Kamis, 10 November 2016

GUBERNUR BASUKI MENGELOLA APBD LEBIH BURUK DIBANDINGKAN GUBERNUR JOKOWI

Joko Widodo (Jokowi) dilantik sebagai gubernur DKI Jakarta pada tanggal 15 Oktober 2012, dan Basuki Tjahaya Purnama (Basuki) dilantik pada tanggal 19 Nopember 2014. Meskipun Jokowi menandatangani Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun 2012, yang didalamnya tercakup laporan realisasi APBD, namun yang bisa menggambarkan pengelolaan dibawah kepemimpinannya adalah LKPD tahun 2013. Basuki yang sebenarnya sudah menjalankan fungsi sebagai gubernur sebelum dilantik pun demikian, LKPD tahun 2015 lebih representatif baginya.

LKPD keduanya diperiksa oleh BPK dan diberi opini Wajar dengan Pengecualian (WDP). Meskipun sama-sama WDP (suatu predikat dibawah wajar tanpa pengecualian), pengecualian yang menjadi dasar opini berbeda. Gubernur Basuki antara lain diberi catatan mengenai penyajian piutang pajak PBB-P2, perhitungan tagihan PKB, piutang lainnya, dan risiko salah saji saldo aset tetap. Dan banyak catatan mengenai sistem pengendalian internal yang tidak memadai. Bahkan ada catatan tentang yang perlu ditindaklanjuti dengan pemeriksaan secara hukum karena berindikasi kerugian daerah. Sedangkan pada tahun 2013, catatannya lebih sedikit, antara lain mengenai pelaksanaan sensus atas aset tetap yang kurang memadai dan beberapa bukti pengeluaran dari realisasi belanja. 
  
Pendapatan Daerah pada tahun 2013 mencapai Rp39,52 triliun atau 96,86% dari target. Pada tahun 2015 mencapai Rp44,21 triliun atau hanya 78,51% dari target. Capaian tahun 2015 memang lebih tinggi, namun kenaikan itu adalah wajar antara lain karena pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi. Kenaikan realisasi pendapatan daerah 2015 dibanding setahun sebelumnya justeru hanya sebesar 0,88%. Sedangkan kenaikan tahun 2013 dibanding tahun 2012 adalah sebesar 11,70%

Pendapatan Asli Daerah (PAD) tahun 2013 mencapai Rp26,85 triliun atau 102,08% dari target. Pada tahun 2015 mencapai Rp33,69 triliun atau hanya 88,73% dari target.  Capaian tahun 2015 memang lebih tinggi, dan naik sebesar 7,71% dibandingkan setahun sebelumnya. Akan tetapi kenaikan tahun 2013 atas tahun 2012 jauh lebih tinggi, yakni sebesar 21,83%.


Dengan kata lain, gubernur Basuki tidak berhasil mengoptimalkan pendapatan daerah pada tahun 2015. Kinerjanya lebih buruk jika dibandingkan dengan gubernur Jokowi pada tahun 2013.


Belanja Daerah secara total pada tahun 2013 mencapai Rp38,30 triliun atau 87,75% dari target, sedangkan pada tahun 2015 mencapai Rp42,66 triliun atau hanya 71,96% dari target. Dalam hal belanja operasi, realisasi tahun 2013 mencapai Rp27,59 triliun atau 87,75% dari yang dianggarkan, sedangkan pada tahun 2015 mencapai Rp32,42 triliun atau 79,48%. Yang menarik, kenaikan belanja pada tahun 2013 atas tahun sebelumnya naik secara cukup berimbang antara kenaikan total belanja, belanja operasi dan belanja modal. Sedangkan pada tahun 2015, kenaikan belanja total dari tahun sebelumnya hanya disumbang oleh belanja operasi. Belanja Operasi adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari Pemerintah Daerah yang memberi manfaat jangka pendek, meliputi Belanja Pegawai, Belanja Barang, Belanja Bunga, Belanja Subsidi, Belanja Hibah.

Sementara itu, belanja modal pada tahun 2013 mencapai Rp10,70 triliun atau 71,88% dari target, dan pada tahun 2015 mencapai Rp10,24 triliun atau 55,60%. Tampak bahwa realisasi belanja modal tahun 2015 lebih rendah sekitar Rp452 milyar dibanding tahun 2013. Suatu kondisi yang tidak lazim, padahal total belanja dan belanja operasional mengalami kenaikan yang cukup besar. Perlu dicatat pula bahwa Belanja modal tahun 2015 sebenarnya dianggarkan cukup besar dan jauh melampaui tahun 2013, namun tidak berhasil direalisasikan.

Belanja Modal adalah belanja yang digunakan untuk pembelian/pengadaan aset tetap dan aset lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan seperti perolehan tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya.

Dengan kata lain, gubernur Basuki tidak berhasil mengoptimalkan belanja daerah pada tahun 2015. Kinerjanya lebih buruk jika dibandingkan dengan gubernur Jokowi pada tahun 2013.


Dalam hal pengelolaan dan kinerja gubernur Basuki dalam keuangan daerah yang kurang baik, ada pandangan yang “menyalahkan” dua pihak lain, yaitu: pihak DPRD dan pihak aparatur Pemda (selain Gubernur). Tentu saja public dapat bertanya, bukankah DPRD nya masih sama dengan era gubernur Jokowi? Sedangkan aparatur Pemdanya sebagian besar masih sama, dan jika ada yang diganti, bukankankah itu justeru pilihan gubernur Basuki?

Kamis, 03 November 2016

ASET TETAP DKI JAKARTA BELUM DIKELOLA SECARA BAIK

Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama meminta agar semua aset Pemerintah Provinsi DKI Jakarta didata. Bahkan, aset senilai Rp 300.000 juga tidak boleh terlewati. "Agar semua dilakukan pencatatan, yang sudah keluar dana Rp 300 ribu pun itu bisa dicatat sebagai aset," ujarnya saat rapat pimpinan di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Senin 20 Juni 2016. (http://megapolitan.kompas.com/read/2016/06/20/15564131/ahok.minta.semua.aset.dki.sekecil.apa.pun.didata, diakses tanggal 3 Nopember 2016 pukul 14.51). Beberapa bulan sebelumnya, beliau juga meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menelusuri aset-aset DKI yang beralih ke pihak ketiga. "Saya ingin mereka cek duitnya ngalir ke siapa saja," kata Basuki, di Balai Kota, Rabu 13 Januari 2016. (http://megapolitan.kompas.com/read/2016/01/13/15485781/Ahok.Minta.KPK.dan.PPATK.Telusuri.Aset.DKI.agar.Tidak.Beralih.ke.Pihak.Lain diakses tanggal 3 Nopember 2016 pukul 14.56) 

Aset yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah DKI Jakarta antara lain dapat dilihat dalam Neraca Daerah yang merupakan bagian dari Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), yang disampaikan oleh Gubernur setiap tahun. LKPD tahun anggaran 2015 yang telah diaudit (audited) dalam Neraca Daerah menyatakan bahwa per tanggal 31 Desember 2015, total aset Pemda DKI Jakarta bernilai sekitar 421 triliun rupiah. Terdiri dari lima macam aset: 1. Aset lancar sebesar Rp 17.450 miliar; 2. Investasi jangka panjang sebesar Rp 22.508 miliar; 3. Aset tetap sebesar Rp 334.403 miliar; 4. Dana cadangan sebesar Rp 1.046 miliar; dan 5. Asset lainnya sebesar Rp 45.654 miliar.

Aset terbesar berupa aset tetap yang dilaporkan sekitar Rp 363.585 miliar. Terdiiri dari: Tanah Rp 284.069 miliar, Peralatan dan Mesin Rp 18.987 miliar, Gedung dan Bangunan Rp 24.170 miliar, Jalan, Irigasi, dan Jaringan Rp 32.309 miliar, Aset Tetap Lainnya Rp 1.423 miliar, Konstruksi Dalam Pengerjaan Rp 2.630 miliar. Selama satu tahun itu diperhitungkan pula akumulasi penyusutan aset tetap senilai Rp 29.181 miliar, yang merupakan akumulasi penyusutan dari: Peralatan dan Mesin; Gedung dan Bangunan; Jalan, Irigasi, dan Jaringan; serta Aset Tetap Lainnya.

Pertumbuhan nilai aset bisa dikatakan amat lambat, dan cenderung stagnan. Aset selama enam tahun hanya naik sekitar 6,43%, dari Rp 395,62 triliun (31 Desember 2009) menjadi Rp 421,06 triliun (per 31 Desember 2015). Bahkan, nilai aset tahun 2015 lebih kecil dibanding tahun 2014.

Aset tetap (setelah dikurangi akumulasi penyusutan) selama enam tahun justeru berkurang nilainya. Dari Rp366,91 triliun (31 Desember 2009) menjadi Rp334,40 triliun (31 Desember 2015). Penurunan cukup signifikan terjadi  pada tahun 2015 dibandingkan tahun 2014.
      Sumber: LKPD DKI Jakarta, 2015

Tentu saja tidak selalu menjadi masalah apabila nilai aset tetap menjadi lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Asalkan memang sesuai dengan fakta apa adanya, telah dikelola dan dicatat sesuai aturan yang berlaku, serta tidak ada (indikasi) penyimpangan atau penyalahgunaan. Antara lain bisa disebabkan karena adanya penyusutan pada bangunan, mesin, peralatan dan lainnya. Sementara itu ada hal lain pula yang membuat nilai buku aset tetap bisa tidak bertambah. Sebagai contoh, nilai tanah dicatat sesuai harga perolehannya.

Hanya saja, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah memberi beberapa catatan atas pengelolaan aset tetap Pemda DKI Jakarta dibawah kepemimpinan gubernur Basuki.  Dalam pemeriksaan atas LKPD tahun 2015 dikatakan antara lain bahwa “Pengelolaan Aset Belum Memadai serta Pencatatan dan Pelaporan Aset Tetap Tidak Melalui Siklus Akuntansi dan Tidak Menggunakan Sistem Informasi Akuntansi”. BPK menilai bahwa “Tindak Lanjut Rekomendasi BPK atas Temuan Pemeriksaan Sebelumnya Belum Tuntas.”

Dilaporkan pula bahwa Inventarisasi Lima Tahunan (Sensus) Barang Milik Daerah tahun 2013 yang belum seluruhnya ditindaklanjuti. Hasil Pemeriksaan BPK Nomor 18.B/LHP/XVIII.JKT-XVIII.JKT.2/06/2014 tanggal 19 Juni 2014 menunjukkan bahwa pelaksanaan sensus tersebut tidak cukup memadai untuk menjawab tujuan sensus yaitu untuk menghasilkan data aset yang andal dan lengkap, baik mengenai jumlah, spesifikasi, keberadaan fisik, kondisi aset serta status kepemilikan maupun daya guna sebagai bentuk dari pengamanan aset berupa penambahan aset hasil sensus senilai Rp33,83 triliun dan pengurangan aset hasil sensus senilai Rp32,32 triliun.

Dalam LHP BPK RI Nomor 13.B/LHP/XVIII.JKTXVIII. JKT.2/06/2015 tanggal 17 Juni 2015, BPK kembali melaporkan kelemahan sistem pengendalian intern yang perlu mendapat perhatian pihak Pemprov DKI Jakarta terkait Aset Tetap antara lain: a) Pembukuan atas BMD belum dilakukan secara optimal; b) Hasil Pemeriksaan BPK Tahun 2014 tentang Inventarisasi Lima Tahunan (Sensus) Barang Milik Daerah yang tidak memadai pada Tahun 2013 belum seluruhnya ditindaklanjuti; c) Laporan Barang Milik Daerah Semesteran dan Tahunan belum dibuat; d) Aplikasi Sistem Informasi Barang Daerah belum memadai; e) Pencatatan Kartu Inventaris Barang tidak akurat dan transparan; f) Barang atau aset tetap tidak dibubuhi atau ditempeli label kode barang; g) Realisasi pekerjaan yang masih berupa perencanaan dicatat sebagai Aset Tetap; h) Realisasi Belanja Barang dan Jasa seharusnya dianggarkan di Belanja Modal; i) Terdapat realisasi Belanja Pemeliharaan Tahun 2014 yang di dalamnya merupakan Belanja Pemeliharaan yang menambah masa manfaat tetapi tidak dikapitalisasi ke dalam Aset Tetap; dan j) Pengamanan bukti kepemilikan berupa sertifikat tanah oleh BPKAD belum optimal.

Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan kepada Gubernur DKI Jakarta (Basuki Tjahaja Purnama) antara lain agar: a) Membentuk tim aset berdasarkan SK Gubernur yang melibatkan seluruh SKPD/UKPD terkait untuk melakukan penertiban pengelolaan aset Provinsi DKI Jakarta secara komprehensif dan menyeluruh meliputi kegiatan antara lain perencanaan kebutuhan, pengadaan, pemanfaatan, pengamanan, pemeliharaan, penilaian, penghapusan, dan penatausahaan aset sesuai ketentuan berlaku; b) Memerintahkan Kepala BPKAD untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh tentang sistem akuntansi dan pelaporan aset barang milik daerah dengan membangun grand design sistem informasi dan penatausahaan aset barang milik daerah yang terintegrasi dengan SIPKD; dan c) Menginstuksikan kepada Kepala BPKAD untuk membuat database kepemilikan tanah berupa dokumen dan obyek/fisik tanahnya secara digital untuk seluruh aset tanah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta serta membuat monitoring atas bukti fisik sertifikat tanah yang digunakan oleh masing-masing SKPD/UKPD.

Pemprov DKI memang telah memperhatikan rekomendasi BPK tersebut, dan melakukan beberapa tindak lanjut, antara lain: a) Membentuk Kantor Pengelola Aset Daerah (KPAD) di setiap wilayah kota dan kabupaten administrasi; b) Pengembangan sistem informasi aset tetap; c) Pelaksanaan inventarisasi aset tetap di seluruh SKPD. Namun, tindaklanjut tersebut tidak memadai, serta masih menyisakan beberapa persoalan. Sebagai contoh, Pemprov DKI Jakarta telah mengembangkan Sistem Informasi Aset (e-Aset) untuk penatausahaan aset daerah pada Tahun 2014 dan hingga saat ini masih dalam proses pengembangan. Aplikasi e-Aset merupakan aplikasi yang berbasis web. Masing-masing user pada setiap SKPD dapat melakukan input pada http://aset.jakarta.go.id. Sistem ini belum digunakan dalam penyusunan laporan keuangan Tahun 2015. Sedangkan Pelaksanaan inventarisasi aset berpedoman pada Instruksi Gubernur Nomor 187 Tahun 2015 tentang Percepatan Peningkatan Akuntansi Pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD) yang mulai dilaksanakan pada September 2015 dan direncanakan selesai pada Desember 2016. Hingga saat ini, pelaksanaannya masih tersendat dan sangat mungkin tidak selesai dengan baik pada waktunya.

Meskipun demikian, Pemeriksaan BPK hingga semester pertama tahun 2016 masih memberi catatan penting yang menguatkan masih belum baiknya pengelolaan aset tetap. Contohnya: 1) Tanah dan/ atau bangunan milik Pemprov DKI Jakarta senilai Rp8,11 triliun dalam sengketa/dikuasai/ dijual pihak lain: 2)Kepemilikan aset tidak didukung bukti yang sah. Aset tanah yang belum bersertifikat atas nama Pemprov DKI Jakarta minimal seluas 17.392.884m² senilai Rp98,88 triliun. Permasalahan ini mengakibatkan aset tanah milik Pemprov DKI Jakarta rawan dituntut oleh pihak lain yang dapat merugikan Pemprov DKI Jakarta.

Berbagai aspek teknis dan rinci tentu saja memerlukan pemeriksaan silang semua pihak, tidak hanya BPK. Gubernur dan seluruh aparat pemda DKI Jakarta yang terkait pun musti memiliki kemauan dan upaya menjelaskan kepada publik yang lebih luas. Yang tidak kalah pentingnya, mengelola aset negara bernilai ratusan triliun rupiah memerlukan sistem (dan tata kelola), bukan bertumpu pada kebijakan satu atau beberapa orang pemimpin saja. Sistem dan tata kelola yang baik, transparan, akuntabel dan patuh pada aturan. Salah satu kuncinya adalah sistem pengendalian internal, yang  dinilai BPK juga masih belum memadai untuk tahun 2015.

Bagaimanapun, publik berhak tahu kenapa nilai aset DKI Jakarta menurun, khususnya nilai aset tetap. Dan sebagaimana yang dikatakan pak Gubernur Basuki sendiri, nilai sekecil apa pun harus tercatat, dan jika ada yang beralih ke pihak ketiga, musti ditelusuri. Pengelolalan aset bahkan bukan hanya soal pengamanan saja, melainkan seberapa bermanfaat untuk rakyat selama ini. Apakah manfaatnya masih bisa ditingkatkan di masa depan, terlepas dari siapapun gubernurnya.


Selasa, 01 November 2016

GUBERNUR PERTAHANA PERLU MENJELASKAN MENGAPA BELANJA HIBAH DAN BANTUAN SOSIAL DKI JAKARTA MEMBENGKAK PADA TAHUN 2016

“Hibah dan bansos merupakan instrumen yang penuh risiko. Bentuk risiko terkait hibah dan bansos dapat berupa penyalurannya tidak tepat sasaran, atau bahkan fiktif. Apalagi risiko hibah dan bansos disalahgunakan untuk pemenangan kepala daerah apabila penyalurannya bersamaan dengan pelaksanaan pilkada,” kata Binsar H. Simanjuntak, Deputi Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Bidang Polhukam. Binsar menyampaikan itu dalam Focus Group Discussion (FGD) Penguatan Tata Kelola Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD dalam Rangka Efektivitas Penggunaan Keuangan Negara pada 19 Mei 2016 lalu, di kantor BPKP pusat. Dalam kesempatan yang sama, Dadang Kurnia, Deputi Kepala BPKP Bidang Penyelenggaraan Keuangan Daerah juga mengingatkan, “hibah dan bansos memang berisiko tinggi, dan perlu ditangani oleh sistem yang baik, orang yang kompeten mengimplementasikan sistem tersebut karena keduanya tidak bisa dipisahkan.”

Belanja Hibah adalah Pemberian bantuan dalam bentuk uang/barang/jasa kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya. Belanja Bantuan Sosial adalah pemberian bantuan dalam bentuk uang/barang/jasa kepada kelompok/anggota masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bantuan ini tidak dapat diberikan secara terus menerus/tidak berulang, selektif dan memiliki kejelasan peruntukan penggunaannya.

Berdasar LKPD DKI Jakarta tahun 2015, serapan belanja menurut jenisnya yang tertinggi adalah pada belanja Hibah sebesar 96,20%, dan belanja Bantuan sosial sebesar 99,96%. Total keduanya secara nominal dianggarkan sebesar Rp 3.873,26 miliar, dan direalisasikan sebesar Rp 3.804,55 miliar (98,22%). Realisasi secara nominal maupun persentase dari target yang lebih besar dibandingkan masing-masing dari belanja tanah atau belanja peralatan dan mesin atau belanja jalan, irigasi dan jaringan.



Kedua jenis belanja ini tidak memerlukan lelang, melainkan merujuk kepada penetapan APBD, serta ada yang kemudian dirinci oleh Keputusan Gubernur. Perlu diketehui bahwa tingkat serapan seluruh Belanja dan Transfer tahun 2015 hanya 72,10%, dan khusus Belanja Modal hanya hanya 55,60%. 

APBD DKI Jakarta tahun 2016 telah menetapkan Belanja Hibah sebesar Rp 2.550,50 miliar dan Belanja Bantuan Sosial sebesar Rp 2.524,19 miliar, naik pesat dibanding tahun 2015. Sementara itu, Belanja Modal justeru dianggarkan turun dari Rp 18.425,71 miliar menjadi Rp 16.182,96 miliar. Kedua jenis belanja ini bertambah lebih banyak dibanding kenaikan total belanja yang hanya naik sangat sedikit dari Rp 59.284,37 miliar menjadi Rp 59.945,52 miliar. Khusus Belanja Hibah naik sebesar 42,87 persen, terbilang fantastis.



Jika dilihat catatan tahun-tahun sebelumnya, memang belanja Hibah pernah dianggarkan lebih besar, yakni sebesar Rp 2.714,82 miliar pada tahun 2014. Namun secara prosentase dari total belanja sama-sama sekitar 4,26%. Dan kemudian realisasi belanja Hibah pada tahun 2014 ternyata hanya 53,85% dari yang ditetapkan. Sedangkan pada tahun 2016, dari proyeksi berdasar informasi realisasi sementara tampaknya akan melebihi 95% dari target.

Yang menarik adalah pemberitaan dalam http://ahok.org/berita/news/ahok-tanyakan-dana-hibah-wagub-jawab-ngga-tahu/ (diakses pada 19 Oktober 2016 pukul 23.30) diberitakan bahwa  Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto kesulitan menjawab pertanyaan calon wakil gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, tentang dana hibah dalam APBD DKI Jakarta 2012. Dikatakan bahwa Ahok menyatakan bahwa tidak masuk akal bila ada peningkatan signifikan dalam pos dana hibah dan bantuan sosial pada APBD tahun ini. Apalagi, kenaikan ini berbarengan dengan agenda Pilkada DKI Jakarta. “Nah kalau tahun ini, Rp 1,4 triliun tidak ada kegiatan. Ini lebih cenderung untuk kegiatan Pilkada atau apa? Itu yang saya tanyakan pada Pak Prijanto dan beliau mengaku tidak tahu sama sekali. Kalau tahun lalu saja sudah susah jawab, apalagi tahun ini,” ujar Ahok.

Pertanyaan yang sama bisa ditujukan kepada Ahok saat ini. Apalagi pembahasan RAPBD 2017 sejauh ini justeru menurunkan kembali dana Hibah. Mengapa dana Hibah (bisa ditambahkan dengan bansos) meningkat amat pesat tahun 2016 yang bersamaan dengan Pilkada?