Senin, 13 Oktober 2008

Rendahnya Kualitas Pertumbuhan Ekonomi : Sisi Penawaran

Rendahnya Kualitas Pertumbuhan Ekonomi : Sisi Penawaran

Kita sudah pernah membahas, definisi singkat dari Produk Domestik Bruto (PDB) adalah nilai pasar semua barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam perekonomian selama kurun waktu tertentu.

Sementara itu, barang yang diproduksi di Indonesia terdiri dari ribuan atau jutaan jenis. Ada barang yang berasal dari produksi pertanian, dari industri pengolahan, dan ada yang dari penggalian. Bisa berasal dari lahan petani kecil, produksi rumah tangga, maupun dari produksi perkebunan besar dan industri yang bersifat korporasi. Macam jasa juga demikian. Ada jasa pedagang kecil dan tukang pangkas rambut, namun ada pula jasa konsultan manajemen dan jasa keuangan untuk korporasi. Seluruh produksi barang dan jasa tersebut, per definisi, dimasukkan dalam perhitungan PDB.

Untuk memudahkan pemahaman atau keperluan analisa, penyajian hasil perhitungan PDB ini dilakukan dengan menggolongkan jutaan macam barang dan jasa ke dalam beberapa kelompok jenis barang. Indonesia (BPS) menggolongkannya menjadi sembilan macam barang dan jasa.

Penamaannya disesuaikan dengan jenis sektor usaha yang memproduksinya, sehingga disebut pula penyajian (biasanya berbentuk tabel) PDB menurut lapangan usaha. Metode penghitungan ini secara teknis disebut pendekatan produksi. Sektor produksi atau lapangan usaha dalam penghitungan PDB di Indonesia saat ini dikelompokkan ke dalam 9 sektor atau lapangan usaha. 1. Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan; 2. Pertambangan dan Penggalian; 3. Industri Pengolahan; 4. Listrik, Gas dan Air Bersih; 5. Konstruksi; 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran; 7. Pengangkutan dan Komunikasi; 8. Keuangan, Real estat dan Jasa Perusahaan; 9. Jasa-jasa. Sebenarnya ada rincian lagi dari masing-masing sektor, yang biasa disebut subsektor.

Analisis atas perkembangan komponen PDB tersebut bisa dilakukan. Biasanya ini disebut dengan analisis sisi penawaran, untuk membedakannya dengan analisa dari sisi permintaan pada posting terdahulu.

Di sisi penawaran, seluruh sektor ekonomi selalu mencatat pertumbuhan positif, kecuali pertambangan dan penggalian pada tahun 2004. Sumbangan terbesar yang menopang pertumbuhan selama beberapa tahun berasal dari sektor perdagangan, sektor industri pengolahan dan sektor pengangkutan dan komunikasi. Namun, sektor industri pengolahan mengalami perlambatan, dan pada tahun 2007 hanya bisa tumbuh setara dengan tahun sebelumnya. Keadaan lebih buruk terjadi pada sektor pertanian, laju pertumbuhan dan kontribusinya relatif rendah. Pada tahun 2007 memang ada sedikit perbaikan pada sektor pertanian, namun lebih ditopang oleh pertumbuhan perkebunan milik korporasi (pertanian modern), dibandingkan oleh pertanian rakyat.

Keadaan semacam ini belum berubah secara mendasar pada semester I-2008 dibandingkan dengan semester I-2007. Memang terjadi kenaikan sebesar 6,4 persen dan terjadi di semua sektor kecuali sektor pertambangan dan penggalian. Pertumbuhan ini didorong oleh pertumbuhan sektor pertanian sebesar 5,3 persen, sektor industri pengolahan 4,1 persen, sektor listrik, gas dan air bersih 11,9 persen, sektor konstruksi 8,0 persen, sektor perdagangan, hotel dan restoran 7,5 persen, sektor pengangkutan dan komunikasi 20,0 persen, sektor keuangan, real estat dan jasa perusahaan 8,5 persen serta sektor jasa-jasa 6,0 persen.

Perhatikan pula bahwa sektor-sektor (akan lebih kentara jika dianalisis pada subsektor) padat modal seperti telekomunikasi, keuangan, konstruksi, realestat, dan jasa ritel tumbuh lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional. Sementara itu, sekalipun tumbuh, sektor industri pengolahan dan sektor pertanian cenderung lebih rendah dari rata-rata nasional.

Perlu diingat bahwa sektor industri pengolahan dan sektor pertanian adalah sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja, menjadi sumber penerimaan devisa dan penerimaan pajak, serta memiliki kaitan ke sektor pensuplai inputnya (backward linkage) dan kaitan ke sektor yang memanfaatkan pada proses produksi selanjutnya (forward linkage) yang tinggi.

Analisis semacam ini juga menguatkan kesimpulan kurang berkualitasnya pertumbuhan ekonomi indonesia selama beberapa tahun terakhir.

Soal Kualitas Pertumbuhan Ekonomi yang Rendah dari sisi Permintaan

Soal Kualitas Pertumbuhan Ekonomi yang Rendah dari sisi Permintaan

Angka-angka PDB biasa dianalisis atas dasar komponen-komponennya, sesuai dengan metode penghitungannya. Dari angka-angka yang didapat melalui pendekatan pengeluaran atau penggunaan, bisa diketahui bagaimana sumbangan masing-masing komponen pengeluaran agregat. Dengan teknik ekonomi tertentu, angka pengeluaran agregat bisa diterjemahkan menjadi permintaan agregat. Teknik mengubahnya terkait dengan istilah permintaan yang merujuk kepada dua variabel, kuantitas dan harga. Dan dari sumber yang sama, dikenal pula istilah permintaan domestik, yakni permintaan agregat dengan menghilangkan variabel permintaan luar negeri (ekspor).

Analisis umum dalam hal ini adalah untuk mengetahui “akibat” dari perubahan masing-masing komponen dalam rentang waktu tertentu terhadap laju pertumbuhan PDB. Hasilnya, ada istilah konsumsi yang mendorong pertumbuhan, atau investasi sebagai pendorong pertumbuhan. Tentulah yang lebih disukai adalah investasi, sekalipun idealnya tetap harus diimbangi oleh pertumbuhan konsumsi. Penalarannya terkait dengan dampak untuk waktu berikutnya, terutama yang bersifat jangka panjang.

Jika konsumsi saja yang melaju dengan cepat tanpa diimbangi dengan investasi yang sepadan, maka bisa mengakibatkan peningkatan impor dan atau inflasi. Dari model juga bisa di “utak-atik” peran kebijakan fiskal pemerintah. Misalnya, pengeluaran pemerintah bisa berperan mendorong peningkatan PDB. Istilahnya adalah pemerintah sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi (source of growth).

Sebagai contoh, dari pertumbuhan ekonomi tahun 2007 sebesar 6,3 %, lebih dari separuhnya bersumber dari komponen ekspor barang dan jasa, yakni sebesar 3,8 %. Namun, pada saat bersamaan impor memberi kontribusi dalam arah berlawanan sebesar 3,3 %. Komponen terbesar PDB yaitu konsumsi rumah tangga memberikan sumbangan sebesar 2,9 %. Sementara pengeluaran konsumsi pemerintah sebesar 0,3 %, serta pembentukan modal tetap bruto (investasi) memberikan kontribusi sebesar 2,0 %.

Fenomena yang paling menarik perhatian terkait dengan data-data ini adalah bertahannya konsumsi sebagai sumber pertumbuhan terpenting sekitar sembilan tahun terakhir, sejak era krisis moneter. Dan yang paling luar biasa adalah konsumsi rumah tangga (swasta), meskipun konsumsi pemerintah juga kadang terhitung besar. Sekalipun angka kontribusi ekspor adalah yang tertinggi, namun jika memperhitungkan impor (net ekspor) maka masih lebih rendah daripada konsumsi rumah tangga. Kontribusi net ekspor bahkan sempat negatif pada tahun 2004. Keadaan konsumsi sebagai sumber pertumbuhan belum banyak berubah, bahkan meningkat kembali selama tahun 2007. Konsumsi (rumah tangga dan pemerintah) masih menyumbang lebih dari separo angka pertumbuhan ekonomi. Konsumsi rumah tangga masih juga menjadi kontributor tertinggi. Pada semester I tahun 2008, kecenderungan ini belum terlihat berubah banyak.

Jika data dicermati, konsumsi rumah tangga memang sempat sedikit terpukul pada tahun 2005 dan 2006, akibat kenaikan harga BBM. Namun, komponen lain selain konsumsi pemerintah juga ikutan terpuruk. Dengan demikian, laju konsumsi rumah tangga mungkin akan sedikit tertahan pada semester kedua tahun 2008, setelah pemerintah menaikkan harga BBM.

Sebenarnya, pemerintah berulang kali merencanakan atau mengharapkan agar sumber pertumbuhan utama beralih kepada investasi. Target tinggi selalu dikemukakan, dan berbagai paket kebijakan dikeluarkan. Meskipun belum bisa melampaui konsumsi rumah tangga, kontribusi investasi sepanjang tahun 2007 sudah jauh lebih baik daripada tahun 2006. Perbaikan masih berlanjut pada semester pertama 2008. Sayangnya, semester kedua 2008, diperkirakan akan sedikit melambat lagi.

Bagaimanapun juga, kontribusi investasi masih bersifat harapan, dan sangat mungkin terhadang oleh kondisi perekonomian global yang memburuk. Bahkan, investasi yang dirangsang untuk tumbuh pun terkesan asal besar nominalnya saja, dan tidak bersifat selektif. Sebagai contoh, kebijakan makroekonomi yang mendorong investasi tersebut sama hampir tidak memperhitungkan ketersediaan teknologi atau berdimensi teknologis. Padahal, penambahan modal secara agregat an sich akan kurang efektif jika tidak disertai perencanaan pengembangan teknologi yang tepat. Yang kemudian terjadi adalah dinamika produksi yang bersifat saling meniadakan atau substitutif, bukannya komplementer untuk menambah kapasitas produksi. Suatu investasi mungkin segera menambah kapasitas produksi, namun karena berdampak pada matinya kelompok usaha produktif yang lain, maka hasil akhirnya tidak bisa dihitung sebesar tambahan investasi itu saja. Masih beruntung jika hasil bersihnya adalah positif. Perhitungannya menjadi sulit, ketika sektor usaha modern yang lebih tercatat secara tata keuangan modern menggusur banyak usaha yang kurang terbukukan.

Sementara itu, sumbangan konsumsi telah terbukti dan nampaknya masih (terpaksa) akan diandalkan. Dalam arahan mewaspadai krisis pun, secara eksplisit akan diupayakan peningkatan arti konsumsi pemerintah. Padahal kontribusinya terhadap pertumbuhan semester I 2008 hanya sebesar 0,2 dari total pertumbuhan 6,4 (yoy).

Kekhawatirkan lain atas kondisi semacam ini adalah terkait fakta bahwa pengangguran dan kemiskinan tidak akan teratasi tanpa pertumbuhan yang didorong oleh investasi riil. Kenyataan bahwa konsumsi bertahan begitu lama menggerakkan pertumbuhan merupakan keanehan, dan hanya mungkin dijelaskan dengan berkembangnya kegiatan ekonomi tersembunyi (hidden economy). Hidden economy yang dimaksud adalah kegiatan ekonomi yang tidak tercatat karena bersifat “bawah tanah”, tetapi berskala besar, seperti penyelundupan, bisnis narkotik, perjudian, dan prostitusi/pornografi.

Ada pula ekonom yang mengatakan bahwa ketahanan pengeluaran konsumsi mendorong pertumbuhan selama sembilan tahun terakhir memang kurang masuk akal. Ekonom ini memperkirakan 30 persen dari PDB Indonesia berasal dari praktik ekonomi “bawah tanah”. Namun, perlu difahami bahwa kegiatan ekonomi yang tersembunyi sebenarnya tidak seluruhnya berkaitan dengan urusan terlarang. Pencatatan kegiatan ekonomi secara formal kerap dihindari oleh pelaku usaha karena berhubungan dengan birokrasi yang dirasa menyulitkan. Aktivitas ekonomi tersembunyi juga kian berkembang karena praktik ekonomi biaya tinggi dan ketidakpastian hukum.
Kesimpulannya, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini sering dianggap kurang berkualitas jika dilihat dari sumbernya (sisi permintaan). Kualitas tersebut mungkin menjadi lebih rendah lagi bila arahan mewaspadai krisis terlampau mengandalkan pengeluaran pemerintah, yang notabene lebih banyak berkategori konsumsi.

Pertumbuhan Ekonomi adalah keyword kebijakan pemerintah untuk segala kondisi

Pertumbuhan Ekonomi adalah keyword kebijakan pemerintah untuk segala kondisi
Tatkala ada kekhwatiran imbas krisis keuangan Amerika terhadap perekonomian Indonesia, pemerintah masih tetap melihat pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan utama kebijakannya. Secara resmi ada dua poin arahan yang menyebutnya secara langsung, yaitu tetap pertahankan nilai pertumbuhan enam persen yang ditargetkan tahun ini (no 2) dan optimalisasi APBN 2009 untuk memacu pertumbuhan (no 3). Selain itu, arti penting mempertahankan pertumbuhan ekonomi disebut secara tidak langsung, dan merupakan variabel yang disebut berulang dan diberi penekanan khusus.
Sekitar dua bulan sebelumnya, ketika krisis Amerika masih belum separah kini, dalam pidato kenegaraan dikatakan Presiden bahwa: “ Kita bersyukur, walaupun ditengah tekanan eksternal yang bertubi-tubi, kita telah berhasil menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen, selama tujuh triwulan berturut-turut. Bahkan Produk Domestik Bruto Non Migas, telah tumbuh mendekati 7 persen pada tahun lalu. Pertumbuhan ekonomi kita, meningkat dari 5,5 persen pada tahun 2006 menjadi 6,3 persen pada tahun 2007. Tingkat pertumbuhan ini dicapai ditengah tekanan melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia, dan melonjaknya harga pangan dan energi. Bahkan pada Semester I Tahun 2008 kita tetap bisa menjaga momentum perekonomian kita dengan tingkat pertumbuhan mencapai 6,4 persen. Ini merupakan laju pertumbuhan tertinggi setelah krisis ekonomi tahun 1998.”
Pemerintah sebenarnya sudah tidak seoptimis ketika menyiapkan APBN 2008 setahun yang lalu lagi, sehingga memperkirakan pertumbuhan ekonomi adalah sekitar 6,2 persen. Sebuah asumsi yang tetap saja tergolong ”percaya diri” mengingat kondisi perekonomian dunia yang mulai tidak menentu.
Apa arti Pertumbuhan Ekonomi?
Pengertian pertumbuhan ekonomi yang dipergunakan dalam laporan resmi perekonomian Indonesia sebenarnya adalah pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) riil atau PDB atas dasar harga konstan. Pernyataan bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2007 sebesar 6,3 persen berarti PDB Indonesia tahun 2007, atas dasar harga konstan (tahun 2000 dipakai sebagai tahun dasar), bertambah sebesar proporsi itu dibandingkan dengan tahun 2006. Pengertian ini pula yang dipakai dalam pembicaraan di media masa, bahkan dalam tulisan para ekonom di Indonesia.
Dalam teori ekonomi, pertumbuhan ekonomi sebenarnya biasa didefinisikan sebagai peningkatan kapasitas suatu bangsa dalam jangka panjang untuk memproduksi berbagai barang dan jasa. Ada berbagai definisi teknis sebagai penjabarannya. Sebagai contoh, Boediono (1985) mengartikan pertumbuhan ekonomi sebagai proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Menurutnya, ada tiga aspek yang harus ditekankan dalam pengertian ini. Pertama, sebagai proses, yang diperhatikan adalah perubahannya bukan keadaannya pada suatu waktu. Kedua, pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan kenaikan output per kapita. Output per kapita adalah output total dibagi dengan jumlah penduduk. Dengan kata lain, pertumbuhan output atau hasil produksi karena peningkatan kapasitas produksi harus dihubungkan dengan perubahan jumlah penduduk. Ketiga, definisi pertumbuhan ekonomi adalah perspektif waktu jangka panjang. Kenaikan output per kapita selama satu atau dua tahun, yang kemudian diikuti dengan penurunan output per kapita bukan pertumbuhan ekonomi. Suatu perekonomian tumbuh apabila dalam jangka waktu yang cukup lama mengalami kenaikan output per kapita, atau menunjukkan kecenderungan yang jelas untuk menaik.
Jika kita mengambil salah satu saja dari aspek itu, yakni yang dihitung adalah pertumbuhan output per kapita, maka akan ada angka yang berbeda dengan laju pertumbuhan ekonomi yang biasa dipublikasikan. Perlu diketahui, perhitungan semacam ini justeru lebih umum menurut text book dan dipakai oleh publikasi banyak negara. Wajar jika pertumbuhan ekonomi dalam versi ini selalu lebih rendah, karena laju pertumbuhan penduduk selalu positif (jumlahnya masih bertambah) setiap tahunnya. Sebagai contoh, pertumbuhan ekonomi 2007 hanya sebesar 4,95 % (bandingkan dengan 6,3 % yang umum dipublikasikan).

Hal lain adalah berkenaan dengan data outputnya yang memakai PDB. Sebenarnya ada yang menyarankan penggunaan Produk Nasional Bruto (PNB), karena relatif lebih mengeluarkan unsur ”pendapatan asing” nya. Bisa pula menggunakan konsep Pendapatan Nasional (PN) adalah PNB dikurangi dengan pajak tidak langsung neto dan dikurangi juga dengan penyusutan. PN ini adalah jumlah pembayaran terhadap faktor produksi yang dipakai dalam proses produksi. Sayangnya, masih ada persoalan ”teknis” dalam statistik perhitungan pendapatan nasional kita, disamping masalah ”nonteknis’ berupa kesukaan menggunaan indikator yang lebih menggembirakan pemerintah.

Reduksi arti yang lebih serius adalah pembahasan pertumbuhan ekonomi dalam perspektif jangka pendek belaka. Cara pembahasan dalam horison waktu jangka pendek tetap berguna. Namun, perubahan perspektif waktu (horison jangka panjang sesuai definisi teoritis) akan berdampak pada penentuan apa yang penting dan tidak penting, serta rekomendasi kebijakan yang sebaiknya dijalankan.

Sebagian ekonom mengartikan pertumbuhan ekonomi secara lebih ketat. Antara lain dengan menekankan bahwa pertumbuhan yang terjadi harus bersumber dari proses internal perekonomian tersebut, bukan dari luar yang bersifat sementara. Ditambahkan pula akan adanya perubahan kelembagaan, termasuk yang bukan ekonomi, yang mendukung kelanggengan peningkatan kapasitas produksi yang berlangsung. Artinya, suatu ekonomi dikatakan tumbuh jika berkaitan dengan perubahan sosial yang lebih luas yang menjamin kesinambungan pertumbuhan output.

Contoh definisi semacam itu adalah dari Simon Kuznets, peraih nobel di bidang ekonomi pada tahun 1971, memberi definisi: ”Pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan atau dimungkinkan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi, kelembagaan, dan ideologis terhadap berbagai tuntutan yang ada” (Todaro, 2003).

Nah, seandainya dimaksud oleh pemerintahan SBY adalah pengertian yang lebih luas dan ketat itu, maka ”pertumbuhan ekonomi” masih cukup layak menjadi kata kunci pengelolaan perekonomian nasional. Sayangnya, makna yang dipakai terlampau sempit dan amat direduksi. Bahkan, istilah itu bisa menyesatkan.






Jumat, 10 Oktober 2008

10 Arahan yang sekadar harapan dan imbauan Presiden SBY

10 Arahan yang sekadar harapan dan imbauan Presiden SBY
Presiden SBY memberikan 10 arahan kepada jajaran Menteri Kabinet Indonesia Bersatu bidang ekonomi dan pejabat BUMN, yang pertemuannya dihadiri pula oleh pihak Kadin, Perbankan Nasional, Pengamat, serta sejumlah pimpinan media massa di Kantor Sekretariat Negara Senin (6/10). Arahan itu terkait dengan kewaspadaan terhadap imbas krisis Amerika Serikat.

Ringkasan arahan itu adalah:
1. Semua kalangan agar tetap optimis, dan bersinergi menghadapi krisis keuangan itu dan tidak panik.
2. Tetap pertahankan nilai pertumbuhan enam persen yang ditargetkan tahun ini. Yang perlu dijaga adalah komponen permintaan, konsumsi, pembelanjaan pemerintah, investasi, ekspor dan impor. Dikatakan pula bahwa kita perlu manfaatkan perekonomian domestik dan mengambil pelajaran dari krisis 98 dimana sabuk pengaman perekonomian domestik adalah sektor UMKM, pertanian, dan sektor informal.
3. Optimalisasi APBN 2009 untuk memacu pertumbuhan dan membangun social safety net dengan sejumlah hal yang harus diperhatikan yaitu infrastruktur, alokasi penanganan kemiskinan, ketersediaan listrik serta pangan dan BBM.
4. Dunia usaha khususnya sektor riil harus tetap bergerak meskipun ekspansi bisa berkurang akibat krisis ini. Pajak dan penerimaan negara tetap terjaga supaya pengangguran tidak bertambah. Kewajiban BI dengan jajaran perbankan adalah mengembangkan kebijakan agar kredit dan likuiditas tersedia agar sektor riil bergerak. Kewajiban pemerintah mengeluarkan kebijakan regulasi iklim dan insentif agar sektor riil tetap bergerak. Sedangkan kewajiban swasta adalah lebih adaptif dan terus mempertahankan kinerja, tetap mencari peluang dan share the hardshift.
5. Semua pihak agar cerdas menangkap peluang untuk melakukan persaingan dan kerjasama ekonomi dengan negara sahabat.
6. Galakkan kembali penggunaan produk dalam negeri sehingga pasar domestik akan bertambah kuat.
7. Jajaran pemerintah khususnya memperkokoh sinergi dan kemitraan atau partnership dengan jajaran perbankan dan swasta.
8. Semua kalangan diminta menghindari sikap egosektoral dan memandang remeh masalah yang dihadapi.

9. Berkaitan dengan pada 2008 dan 2009 merupakan tahun politik dan tahun pemilu, namun semua kalangan diminta tak melakukan langkah non partisan dalam mengatasi masalah ini.

10. Semua pihak diminta melakukan komunikasi dengan tepat dan bijak kepada rakyat.
Sikap pemerintahan SBY untuk segera mengantisipasi kemungkinan imbas buruk krisis keuangan global yang dipicu oleh krisis di Amerika bisa dibilang sangat tepat. Baik pula upaya melibatkan pihak diluar kabinet dalam sebagian pertemuan dan pembicaraan penting mengenai soal itu. Namun seberapa memadai atau akan efektifkah arahan tersebut adalah hal lain lagi.
Persoalan pertama yang muncul adalah bahwa 10 arahan itu tidak benar-benar berisi arahan atau langkah sebanyak itu. Ada banyak pengulangan atau bahkan permainan kata dan kalimat. Perhatikan bahwa lima arahan (no 1,7,8,9 dan 10) yang bernada serupa, yakni imbauan agar semua pihak tidak panik, berkomunikasi yang baik, bersinergi, mengedepankan kepentingan bersama dan tetap optimis. Imbauan semacam ini sepintas persuasif, namun jika melihat eskalasi permasalahannya kemungkinan besar tidak akan efektif. Komitmen sinergi antar aparat, instansi pemerintah dan lembaga negara sudah sejak lama diutarakan, hasilnya masih minim. Apalagi jika dimimpikan adanya sinkronisasi dengan berbagai pihak lain (dalam waktu singkat?), khususnya kalangan bisnis yang notabene akan dan memang sewajarnya jika berorientasi kepada kepentingan diri mereka sendiri.
Arahan no 4 bisa dikatakan mengatakan yang dalam keadaan biasa pun sudah seharusnya demikian. Diimbau apa yang memang menjadi tugas masing-masing pihak (dunia usaha, BI dan pemerintah). Subtansi isinya tidak berbeda dari 5 langkah di atas.
Arahan no 2 dan 3 berkaitan erat yakni untuk tetap berupaya mempertahankan dan memacu pertumbuhan ekonomi. Pada arahan ketiga memang ada penekanan pada upaya optimalisasi APBN dan pembangunan safety net.
Hanya arahan 5 dan 6 yang berbeda. Arahan 6 adalah mengenai imbauan untuk penggunaan produk dalam negeri sehingga pasar domestik akan bertambah kuat. Jika hal ini bisa direalisasikan memang cukup menjanjikan. Kekhawatirannya arahannya hanya bersifat slogan. Kita bahkan ragu, apakah belanja negara saja bisa selektif untuk lebih memakai produk dalam negeri. Begitu juga sejauh mana upaya ”banting setir” kebijakan perdagangan bebas ke yang lebih protektif untuk melindungi produk dalam negeri bisa dengan cepat dilaksanakan.
Perhatikan pula bahwa arahan no 5 mengandung masalah serupa. Sudah cukup lama diketahui tentang tidak kokohnya struktur ekspor kita, baik dilihat dari jenis komoditi maupun negara tujuan. Diragukan apakah dalam waktu singkat bisa diperbaiki. Harapan terbesar lebih pada adanya ”paksaan” untuk bersegera memperbaiki struktur ekspor itu.
Singkatnya, arahan Presiden SBY masih bersifat terlampau umum dan dapat dikategorikan sebagai retorika politik. Angka 10 saja hanya semacam mistifikasi bukan pada substansi atau isi arahan. Isinya pun bersifat imbauan yang kurang bertenaga (power), semacam harapan-harapan belaka. Kita belum bisa melihat apa sebenarnya STRATEGI ATAU KEBIJAKAN EKONOMI YANG AKAN ATAU DISIAPKAN UNTUK DIAMBIL PEMERINTAH.
Arahan yang kurang jelas mengenai strategi ekonomi apa yang dijalankan pemerintah, bisa menambah kebingungan para pelaku pasar (bisnis), dan bisa segera diikuti oleh masyarakat luas (rumah tangga). Lebih buruk lagi, arahan itu justeru berpotensi memicu kepanikan, setidaknya ”ekspektasi” bahwa keadaan akan memburuk.