Sabtu, 22 Agustus 2009

PILIHAN GARIS KEBIJAKAN MEWUJUDKAN KEADILAN EKONOMI

PILIHAN GARIS KEBIJAKAN MEWUJUDKAN KEADILAN EKONOMI
Oleh: Awalil Rizky


Pendekatan sederhana untuk mengukur keadilan ekonomi dalam suatu negara adalah dari tingkat pendapatan setiap orang/keluarga dan distribusi diantara mereka. Sayangnya, tidak tersedia data yang lengkap dan memadai di Indonesia. Meskipun ada data upah untuk beberapa industri manufaktur, ada data nilai tukar petani, ada upah minimum regional, dan lain-lain, namun belum akurat dan bersifat by name by addres. Direktorat jenderal Pajak masih berjuang agar semua penduduk dewasa memiliki NPWP, dan akan butuh waktu lebih lama lagi agar membayar pajak penghasilan bisa juga berarti membayar secara negatif (disubsidi). BPS menyebut angka kemiskinan dan jumlah keluarga tidak sejahtera, tetapi tidak bisa menunjukkan secara jelas siapa saja dan dimana mereka tinggal.

Data terkait untuk menggambarkan pendapatan yang paling banyak dipakai Pemerintah dan para ekonom adalah yang bersifat makro, yakni Produk Domestik Bruto (PDB). Definisi singkat dari PDB adalah nilai pasar semua barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam suatu perekonomian (negara) selama kurun waktu tertentu (satu tahun).

Barang dan jasa yang diproduksi di Indonesia sendiri terdiri dari jutaan jenis. Ada barang yang berasal dari produksi pertanian, industri pengolahan, dan dari penggalian. Bisa berasal dari lahan petani kecil, produksi rumah tangga, maupun dari produksi perkebunan besar dan industri yang bersifat korporasi. Macam jasa pun demikian, mulai dari jasa pedagang kecil sampai dengan jasa konsultan keuangan bagi korporasi. Praktis, perhitungannya hanya dimungkinkan melalui penyamaan satuan hitungnya, yaitu mata uang.

Secara teoritis, bisa ditelusuri kemana perginya seluruh barang dan jasa yang diproduksi, yang dalam pengertian sehari-hari adalah dibeli oleh siapa saja. Sebagai catatan, ada sebagian yang dianggap dibeli oleh produsennya sendiri. Dari sudut pandang pihak pembeli, nilai yang dibayarnya adalah pengeluaran, sehingga PDB bisa pula dilihat sebagai pengeluaran total dalam suatu perekonomian. Secara otomatis tercermin sisi lainnya, yakni sebagai penghasilan total dari setiap orang. Kedua sisi PDB tersebut memiliki jumlah yang sama, karena pengeluaran seseorang merupakan penerimaan bagi orang lainnya dalam suatu perekonomian. Tentu saja ada beberapa teknis penyesuaian hitungan terkait transaksi internasional.

Perhatikan bahwa penghitungan PDB bersifat arus (flow), yaitu kuantitas per kurun waktu. Ini berbeda dengan penghitungan yang bersifat persediaan (stock), yaitu kuantitas pada suatu waktu atau tanggal tertentu. Misalnya, kekayaan suatu negara yang secara teoritis bisa dihitung pada tanggal tertentu akan bersifat persediaan. Suatu negara mungkin saja memiliki kekayaan yang besar, akan tetapi memiliki penghasilan per tahun yang tergolong masih rendah. Sebagaimana yang dialami Indonesia dengan kekayaan sumber daya alam yang berlimpahnya. Selain itu, perhitungannya pun berbasis wilayah geografis, yaitu semua produksi di wilayah Indonesia, tidak menjadi soal siapa yang memproduksinya, meskipun pihak asing.

Biasa juga dianalisis angka PDB perkapita yang dihubungkan dengan jumlah penduduk, , yang dianggap mencerminkan pendapatan masyarakat secara rata-rata. Pada tahun 2008 angka PDB perkapita mencapai Rp21,7 juta, meningkat 23,3 persen dibandingkan Rp17,6 juta pada tahun 2007. PDB perkapita memang selalu meningkat pesat setiap tahunnya.

Sepintas, dengan PDB perkapita tahun 2008 sebesar itu maka rakyat Indonesia secara rata-rata tidaklah miskin. Angka agregatnya jauh melampaui garis kemiskinan, baik diukur dengan ukuran BPS (sekitar Rp 2,19 juta) maupun ukuran Bank Dunia (sekitar USD 720 per tahun). Permasalahannya, angka tersebut adalah angka agregat yang bersifat rata-rata, serta tidak mencerminkan distribusinya. BPS menyediakan data tersendiri berkaitan dengan penduduk miskin, penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, yang masih sekitar 35 juta jiwa atau seperenam penduduk Indonesia. Soal kemiskinan ini telah saya ulas pada postingan terdahulu.

Analisis soal pendapatan masyarakat dan angka kemiskinan secara logis akan membawa kita kepada sumber pendapatan tersebut, dimana sumber paling utama adalah pekerjaan. Data makroekonomi yang banyak dipakai adalah data pengangguran yang menunjukkan jumlah dan prosentase orang yang tidak memiliki pekerjaan.

Selama periode Pemerintahan SBY tercipta lapangan kerja baru sebanyak 8,83 juta orang (dari 93,72 juta menjadi 102,55 juta). Sementara angkatan kerja bertambah sebanyak 7,98 juta orang (dari 103,97 juta menjadi 111,95 juta). Dengan kata lain, lapangan kerja baru yang tersedia hanya sedikit diatas laju pertumbuhan angkatan kerja. Pada Agustus 2008, ada 31,09 juta orang setengah pengangguran atau 27,77 %. Terdiri dari setengah penganggur terpaksa sebanyak 14,92 juta orang dan setengah penganggur sukarela sebanyak 16,17 juta orang. Selama empat tahun pemerintahan, jumlah penganggur hanya berhasil dikurangi sebanyak 2,27 juta. Sementara itu, angka setengah pengangguran justeru mengalami perkembangan yang lebih buruk, bertambah sebanyak 3,14 juta orang.

Jika melihat komposisi antara pekerja formal dan informal, maka tampak tidak adanya perbaikan yang berarti, meski sempat ada sedikit perbaikan dalam dua tahun pertama (lihat tabel). Jumlah pekerja formal pada Agustus 2004 adalah sebanyak 28,43 juta orang atau sebesar 30,33%, sedangkan pekerja informal adalah sebanyak 65,30 juta orang atau sebesar 69,67% dari mereka yang bekerja. Dengan kata lain, pemerintahan SBY kurang berhasil menciptakan lapangan kerja baru di sektor formal yang banyak diinginkan oleh para pencari kerja dan para pekerja informal (yang sebagian cukup besarnya berstatus setengah penganggur).

Proses informalisasi ketenagakerjaan di Indonesia dilihat dari status pekerjaan tampaknya didukung pula oleh data penyebaran pekerja berdasar lapangan pekerjaan. Sekalipun tidak sepenuhnya bisa diartikan bahwa mereka yang bekerja di sektor industri pengolahan adalah formal, sedangkan yang di sektor jasa-jasa (masyarakat) adalan informal. Ditambah lagi dengan adanya kecenderungan meningkatnya jumlah pengangguran terdidik, yakni para penganggur yang memiliki latar belakang lulusan perguruan tinggi (Sarjana dan Diploma). Gejala ini pun memperkuat indikasi semakin kuatnya proses informalisasi ketenagakerjaan. Para penganggur terdidik yang meningkat bisa saja ditafsirkan karena mereka kurang bersedia menjadi pekerja informal.

Semua data makro di atas hanya sekadar sebagian argumen untuk kesimpulan di bawah nanti. Argumen teknis ekonomi lainnya antara lain adalah berkenaan dengan data distribusi jumlah uang beredar, distribusi simpanan masyarakat di perbankan, kepemilikan mobil, perkembangan pasar modal, nilai tukar petani, upah buruh di berbagai sektor, dan lain sebagainya.

Secara ringkas dapat dikatakan, selama era Pemerintahan SBY terjadi hal-hal berikut ini: Produksi barang dan jasa meningkat, pendapatan secara rata-rata masyarakat meningkat, mereka yang kaya tumbuh secara amat cepat, kebanyakan kaum menengah stagnan atau sedikit menurun, keadaan kaum termiskin secara umum membaik, mereka yang nyaris miskin dan miskin relatif bertahan tidak memburuk. Jika digambarkan lebih lanjut, minoritas kaum kaya menjadi lebih kaya, sedangkan mayoritas orang bergerombol di sekitar garis kemiskinan, yakni : miskin, nyaris miskin, dan nyaris sejahtera. Risiko yang perlu diwaspadai, mayoritas mereka semua rentan oleh goncangan ekonomi, sehingga mudah ”turun kelas”, dari nyaris sejahtera dan nyaris miskin menjadi miskin.

Struktur pendapatan yang demikian secara teoritis wajar jika Pasar bebas lebih dikedepankan. Terutama sekali ketika pasar keuangan didukung oleh kebijakan ekonomi yang bias moneter dari pemerintah. Harus diakui, Pemerintahan SBY mencoba menanggulangi kegagalan pasar (market failure) dalam hal distribusi pendapatan dan kondisi kaum termiskin dengan kebijakan fiskal dan kebijakan populis lainnya. Pada mulanya secara amat terbatas dan konservatif, kemudian dieskalasi selama satu tahun terakhir. Tatkala kebijakan redistribusi dicoba lebih ekspansif, maka terjadi tekanan atas keuangan pemerintah (yang terutama ditandai oleh bertambahnya utang secara signifikan). Ancaman depresiasi rupiah masih selalu menghantui perekonomian. Sementara itu, kebutuhan akan bantuan pihak asing (melalui investasi dan utang) menjadi semakin meningkat dan berlangsung secara terus menerus. Kodisinya tampak rawan dan berbahaya bagi bangsa dalam jangka panjang.

Pilihan lain yang mengemuka dalam kampanye Pilpres untuk kebijakan yang lebih populis berarti akan meningkatkan Peran pemerintah dalam perekonomian. Jika model kebijakannya serupa dengan masa lalu maka akibatnyapun mirip. Kecuali jika ada perubahan dalam kebijakan moneter dan devisa misalnya menjadi tidak bebas. Risikonya, dalam jangka pendek akan ada pukulan bagi perekonomian domestik. Seberapa lama bisa pulih, lalu kemudian membentuk struktur baru yang lebih berkeadilan, agak diragukan bisa dikerjakan selama lima tahun pemerintahan. Harus diperhitungkan rigiditas birokrasi untuk berubah (siapapun Presiden dan Menterinya), menguatnya peran legislatif, dan ”kekuatan” lembaga negara lainnya (seperti KPK, MK, Bank Indonesia, dsb) yang belum tentu sejalan.

Sementara itu, wacana kampanye Pilpres yang menekankan kepada semangat wirawasta adalah memperbanyak dan menguatkan mereka yang bisa memperbaiki dirinya sendiri secara ekonomi. Yang ditekankan adalah menambah orang sejahtera dan kaya, sehingga kemiskinan akan berkurang. Persaingan akan distimulan, yang berarti peran Pasar tetap penting, namun harus dibatasi alias tidak sepenuhnya bebas terhadap pihak asing. Jebakannya adalah pada kesulitan mengukur tingkat perlindungan terhadap asing, untuk waktu seberapa lama, dan siapa yang memutuskannya.

Dari pengalaman masa lalu Indonesia dan pengalaman negara berkembang lain, peran pasar dan peran pemerintah sama-sama diperlukan untuk menjamin keadilan ekonomi bagi masyarakat negara bersangkutan. Selalu bisa terjadi ”kegagalan pasar” dan ”kegagalan Pemerintah”. Jangan sampai pengalaman mutakhir tentang keburukan pasar bebas membuat kita mendekat kembali kepada suatu bentuk pemerintah yang serba tahu dan serba mengatur, yang pada gilirannya akan mengecewakan kita kembali. Jelas bahwa yang menjadi kaidah dasar adalah peran pemerintah yang semacam apa secara lebih detil dan pengembangan mekanisme pasar atas apa saja yang justeru didorong agar perekonomian bisa tumbuh pesat dan menjamin rasa keadilan bagi seluruh rakyat.

Di sisi lain, keadilan ekonomi yang diimpikan pastilah bukan pemerataan kemiskinan melainkan kesejahteraan yang semakin merata. Kuenya membesar, pembagiannya semakin membaik. Pasar secara empiris memiliki kecenderungan yang lebih baik dalam memperbesar kue, pemerintah cenderung lebih baik dalam membaginya. Kaum wiraswasta adalah unsur utama bagi penciptaan kue besar sebuah perekonomian, dan akan sangat ideal jika mereka memiliki rasa ingin berbagi yang dilandasi oleh nilai luhur tidak semata oleh tujuan ekonomis.

Tulisan ini adalah ringkasan makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh BEM Universitas Akhmad Dahlan Yogyakarta, padat anggal 28 juni 2009

Minggu, 16 Agustus 2009

TURUNNYA ANGKA KEMISKINAN 2009

PENURUNAN ANGKA KEMISKINAN SAJA TIDAK CUKUP
Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin turun sebanyak 2,57 juta, dari 35,10 juta pada Maret 2005 menjadi 32,53 juta pada Maret tahun 2009. Sedangkan angka kemiskinan, turun dari 15,97 persen menjadi 14,15 persen.

Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan (GK). Selain dibedakan atas dasar perdesaan dan perkotaan, dalam prakteknya, penghitungan GK dibedakan pula untuk masing-masing propinsi. GK nasional sebesar Rp.200.262 per kapita per bulan pada Maret 2009 adalah bersifat indikatif, bukan untuk menjadi ukuran praktis seseorang tergolong miskin atau tidak. Penentuannya adalah dengan angka GK pada provinsi dan wilayah perdesaan atau perkotaan di mana penduduk bersangkutan berdomisili.

Selama periode Maret 2008-Maret 2009, GK naik sebesar 9,65 persen. Kecenderungan GK untuk naik secara signifikan juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, Sebagaimana yang dikatakan BPS, salah satu penyebab utama dari perubahannya adalah kenaikan harga-harga (inflasi).

Perubahan GK setiap tahunnya terlihat lebih tinggi daripada angka inflasi umum. Mengingat perhitungan GK oleh BPS adalah berasal dari data SUSENAS, maka bisa dikatakan bahwa kenaikan harga-harga yang dialami (dikonsumsi) oleh penduduk miskin adalah lebih tinggi daripada yang dirasakan secara rata-rata oleh seluruh penduduk. Akan tetapi, perbedaan besaran antara keduanya belum memperlihatkan pola tertentu.

Perkembangan PDB per kapita, nominal PDB dibagi dengan jumlah penduduk, selalu mengalami pertumbuhan dengan persentase yang cukup tinggi. Hal ini kerap dianggap mencerminkan perbaikan tingkat pendapatan masyarakat dalam suatu negara. Jika pertumbuhan PDB per kapita cukup tinggi dan jauh melampaui kenaikan garis kemiskinan, maka bisa diharapkan jumlah penduduk miskin akan berkurang secara amat signifikan. Peningkatan pendapatan rata-rata penduduk semestinya tercermin pula dalam kenaikan rata-rata pengeluarannya, sehingga mereka tidak tergolong penduduk miskin. Namun, data tahun 2005-2009 tidak mendukung sepenuhnya atas penalaran semacam ini.

Penjelasannya mungkin harus diteliti lebih jauh pada soal ketimpangan pendapatan antar penduduk. Sekalipun terjadi pemerataan pengeluaran diantara kaum miskin (turunnya indeks keparahan), namun tidak bisa dipastikan ketimpangan pendapatan dengan penduduk yang kaya.

Berbagai wacana ilmiah mutakhir, termasuk penelitian kemiskinan oleh Bank Dunia, selalu merekomendasikan perlunya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di Indonesia agar masalah kemiskinan bisa teratasi. Akan tetapi untuk periode 2005-2009, pola hubungan pertumbuhan ekonomi dengan pengurangan jumlah penduduk miskin tampaknya juga tidak kuat.
Bagaimanapun, jumlah penduduk miskin dan angka kemiskinan berhasil diturunkan selama era Pemerintahan SBY-JK. Kelompok penduduk termiskin secara umum mengalami perbaikan, diindikasikan oleh semakin mendekatnya mereka dengan garis kemiskinan. Sejalan dengan itu, ketimpangan antar penduduk miskin juga berkurang atau membaik. Selain karena relatif terkendalinya inflasi, diperkirakan berbagai kebijakan anti kemiskinan memang memperlihatkan hasil yang cukup memadai.

Permasalahan yang masih menonjol adalah masih rentannya mereka yang tergolong tidak miskin untuk kembali jatuh miskin, jika ada goncangan ekonomi dan atau melemahnya kemampuan Pemerintah untuk menjalankan kebijakan populis anti kemiskinan semisal BLT dan PNPM. Begitu pula dengan mereka yang masih miskin bisa dengan mudah menjadi lebih miskin atau semakin menjauh dari garis kemiskinan. Artinya, perlu diupayakan perbaikan secara lebih signifikan terhadap soal kedalaman dan keparahan kemiskinan.

Aspek kedalaman dan keparahan itu sendiri tidak terpisahkan dari aspek ketimpangan. Ketimpangan besar di Indonesia dicurigai terdapat pada keadaan antar individu dan antar daerah. Perhitungan angka indeks gini rasio, yang dianggap mencerminkan sebaran pendapatan antar penduduk, memang menunjukkan kecenderungan membaik, namun relatif stagnan dalam beberapa tahun terakhir. Penelitian lebih lanjut, termasuk dengan pendekatan pendapatan (bukan hanya pengeluaran), diperlukan agar kebijakan yang lebih efektif dapat direkomendasikan.

Sedangkan ketimpangan antar daerah, terutama antar provinsi dan kabupaten, masih memperlihatkan persoalan yang perlu ditangani secara lebih serius. Sebagai contoh, pada periode Maret 2008-2009, ketika jumlah penduduk dan persentase penduduk miskin secara nasional menurun. Ada tiga provinsi yang justeru mengalami kenaikan, yaitu: Gorontalo, Papua dan Papua Barat. Selain itu, beberapa propinsi memiliki angka (persentase) kemiskinan yang jauh di atas rata-rata nasional yang sebesar 14,15%. Selain ketiga propinsi tadi, adalah : Nangroe Aceh Darusalam, Maluku, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Lampung. Kedelapan propinsi itu memiliki angka kemiskinan yang lebih dari 20 persen. Bahkan, Papua mencapai 37,53 persen dan Papua Barat mencapai 35,71 persen. Sementara itu, hanya terdapat 3,62 persen penduduk miskin di DKI Jakarta.

Ketimpangan juga tidak cukup dilihat dari angka-angka, yang sekadar mencerminkan ketimpangan absolut. Masih ada soal ketimpangan relatif yang lebih bersifat psikologis, namun tidak kalah pentingnya karena amat berpengaruh dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Sebagai contoh, analisa ketimpangan yang memperhitungkan faktor sosial dan psikologis, maka perkotaan mungkin akan dinilai lebih buruk. Berdasar data, angka kemiskinan di perkotaan cenderung lebih baik daripada di pedesaan, dan ketimpangan absolut di sebagian kota membaik secara signifikan. Namun, kaum miskin kota melihat secara langsung kehidupan penduduk kaya. Keadaan kekurangannya lebih terasa karena melihat gaya hidup sebagian penduduk lainnya yang justeru amat berlebihan.

Selain mempertahankan dan memperbaiki kebijakan kemiskinan yang ada, fokus kebijakan berikut mustinya adalah meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi. Yang perlu segera didorong adalah sektor-sektor yang terkait langsung dengan kebanyakan pendudukan miskin dan nyaris miskin, semisal pertanian rakyat dan industri kecil. Pada akhirnya, kemampuan berproduksi dan memperoleh pendapatan secara berkesinambungan akan lebih bisa diandalkan daripada program Pemerintah yang bersifat charity semata.