dan perkebunan. Sedangkan ekspor industri pengolahan pun terindikasi mengandung atau membutuhkan bahan impor yang sangat tinggi, yang mengurangi nilai tambah akhir dilihat dari sisi devisa tidak optimal.

Dapat pula dicermati tentang apakah barang dan jasa yang diproduksi cukup bervariasi, serta telah ada yang menjadi andalan atau ciri utama perekonomian Indonesia. Ada barang dan jasa yang menjelma menjadi keunggulan atau kompetensi dalam konteks perdagangan internasional.

Meskipun tak secara langsung diartikan memperkuat fundamental, namun yang berhubungan erat dengan fundamental ekonomi adalah korelasi positif dan signifikan pertumbuhan ekonomi dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan. Pemerintah sering mengklaim pertumbuhan ekonomi telah berkualitas karena diiringi oleh turunnya kedua hal itu. Namun perlu diperiksa apakah korelasinya menguat atau melemah. Tiap satu persen pertumbuhan ekonomi secara statistik menurunkan berapa poin. Jika dilihat data penurunan tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran era Jokowi dihubungkan dengan pertumbuhan rata-rata 5 persennya tadi, maka korelasinya melemah.

Berdasar aspek yang dibahas bagian ini, soalan pertumbuhan ekonomi, fundamental ekonomi kita tidak bisa dikatakan kuat. Lebih tepat jika dikatakan rapuh atau lemah. Pelemahan memang telah berlangsung sekitar 10 an tahun, dan selama era Presiden Jokowi, proses pelemahan fundamental ekonomi menjadi makin tak terbendung.

Bersambung

Rabu, 27 Maret 2019

FUNDAMENTAL EKONOMI YANG RAPUH (bagian 1)


Pemerintah saat ini mengklaim pembangunan ekonomi sudah berjalan dengan arah yang benar, dan bahkan telah memperlihatkan berbagai hasil yang sangat memuaskan. Berulangkali dikemukakan bahwa perekonomian nasional dalam kondisi yang baik, terutama karena kebijakan dan pengelolaan ekonomi yang sudah tepat. Kondisi perekonomian dinilai lebih baik dibandingkan era pemerintahan sebelumnya. Bahkan, termasuk salah satu yang terbaik jika dibandingkan banyak negara lain. Pembangunan ekonomi pun dikatakan telah dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia, termasuk yang kelompok ekonomi yang paling bawah.

Klaim pemerintah tersebut didukung penuh oleh banyak penjelasan pihak otoritas ekonomi lainnya, seperti Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Penjelasan yang sering dikemukakan otoritas ekonomi antara lain: Pertumbuhan ekonomi masih cukup tinggi; Pengangguran terus berkurang; Inflasi selalu terkendali dalam tingkat yang rendah; Kemiskinan turun signifikan dan terendah dalam sejarah; Cadangan devisa masih cukup besar dan mencukupi kebutuhan transaksi internasional; Defisit APBN makin terkendali; Paket kebijakan telah mendorong investasi dan makin meningkatkan iklim berusaha; Pembangunan infrastruktur telah berhasil dan akan makin medorong pertumbuhan ekonomi di masa depan.

Klaim tersebut jelas berlebihan, bahkan dapat dikatakan berkebalikan dengan fakta dan dinamika ekonomi yang sebenarnya terjadi selama era pemerintahan Jokowi. Kesimpulan yang berlawanan itu dapat diambil jika dilakukan asesmen yang lebih dingin, berdasar data dan indikator yang lebih detil dan menyeluruh, berhorison waktu yang lebih panjang, serta prakiraan akan tantangan eksternal yang segera dihadapi. Sangat mungkin untuk menyebut pembangunan ekonomi era Jokowi telah gagal. Setidaknya, indikator kegagalan lebih menonjol dibanding indikator keberhasilan.

Berbagai kritik sebenarnya sudah sering disampaikan oleh beberapa ekonom. Diantaranya adalah soal utang, defisit transaksi berjalan, kebijakan ekonomi yang saling bertentangan, meningkatnya ketidakpastian usaha, kerentanan kondisi pekerja meskipun tercatan bukan pengangguran, makin memburuknya kelompok terbawah atau yang sangat miksin, dan lain sebagainya. Namun yang lebih dominan di media adalah penjelasan pemerintah dan otoritas ekonomi.

Menjelang Pemilu legislatif dan Pilpres, perlu ada forum diskusi serius untuk melakukan asesmen menyeluruh atas kondisi ekonomi terkini dan tantangan beberapa tahun ke depan. Publik berhak mendapat gambaran yang lebih berimbang, tidak hanya yang berasal dari Pemerintah, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Melainkan juga dari yang pandangan yang berlawanan. Tentu diskusi yang berdasar analisis yang jernih dan data yang dapat dipertanggungjawabkan.

Tinjauan atas kondisi perekonomian nasional terkini dan tantangan ke depan, sebaiknya menyoroti hal dan aspek yang paling mendasar, yaitu fundamental ekonomi. Tema fundamental ekonomi ini mengemuka ke ruang publik sejak tahun lalu, ketika kurs rupiah mengalami depresiasi besar dalam waktu singkat. Pemerintah, Bank Indonesia dan OJK waktu itu segera menyampaikan tentang masih kuatnya fundamental ekonomi.

Presiden Joko Widodo, tanggal 30 April 2018, mengatakan melemahnya mata uang nasional seperti rupiah juga dirasakan negara lain. Dia mengatakan fundamental ekonomi makro Indonesia baik, sehingga pemerintah masih dapat mengendalikan inflasi sebesar 3,5 persen per tahun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan bahwa saat ini (17 Mei 2018) volatilitas di sektor keuangan global masih relatif tinggi. Meskipun demikian, dalam gejolak ekonomi yang terjadi itu, perekonomian Indonesia masih memiliki fundamental yang kuat. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan fundamental ekonomi Indonesia masih kuat di tengah fluktuasi kurs dolar AS, dan satu-satunya kelemahan hanya transaksi berjalannya defisit 3 persen (4 September 2018). Darmin menjelaskan bahwa faktor fundamental itu dinilai dari pertumbuhan ekonomi dan inflasi Indonesia.

Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan ( OJK) Wimboh Santoso juga mengatakan bahwa Indonesia memiliki fundamental ekonomi yang kuat (23 Juli 2018). Dikatakan bahwa tekanan pada pasar keuangan yang terjadi akhir-akhir ini hanya merupakan fenomena temporer sebagai akibat dari rebalancing portofolio dari global investor. Pihak Bank Indonesia pun sering menyuarakan opini serupa. Belum lama ini (30 Januari 2019), Gubernur BI, Perry Warjiyo merayu para investor dengan membanggakan kondisi monter Indonesia yang stabil di tengah guncangan eksternal dari ekonomi global. Terutama dengan adanya trade war atau perang dagang antara dua negara raksasa Amerika dengan China. Perry menegaskan, Indonesia merupakan ladang investasi yang menarik ditunjang kondisi makroekonomi yang stabil serta sinkronisasi kebijakan makroekonomi pemerintah. Disimpulkannya bahwa kondisi ekonomi Indonesia yang stabil adalah fondasi yang kuat untuk pertumbuhan ekonomi di masa depan.

Pandangan berbeda diberikan oleh beberapa ekonom. Salah satunya yang perlu dikutip adalah dari mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia dan mantan ketua BPK Anwar Nasution, yang mengatakan fundamental ekonomi di Indonesia masih sangat lemah. Sebab, fundamental ekonomi Indonesia dianggap belum mampu menahan gejolak dari luar. Dia bahkan mengatakan Pemerintah telah omong kosong dan bohong dengan mengatakan fundamental ekonomi Indonesia kuat. (8 September 2018). Anwar Nasution mengemukakan beberapa hal berikut sebagai argumennya: rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) masih rendah, sehingga terpaksa terus berutang; ekonomi Indonesia yang sangat rawan terhadap gejolak dari luar negeri, terutama terkait beban pembayaran utang dan harga barang yang banyak diimpor; dan lembaga keuangan (terutama bank) yang masih sangat lemah.

Sebenarnya, soal fundamental ekonomi ini telah diakui sejak awal pemerintahan sebagai faktor utama dalam arah pembangunan ekonomi. Penguatannya menjadi acuan atau pertimbangan paling penting dalam pengelolaan ekonomi, termasuk pengambilan keputusan tentang kebijakan. Setahun setelah pemerintahannya, Presiden Jokowi (Oktober 2015) menjelaskan tentang strategi untuk perubahan Indonesia menjadi lebih baik dan lebih sejahtera. Jokowi menjelaskan tentang tranformasi fundamental ekonomi yang bertumpu pada tiga aspek. Pertama, mengubah ekonomi berbasis konsumsi menjadi ekonomi berbasis produksi. Kedua, kebijakan subsidi BBM yang dialihkan untuk pembangunan infrastruktur dan juga subsidi yang lebih tepat sasaran untuk pengentasan kemiskinan. Ketiga, yaitu mendorong pembangunan yang lebih merata di luar Pulau Jawa. Seperti percepatan pembangunan infrastruktur yang di beberapa tempat seperti pembangunan jalan tol Trans Sumatera dan Papua.

Diskusi musti dimulai dari pengertian fundamental ekonomi. Apa saja yang dicakupnya, bagaimana mengukurnya, dan bagaimana penilaian atas fundamental ekonomi saat ini.

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, arti fundamental bersifat dasar (pokok) atau mendasar. Bisa dikatakan sebagai sesuatu yang mendasar (pokok atau prinsip) dalam suatu hal. Secara arti kata, fundamental ekonomi adalah segala hal yang menjadi dasar dan merupakan elemen penting dalam aktivitas ekonomi. Akan tetapi dari kutipan beberapa pernyataan di atas, pengertian fundamental ekonomi yang dipakai Pemerintah dan otoritas ekonomi lainnya, bisa dikatakan menyempit menjadi hanya fundamental ekonomi makro. Dan itupun dipersempit lagi menjadi lebih mengedepankan soal pertumbuhan ekonomi, inflasi, defisit anggaran, dan defisit anggaran berjalan. Pengertian yang secara implisit dikatakan Presiden Jokowi tahun 2015 justeru jarang dikemukakan lagi.

Rangkaian tulisan beikut ini memakai pengertian yang lebih komprehensif dan telaah atas bagian-bagiannya bisa menggambarkan seberapa kuat fundamental ekonomi Indonesia. Penilaian atas fundamental ekonomi sedikitnya menjawab tiga pertanyaan utama dalam fakta dan dinamika perekonomian Indonesia. Pertama, APA saja barang dan jasa yang diproduksi selama beberapa tahun terakhir? Apakah produksi barang industri manufaktur meningkat (menunjukan proses produksi yang makin tak bergantung alam); Apakah produktifitas pertanian meningkat, terutama dalah hal menjamin kecukupan pangan seluruh rakyat?; Apakah jasa-jasa yang tumbuh kembang telah menunjang industrialisasi?; Apakah yang diproduksi cukup variatif dan ada yang menjadi andalan atau ciri utama perekonomian? Apakah barang dan jasa yang diproduksi dapat diperdagangkan (ekspor) cukup besar porsinya, sehingga dapat mencukupi kebutuhan pembayaran luar negeri?

Kedua, BAGAIMANA cara memproduksi berbagai barang dan jasa tersebut? Apakah penggunaan tenaga kerja sudah cukup optimal?; bagaimana efisiensi penggunaan modal?; apakah teknologi produksi berkembang cukup baik? Seberapa besar ketergantungan proses produksi kepada pihak luar negeri?; Apakah bergantung pada sedikit atau banyak jenis input? Sejauh apa porsi peran pemerintah? Bagaimana komposisi antar produsen dalam pelaku ekonomi, porsi BUMN, swasta domestik, dan swasta asing?   

UNTUK SIAPA saja barang dan jasa dibagikan? Bagaimana distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat?; Apakah kemiskinan telah tertangani dengan baik?; apakah hasil produksi bisa diekspor secara menguntungkan?; Seberapa banyak surplus yang dibawa ke luar negeri?
Jika di atas tadi sudah dikutipkan beberapa penjelasan otoritas ekonomi yang mengklaim kuatnya fundamental ekonomi Indonesia. Pandangan yang berkebalikan dapat diberikan, yang menilai fundamental ekonomi kita amat rapuh atau perekonomian sangat rentan terhadap goncangan eksternal. Selain argumen dari Anwar Nasution di atas, cara mengartikan fundamental tadi akan memberi penilaian yang berbeda pula. Sebagai contoh, dalam hal apa, akan tampak struktur produksi (PDB) belum lah kokoh; produksi pangan makin tidak mencukupi; industri pengolahan tak tumbuh dengan baik, sehingga hasilnya tak memenuhi berbagai kebutuhan utama. Dalam hal bagaimana, dapat dikemukakan antara lain: Pengangguran memang sedikit turun, namun separuh penduduk yang bekerja dalam kondisi rentan, posisinya tak aman, dan imbalan yang diperoleh jauh dari memadai; Ketergantungan pada faktor produksi yang berasal dari luar negeri makin menguat; peran pemerintah makin terkendala oleh kondisi keuangannya yang selalu dalam kesulitan; Peran BUMN kurang jelas arahnya, dan tak jarang menghambat perkembangan korporasi domestic; Kekuatan oligarki ekonomi makin dominan. Dalam hal untuk siapa, berdasar data dan indikator yang lebih menyeluruh dan detil, soalan kemiskinan dan ketimpangan justeru memburuk.

Atas dasar pemikiran tersebut, rangkaian tulisan berikut  akan bertemakan “Fundamental Ekonomi yang Rapuh”. Adapun topik masing-masing tulisan nanti adalah: 1) Pertumbuhan Ekonomi dan kualitasnya; 2) Kondisi ketenagakerjaan Indonesia; 3) Ketahanan ekonomi atas goncangan eksternal; 4) Beban utang Pemerintah dan Utang Luar Negeri; 5) Iklim investasi dan kemudahan berusaha; 6) Kondisi ketahanan pangan dan petani kecil; 7) Masalah kemiskinan dan ketimpangan belum teratasi.

Bersambung ke bagian 2

Senin, 18 Februari 2019

UTANG LUAR NEGERI BUMN MENINGKAT PESAT


Defisit Transaksi Berjalan makin membesar dan menjadi sumber kerentanan sektor eksternal perekonomian Indonesia. Meskipun Pemerintah dan Bank Indonesia selalu mengatakan masih aman dan terkendali, namun tetap diakui bahwa hal ini merupakan tantangan yang musti diwaspadai.

Kinerja Transaksi Berjalan, dan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) secara keseluruhan, sebenarnya tak dapat difahami jika hanya melihat kondisi dalam satu tahun, apalagi satu triwulan. Beberapa pos pada suatu tahun adalah akibat transaksi tahun-tahun sebelumnya, dan berdampak setelahnya. Sebagai contoh utama adalah yang terkait dengan transaksi utang luar negeri (ULN). ULN yang diperoleh pemerintah atau swasta pada suatu tahun akan membawa masuk devisa, yang tercatat dalam Transaksi Finansial pada NPI. Akan tetapi pada saat harus dilakukan pelunasan dan pembayaran bunga, maka akan tercatat pula sebagai arus ke luar.

Tentu saja dapat diperdebatkan hasil bersih dikaitkan dengan apakah utang itu berhasil meningkatkan ekpor. Bagaimanapun, akibat yang bersifat segera adalah hal yang disebut pertama. Oleh karenanya, otoritas ekonomi sering mewaspadai perkembangan ULN. ULN Pemerintah langsung bisa dikontrol, sedangkan ULN swasta diawasi dan berusaha dipengaruhi dengan berbagai kebijakan. Indonesia telah berpengalaman buruk di masa lampau mengenai ULN swasta yang tak terkontrol.

ULN swasta tercatat tumbuh kembali dengan cepat dan melampaui utang pemerintah lagi sejak tahun 2012. Lajunya sempat sedikit melambat, namun kembali bertambah cepat pada tahun 2018. Posisinya pada akhir Desember 2018 sebesar USD190,62 miliat, melampaui ULN Pemerintah dan Bank Indonesia yang sebesar USD186,22 miliar. ULN Pemerintah saja tercatat sebesar USD183,20 miliar.



ULN yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dicatat oleh Bank Indonesia sebagai utang swasta, yang posisinya cenderung meningkat selama 11 tahun terakhir, meski sempat turun dalam beberapa tahun. Peningkatan signifikan terjadi sejak tahun 2011, dan posisi pada akhir Desember 2018 sebesar USD43,94 miliar. Terlepas dari kebutuhan dan manfaatnya, ULN BUMN kemudian ikut memberi tekanan pada Transaksi Berjalan dan Neraca Pembayaran Indonesia, karena harus membayar bunga dan cicilan.

Dilihat dari porsinya, ULN BUMN kini mencapai 23,05% dari total ULN swasta. Bandingkan dengan kondisi pada tahun 2007 yang masih 6.51% dan tahun 2010 sebesar 10,19%.



Jika diperhatikan, pertumbuhan sepanjang tahun 2018 adalah yang paling pesat, sebesar 32,16% dibanding tahun sebelumnya. Pertumbuhan paling tinggi adalah pada BUMN yang bukan Lembaga keuangan, yakni sebesar 41,10%.  Sedangkan bank BUMN hanya bertambah 18,46%, dan BUMN Lembaga keuangan nonbank justeru turun.



Peningkatan ULN BUMN tak dapat dilepaskan dari penugasannya untuk mendukung pembangunan sektor prioritas, seperti infrastruktur. Pihak terkait sering menjelaskan pula bahwa kenaikan utangnya diikuti kenaikan aset, kinerja, dan nilai perusahaan.

Dilihat dari denominasi ULN, maka porsi dolar Amerika masih amat dominan, mencapai 89,70% dari total ULN swasta. Porsi ini mengalami peningkatan dibanding tahun-tahun sebelumnya, seperti tahun 2007 (85,91%) dan pada tahun 2012 (87,43%). Dilihat dari aspek ini, pengaruh kurs rupiah atas dolar justeru makin besar terhadap beban utang.

Jika dilihat dari jangka waktu peminjaman, maka ULN swasta berjangka pendek (kurang dari sama dengan setahun) kini memiliki porsi sekitar 26,58%. Porsi ini memang cenderung stabil selama sebelas tahun terakhir. Namun, porsi lebih dari seperempat utang itu memberatkan jika kondisi ekonomi memburuk mendadak. Terutama jika depresiasi rupiah cukup signifikan, sementara korporasi swasta (termasuk BUMN) tersebut tidak memproduksi barang atau jasa yang diekspor.

Secara umum, kondisi terkini dari ULN swasta memang masih jauh lebih baik dibandingkan tahun 1997/1998. Masih terlihat aman jika dilihat dari besarnya cadangan devisa, kinerja NPI, dan bahkan tekanan atas Transaksi Berjalan yang tengah terjadi. Bank Indonesia pun dengan percaya diri mengatakan tentang keseluruhan ULN sebagai terkendali dan berstruktur sehat. Namun, kewaspadaan otoritas ekonomi atas dinamika ULN tetap diperlukan mengingat kondisi global belakangan ini yang masih mungkin akan menyulitkan di waktu mendatang. ULN BUMN mustinya salah satu yang bisa segera dikendalikan.

Salah satu yang perlu diwaspadai adlah masalah bisa saja timbul dari korporasi swasta dan BUMN secara individual ataupun suatu industri. Salah satu faktor krusialnya adalah jika mereka memiliki ULN dalam denominasi dolar Amerika, namun produksinya dijual dalam rupiah di pasar domestik. 

Selasa, 12 Februari 2019

TRANSAKSI FINANSIAL BERDAMPAK PADA PENDAPATAN PRIMER


Selain Transaksi Berjalan, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) juga mencakup Transaksi Finansial. yang mencatat perubahan kepemilikan aset dan kewajiban finansial luar negeri Indonesia. Transaksi finansial terdiri dari transaksi dalam rangka investasi langsung (direct investment), investasi portofolio (portfolio investment), derivatif financial (financial derivatives), dan investasi lainnya (other investment).

Investor langsung berharap untuk mendapatkan manfaat dari hak suaranya dalam manajemen perusahaan atau memperoleh akses terhadap sumber daya atau pasar di negara domisili perusahaan afiliasinya. NPI mencatat berdasarkan prinsip aset dan kewajiban. Investasi langsung di sisi aset adalah investasi penduduk Indonesia di luar negeri dalam bentuk modal ekuitas dengan batasan tertentu dan dalam bentuk instrumen utang kepada pihak terkait bukan penduduk. Sebaliknya, investasi langsung di sisi kewajiban adalah investasi bukan penduduk pada perusahaan di Indonesia dalam bentuk modal ekuitas dengan batasan tertentu dan dalam bentuk instrumen utang (debt instruments). Batasan tertentu keduanya berupa minimal kepemilikan saham 10%.

Investasi langsung sejak tahun 2005 selalu mengalami surplus, artinya modal asing masuk lebih banyak dibanding yang keluar dan penduduk Indonesia yang berinvestasi keluar. Meski nilainya berfluktuasi, namun cenderung membesar. Surplusnya pada tahun 2018 memang mengalami penurunan dibanding tahun 2016 dan 2017, yaitu sebesar USD13,84 miliar.


Investor portofolio cenderung lebih bersifat spekulatif dibanding investasi langsung, karena tidak memiliki pengaruh yang cukup dalam perusahaan tempatnya berinvestasi. Transaksi investasi portofolio adalah atas surat berharga, baik di pasar perdana ataupun di pasar sekunder. Transaksi terjadi di pasar finansial terorganisasi, melalui bursa ataupun di luar bursa. Investor portofolio terutama menimbang keamanan investasi, kemungkinan apresiasi nilainyai, dan imbal hasil yang diperoleh. Jika kondisi atau keadaan berubah, investor portofolio dapat dengan mudah menggeser investasi mereka ke wilayah lain.

Secara tahunan, investasi portofolio selalu mengalami surplus selama belasan tahun terakhir. Surplus pada tahun 2018 sebesar USD9,34 miliar merupakan yang terendah sejak tahun 2013.



NPI bagian investasi portofolio saat ini mempublikasikan pula masing-masing aset dan kewajiban tadi sebagai suatu sisi atau neraca. Perhatian besar biasanya ditujukan kepada catatan kewajiban dalam investasi portofolio, karena mencerminkan “potensi” untuk keluar.  Sebagai contoh sisi ini adalah pembelian asing atas surat utang negara serta penjualan kembali oleh mereka kepada penduduk.

Sisi kewajiban dalam investasi portofolio secara tahunan selalu mengalami surplus. Dengan kata lain, arus masuk devisa dari investor asing selalu surplus, meski nilainya fluktuatif. Surplus pada tahun 2018 mencapai USD14,51 miliar. Bisa dikatakan bahwa tidak atau belum ada arus balik investor asing melalui investasi portofolio. Hanya perlu diwaspadai tentang nilai arus masuknya yang secara triwulanan sempat mengalami penurunan cukup signifikan selama tiga triwulan pertama, dan baru melonjak pada triwulan keempat tahun 2018.


Secara umum tampak bahwa dinamika investasi portofolio amat mempengaruhi keseluruhan Neraca Pembayaran Indonesia sekitar sepuluh tahun terakhir. Pengaruhnya makin menentukan beberapa tahun ke depan. Bagian neraca lainnya tampak lebih stabil, tidak mudah membaik atau memburuk dalam jangka pendek. Ditambah kemudahan teknis dari jenis transaksi ini berbalik arah atau sekurangnya melambat. Catatan tentang posisi dari nilai investasi portofolio sisi kewajiban dipublikasikan oleh Bank Indonesia dalam Posisi Investasi Internasional, yang terakhir pada akhir triwulan III 2018 sebesar USD247,95 miliar. Meski nyaris mustahil akan mendadak balik ke luar negeri sejumlah itu, namun nilainya bersifat potensial.   

Selain investasi langsung portofolio dan investasi portofolio, ada derivatif finansial yang defisit sebesar USD73,88 juta dan dan investasi lainnya yang surplus sebesar USD2 miliar, sehingga secara Transaksi Finansial secara keseluruhan selama tahun 2018 mencatat surplus (arus masuk lebih besar) sebesar USD25,11 miliar.

Transaksi finansial cenderung selalu surplus dengan nilai cukup besar selama beberapa tahun terakhir, sehingga dapat “mengkompensasi” defisit dari Transaksi Berjalan. Dengan demikian, NPI dapat dipertahankan surplus, dan cadangan devisa masih terus bertambah, kecuali pada tahun 2018.



Salah satu yang perlu difahami, transaksi fianansial yang selalu surplus memberi “tekanan” pula pada NPI. Modal asing yang masuk musti mendapat kompensasi keuntungan dan bunga, yang dicatat dalam Neraca Pendapatan Primer, sebagai salah satu bagian dari transaksi berjalan. Defisit pendapatan primer cenderung meningkat, meski sedikit turun pada tahun 2018 yang masih mencapai USD30,42 miliar.



Oleh karena itu, mengelola Neraca Pembayaran berarti membangun ketahanan eksternal, sekaligus menentukan fundamental perekonomian negara. Tidak bisa dan mustinya tak boleh berperspektif jangka pendek, dan menjadi tanggung jawab Bank Indonesia Bersama Pemerintah. Sejauh ini, publik makin teredukasi dengan soalan APBN (termasuk utang pemerintah), namun masih amat minim pengetahuan tentang soalan ini. Hiruk copras capres pun kurang menyentuh topik tersebut.

Senin, 11 Februari 2019

TRANSAKSI BERJALAN: AMAN ATAU RAWAN?


Bank Indonesia mengatakan, “Perkembangan NPI pada 2018 secara keseluruhan menunjukkan ketahanan sektor eksternal yang tetap terkendali. Defisit neraca transaksi berjalan masih berada dalam batas yang aman, sebesar USD31,1 miliar atau 2,98% dari PDB.” Pernyataan ini perlu diperiksa dengan mencermati angka-angka dalam Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), dan terutama dalam transaksi berjalannya.   

Transaksi berjalan mencatat keluar masuknya devisa akibat perdagangan (transaksi) barang dan jasa. Ada empat bagian cakupan, yang sebetulnya berbentuk neraca juga, yaitu: 1. Barang (Goods); 2. Jasa-Jasa (Services); 3. Pendapatan Primer (Primary Income); dan 4. Pendapatan Sekunder (Secondary Income).

Neraca Barang mencakup transaksi ekspor dan impor barang dagangan umum, baik komoditas migas maupun nonmigas. Neraca barang selama periode tahun 2004 sampai dengan tahun 2017 selalu mencatatkan surplus. Nilainya sempat cenderung meningkat pada tahun 2013 – 2017, meski masih jauh lebih rendah dibandingkan kurun 2004 - 2011. Jika dicermati, kenaikan ekspor memang tidak pesat dan cenderung tak stabil. Surplus neraca barang terjadi lebih dikarenakan laju pertumbuhan impor yang lebih rendah. Dan untuk pertama kalinya mengalami defisit pada tahun 2018, sebesar USD431 juta.



Neraca jasa-jasa antara lain mencakup ekspor dan impor jasa manufaktur, jasa pemeliharaan dan perbaikan, jasa transportasi, jasa perjalanan, jasa konstruksi, jasa asuransi, jasa keuangan, dan lain-lain. Neraca ini selalu mengalami defisit, dengan nilai berfluktuasi, terutama karena pembayaran freight terkait ekspor dan impor barang. Ketergantungan pada jasa transportasi negara lain sudah lama berlangsung. Begitu pula dengan jasa lainnya yang berterkaitan, seperti asuransi. Kita hanya mengalami surplus dalam hal jasa perjalanan, karena wisman yang berkunjung jauh lebih banyak dibanding orang kita yang bepergian ke luar negeri. Defisitnya pada tahun 2018 sebesar USD7,10 miliar.



Neraca Pendapatan Primer mencatat transaksi dari penyediaan faktor produksi tenaga kerja dan modal finansial. Ada arus masuk (inflow) berupa hasil yang diperoleh dari penyediaan tenaga kerja Indonesia atau modal finansial Indonesia kepada bukan penduduk. Sedangkan arus keluar (outflow) merupakan biaya yang harus dibayar Indonesia karena memanfaatkan tenaga kerja atau modal finansial asing. Pada tahun 2018, defisit pendapatan primer mencapai USD30,42 miliar.

Contoh dari transaksi yang memiliki porsi besar dalam neraca pendapatan primer yang bersifat outflow antara lain adalah: keuntungan dari investasi langsung asing, pembayaran bunga surat utang pemerintah, dan pembayaran bunga pinjaman luar negeri. Selama tahun 2018, transaksi ini berupa pembayaran kepada pihak luar negeri sebesar USD39,58 miliar.

Kenaikan pembayaran pendapatan primer terutama sebagai konsekwensi dari transaksi finansial yang selalu surplus, akibat arus modal finansial asing (termasuk utang) yang terus masuk ke Indonesia. Arus masuk itu memperbaiki neraca pembayaran dan menambah cadangan devisa pada tahun bersangkutan.  Namun, kompensasinya akan berupa pembayaran pada bagian neraca Pendapatan Primer pada waktu berikutnya.



Neraca Pendapatan Sekunder mencakup penerimaan dan pembayaran transfer berjalan oleh sektor pemerintah dan sektor lainnya, dan transfer dari tenaga kerja. Antara lain mencatat transfer dana dari tenaga kerja yang bekerja di luar negeri, dan sebaliknya dari tenaga kerja asing. Kondisinya selalu mengalami surplus, dan mencapai USD6,89 miliar pada tahun 2018. Surplus terutama disumbang oleh remitansi TKI, yang mencapai USD10,97 miliar.



Secara keseluruhan, Transaksi Berjalan selama kurun tahun 2004 - 2011 selalu surplus, dengan nilai berfluktuasi. Sejak tahun 2012, selalu mengalami defisit hingga mencapai rekor pada tahun 2018.




Meskipun Bank Indonesia menilai kondisi yang demikian masih aman dan terkendali, tampaknya bisa saja diartikan sebaliknya. Pandangan yang umum tentang ciri kuatnya ketahanan eksternal adalah kecenderungan transaksi berjalan yang mengalami surplus. Kecenderungan adalah kondisi sekitar 5 tahun atau lebih. Alasannya, surplus neraca yang menambah devisa itu bersumber dari produksi, bukan dari sesuatu yang menimbulkan kewajiban untuk dibayar seperti utang atau penanaman modal asing. Terjaganya kecukupan devisa berasal dari sumber-sumber yang fundamental, karena produksi barang dan jasa. Wajar jika selama beberapa triwulan atau satu-dua tahun mengalami defisit, sebagai bagian dari dinamika pasar. Namun, hal ini telah berlangsung selama 7 tahun berturut-turut dengan kecenderungan defisit yang membesar. Lebih mungkin untuk mengatakan ketahanan eksternal kita sebagai rawan atau rentan.

Sabtu, 09 Februari 2019

KEMISKINAN DAN KETIMPANGAN DI PERDESAAN CENDERUNG MEMBURUK


Pemerintah era Jokowi mengedepankan fakta penurunan angka kemiskinan disertai klaim sebagai prestasi luar biasa.  Begitu juga klaim tentang penurunan ketimpangan ekonomi dengan menyebut indeks gini yang turun. Namun, klaim tersebut perlu diuji dengan pencermatan lebih teliti atas data. Salah satunya tentang data kemiskinan dan ketimpangan di wilayah perdesaan.

Angka kemiskinan dan jumlah penduduk miskin memang turun pada tahun 2018 dibanding tahun 2014, namun fenomena berbeda terjadi pada kelompok sangat miskin. Salah satu dari lima pengelompokkan penduduk berdasar pengeluaran disebut sangat miskin. Sangat miskin adalah mereka yang memiliki pengeluaran dibawah 0,8 kali garis kemiskinan. Angka Sangat miskin biasanya hanya dipublikasi untuk kondisi Maret, karena data susenas yang memiliki sampel jauh lebih besar dibanding September. Penduduk sangat miskin bertambah dari 8.826 ribu menjadi 9.438 ribu orang, dan naik dari 3,57% menjadi 3,57% dari total penduduk. Dan khusus di perdesaan, mereka yang sangat miskin bertambah dari 5.833 ribu menjadi 6.018 ribu orang, dan secara persentasi dari 4,65% menjadi 5,17%.


Bertambahnya jumlah dan persentasi penduduk sangat miskin di perdesaan ini diperburuk oleh fakta tentang meningkatnya kedalaman dan keparahan kemiskinan. BPS menghitung dan menyajikan data tentang itu dengan memakai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1). Makin tinggi nilai P1, makin jauh rata-rata pengeluaran dari garis kemiskinan. P1 perdesaan perlahan terus memburuk, dari 2,25 (September 2014) menjadi 2,32 (September 2018).


Dalam hal distribusi diantara penduduk miskin, BPS memakai Indeks Keparahan Kemiskinan (P2). Semakin tinggi nilai indeks (P2), semakin terjadi ketimpangan antar penduduk miskin itu sendiri. P2 perdesaan perlahan memburuk, dari 0,57(September 2014) menjadi 0,62 (September 2018). Sebagian penduduk miskin di desa memiliki pengeluaran yang jauh lebih kecil dibanding penduduk miskin lainnya. Ini sejalan dengan P1 perdesaan yang juga memburuk, atau bertambahnya penduduk yang miskin sekali.  


Sebagaimana umum difahami, distribusi pendapatan merupakan salah satu aspek kemiskinan yang diakui penting dilihat sebagai ukuran kemiskinan relatif atau ukuran ketimpangan antar kelompok penduduk. BPS masih kesulitan memperoleh data pendapatan sehingga pengukuran distribusi pendapatan didekati memakai data pengeluaran. Perhitungan BPS tentang hal ini yang populer dan dikedepankan oleh Pemerintah adalah indeks Gini atau Gini Ratio. Sebenarnya, BPS menghitung dan mempublikasikan beberapa ukuran ketimpangan lainnya, seperti: Indeks Theil, Indeks-L, kriteria Bank Dunia, dan rasio kuintil tertinggi dengan terendah.

Indeks-L adalah indikator ketimpangan pengeluaran yang lebih sensitif untuk melihat perubahan distribusi pengeluaran penduduk pada kelompok bawah (penduduk miskin). Lebih sensitif itu maksudnya, perubahan porsi pada kelompok bawah lebih berdampak pada besaran angka indikator. Sebagai perbandingan, gini ratio lebih sensitif pada kelompok tengah. Indeks-L juga dibaca makin timpang jika makin besar. Indeks-L pada 2018 di perdesaan justeru sedikit meningkat, dari 0,165 menjadi 0,173.


BPS juga menghitung dan mempublikasikan distribusi pengeluaran penduduk menurut kriteria Bank Dunia. Antara lain, dihitung berapa porsi (%) 40% kelompok terbawah dari total pengeluaran penduduk. Berdasar ukuran ini, kondisi ketimpangan di perdesaan masih memburuk. Porsi 40% penduduk terbawah di perdesaan berkurang dari 20,94% (2014) menjadi 20,15% (2018).


Indikator lainnya dari BPS tentang ketimpangan adalah melihat porsi kuintil terbawah dan rasio dari kuintil teratas dibanding yang terbawah. Basis datanya serupa dengan kriteria Bank Dunia dari BPS. Penduduk dibagi menjadi lima kelompok pengeluaran (satu kuintil sama dengan 20% penduduk), mulai dari kuintil terendah (Q1) sampai dengan kuintil tertinggi (Q5). Jika rasio dari Q5/Q1 makin besar berarti ketimpangan pendapatan/pengeluaran semakin tinggi.

Sebagai contoh perhitungan kondisi Maret 2018 di perdesaan, Q1 memiliki porsi 7,98% dari total pengeluaran, sedangkan Q5 memiliki porsi 40,26%. Rasio Q5 dibagi Q1 adalah 5,05. Dapat dibaca, 20% penduduk teratas memiliki pengeluaran 5,05 kali lipat dari 20% yang terbawah. Kondisi itu lebih buruk dibanding Maret 2014, porsi Q1 sebesar 8,70%. Jatah mereka yang terbawah makin tergerus. Sedangkan rasio Q5/Q1 mengalami kenaikan, dari 4,67(2014), atau ketimpangan di perdesaan meningkat.


Dengan demikian, selama periode 2014 hingga 2018, sebagian ukuran tentang kemiskinan dan ketimpangan di perdesaan memang membaik. Namun, sebagian besar ukuran lainnya justeru memburuk.

Minggu, 03 Februari 2019

PENDAPATAN NEGARA DAN TAX RATIO

Realisasi pendapatan negara yang berhasil melampui target APBN 2018 menjadi satu hal yang dibanggakan oleh Kementerian Keuangan kini. Setelah keterangan pers terkait, dikemukakan kembali dalam dokumen APBN KITA edisi terbaru disertai narasi bernuansa klaim kinerja yang sangat baik. Disebutkan bahwa untuk pertama kalinya sejak tahun 2011, realisasi pendapatan negara berhasil melampui target yang ditetapkan dalam APBN (102,5%).  

APBN KITA juga mengatakan: “Sepanjang tahun 2018, penerimaan pajak mencapai Rp1.315,9 triliun, atau tumbuh 14,3% (15,5 % di luar Tax Amnesty). Capaian pertumbuhan di tahun 2018 ini merupakan yang tertinggi dalam tujuh tahun terakhir.”

Ada baiknya kita mencermati lebih jauh tentang capaian pendapatan negara tahun 2018 serta capaian beberapa tahun era Presiden Jokowi. Capaian 102,5% itu memang lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya selama era pemerintahan Jokowi, namun secara rata-rata era ini justeru lebih rendah. Sebagaimana yang tampak pada gambar.


Pada tahun 2018, pendapatan negara yang betul-betul jauh melampaui target adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang mencapai 147,79%. PNBP yang meningkat pesat disebabkan penerimaan Sumber Daya Alam (SDA). Penerimaan SDA mencapai Rp181,06 triliun atau 174,65% dari targetnya, dan mengalami pertumbuhan sebesar 62,93% dari capaian tahun 2017. Penerimaan SDA migas mencapai 178,31% dari target, ditambah Penerimaan SDA Minerba yang mencapai 169,72% dari target. Kenaikan penerimaan SDA Migas tersebut terutama disebabkan karena realisasi harga migas (ICP) sebesar USD67,47 per barel jauh melampaui asumsi APBN yang sebesar USD48 per barel.

Telah menjadi pengetahuan umum, ICP bukan lah sesuatu yang dapat dikelola oleh Pemerintah. Pemerintah bahkan mengakui bahwa hal ini disebut sebagai windfall atau semacam durian runtuh. Bukan prestasi kinerja yang perlu dibanggakan secara berlebihan. “Keberuntungan” lain adalah realisasi kurs rupiah sebesar Rp14.247 per USD, sedangkan asumsinya Rp13.400. Selisih berupa pelemahan ini cukup signifikan menaikkan pendapatan, melalui berbagai pos. Dan meski berpengaruh pula pada belanja, secara neto tetap berdampak positif atau menambah surplus.

Selama empat tahun era Presiden Jokowi, faktor penerimaan SDA ini sempat berdampak buruk pada tahun 2015 dan 2016, sehingga tidak mencapai target. Kemudian pada tahun 2017 dan 2018 berbalik arah memberi keberuntungan dan melampaui target. Pencapaian penerimaan SDA dibanding targetnya berturut-turut adalah: 84,91% (2015) 71,70% (2016), 116,19% (2017), dan 174,65% (2018).

Penerimaaan pajak (tidak termasuk bea dan cukai) memang mengalami peningkatan yang signfikan dibanding tahun sebelumnya. Bahkan kenaikannya tertinggi selama tujuh tahun terakhir. Meskipun demikian, hanya mencapai 92,41% dari target. Dan khusus pajak penghasilan, yang bisa dikatakan membutuhkan upaya atau effort paling besar dari aparat fiskus, penerimaan hanya mencapai 87,88% dari target. Jika ditelisik lebih dalam, capaian itu amat terbantu dari PPh migas yang jauh melampaui target, yang kembali karena diuntungkan oleh fenomena harga ICP dan kurs rupiah. Sedangkan PPh nonmigas hanya mencatatkan capaian sebesar 84,06%.

Bagaimanapun, penerimaan perpajakan cenderung mengalami kenaikan selama periode 2015-2018. Capaian dari target APBN pun terus membaik. Capaiannya masih lebih rendah dibanding target APBN pada tahun bersangkutan, yaitu: 83,29% (2015), 83,48% (2016), 91,23% (2017), dan 94,02% (2018). Khusus capaian penerimaan pajak dilaporkan lebih rendah, diimbangi oleh capaian penerimaan bea dan penerimaan cukai yang cukup tinggi.


Dinamika penerimaan pajak, penerimaan perpajakan dan penerimaan SDA ini digambarkan pula oleh apa yang disebut sebagai tax ratio. Pengertian aslinyanya adalah rasio penerimaan pajak terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Dalam konteks APBN Indonesia penerimaan pajak diperluas menjadi penerimaan perpajakan (pajak, bea dan cukai), karena ada pemisahan bagian birokrasi yang mengelolanya, yaitu ditjen Pajak dan ditjen Bea Cukai dalam Kementerian Keuangan. Sedangkan PDB merupakan indikator pendapatan nasional, yaitu pendapatan atau produksi seluruh pelaku ekonomi (pemerintah, korporasi, dan rakyat) dalam wilayah domestik negara Indonesia. Sebagai contoh, dalam perhitungan realisasi sementara APBN tahun 2018 dicatat penerimaan perpajakan sebesar Rp1.521,4 triliun. Sedangkan PDB diprakirakan sebesar Rp14.735,85 triliun (PDB). Maka rasio dinyatakan dalam persentase adalah sebesar 10,32%.

Sejak APBN 2016, definisi rasio yang demikian mengalami perubahan. Menkeu mengusulkan dan diterima oleh DPR, menambahkan penerimaan SDA, baik migas maupun nonmigas yang sebenarnya tercatat sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam APBN. Contoh perhitungannya untuk realisasi sementara tahun 2018 adalah penerimaan SDA sebesar Rp181,06 triliun, yang jika ditambahkan dengan penerimaan perpajakan sebesar Rp1.521,4 triliun tadi, maka jumlahnya menjadi Rp1.702,45 triliun. Sehingga rasionya dengan PDB menjadi 11,55%.

Semula perhitungan baru ini dikenalkan dengan istilah tax ratio dalam arti luas, sedangkan yang lama atau dijelaskan pertama disebut sebagai tax ratio dalam arti sempit. Belakangan, Pemerintah nyaris tak pernah menyebut yang dalam arti sempit lagi.

Tidak ada masalah dengan perubahan definisi, dan bagaimanapun semua penerimaan itu merupakan kinerja Pemerintah. Hanya saja jika mau membandingkan untuk kurun waktu yang panjang, perlu dilakukan secara fair, dengan pengertian yang serupa. Jika mengutip berita media, yang memberitakan keterangan pejabat, biasanya kurang jelas tentang hal ini. Apalagi jika keterangan pers atau dokumen pemerintah agak “menyamarkan”, maka bisa saja dikatakan bahwa tax ratio 2018 mencapai 11,55% telah melampaui tahun 2014 yang sebesar 11,40%. Padahal angka tahun 2014 itu dalam arti sempit, sedang yang 2018 dalam arti luas. Perbandingannya yang fair, tax ratio dalam arti sempit adalah 10,32% (2018) berbanding dengan 11,40% (2014). Sedangkan tax ratio dalam arti luas adalah 11,55% (2018) berbanding dengan 13,7% (2014).


Dalam definisi manapun, tax ratio mengalami penurunan jika membandingkan tahun 2018 dengan 2018. Harus diakui, kondisi pendapatan negara, penerimaan perpajakan, dan tax ratio tahun 2018 membaik dibanding tahun 2015 hingga tahun 2017. Namun narasi seolah prestasi kerja yang sangat baik apalagi luar biasa, jelas berlebihan.