Rabu, 24 September 2008

Produk Domestik Bruto (PDB) 2009 diasumsikan sebesar Rp 5.309 triliun

Produk Domestik Bruto (PDB) 2009 diasumsikan sebesar Rp 5.309 triliun

Panitia Kerja Asumsi Dasar Ekonomi RAPBN 2009, pada tanggal 19 September lalu, menetapkan nominal Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp 5.309 triliun. Naik sekitar 18,4 persen dari asumsi dalam APBN-P 2008 yang sebesar Rp 4.484 triliun, dan naik lebih dari 23,3 persen jika dibandingkan asumsi dalam APBN 2008 sebesar Rp 4.307 triliun. Namun porsi kenaikannya terlihat lebih kecil jika dibandingkan dengan PDB 2008 yang diperkirakan akan terelaisasi.

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan informasi demikian?

Dalam buku teks ilmu ekonomi, definisi singkat dari Produk Domestik Bruto (PDB) adalah nilai pasar semua barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam perekonomian selama kurun waktu tertentu.

Istilah perekonomian biasanya merujuk kepada wilayah suatu negara, meskipun kadang digunakan untuk wilayah (regional) tertentu. Kurun waktu dimaksud umumnya adalah satu tahun, menurut penanggalan yang umum secara internasional, 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Hal itu memudahkan perbandingan antar perekonomian (negara) dilakukan, misalnya oleh World Bank atau UNDP yang sering mempublikasikannya. Namun, di banyak negara (termasuk Indonesia), PDB dihitung pula secara triwulanan.

Sebagaimana kita lihat secara kasat mata, barang yang diproduksi di Indonesia terdiri dari ribuan atau jutaan jenis. Ada barang yang berasal dari produksi pertanian, dari industri pengolahan, dan ada yang dari penggalian. Bisa berasal dari lahan petani kecil, produksi rumah tangga, maupun dari produksi perkebunan besar dan industri yang bersifat korporasi. Macam jasa juga demikian. Ada jasa pedagang kecil dan tukang pangkas rambut, namun ada pula jasa konsultan manajemen dan jasa keuangan untuk korporasi. Seluruh produksi barang dan jasa tersebut, per definisi, dimasukkan dalam perhitungan PDB. Secara praktis, perhitungan hanya mungkin dilakukan dengan menyamakan satuan hitung dari seluruh barang dan jasa, yakni dengan mata uang. Secara teknis ilmiah biasa disebut bahwa definisi PDB menyiratkan keinginan meringkas aktivitas ekonomi dalam nilai tunggal (uang) selama periode tertentu.

Ada satu konsep penting yang terkandung dalam definisi PDB yang harus selalu diingat. Penghitungan PDB bersifat arus (flow), yaitu kuantitas per kurun waktu, biasanya selama satu tahun atau satu triwulan. Ini berbeda dengan penghitungan yang bersifat persediaan (stock), yaitu kuantitas pada suatu waktu, misalnya pada tanggal tertentu. Kekayaan suatu negara, yang secara teoritis bisa dihitung pada tanggal tertentu, maka angka perhitungannya akan bersifat persediaan (stock). Sedangkan penghasilan seluruh penduduk suatu negara selama satu tahun adalah arus (flow). Dengan demikian, suatu negara mungkin saja memiliki kekayaan yang besar (misalnya karena sumber daya alam yang berlimpah), akan tetapi memiliki penghasilan (seluruh penduduknya) per tahun yang tergolong masih rendah. Tentu saja, hubungan yang lazim adalah searah, arus penghasilan yang tinggi akan memungkinkan akumulasi kekayaan yang terus membesar.

Untuk memudahkan pemahaman atau keperluan analisa, penyajian hasil perhitungan PDB ini dilakukan dengan menggolongkan jutaan macam barang dan jasa ke dalam beberapa kelompok jenis barang. Indonesia (BPS) menggolongkannya menjadi sembilan macam barang dan jasa. Jutaan macam barang dan jasa yang dihasilkan dianggap hanya sembilan jenis, artinya setiap barang harus dimasukkan ke dalam salah satu kelompok tersebut. Penamaan kelompoknya disesuaikan dengan jenis sektor usaha yang memproduksinya, sehingga disebut pula penyajian (biasanya berbentuk tabel) PDB menurut lapangan usaha. Metode penghitungan ini secara teknis disebut pendekatan produksi. Menurut pendekatan ini, PDB adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai sektor produksi atau lapangan usaha di wilayah suatu negara dalam jangka waktu setahun. Karena yang dihitung adalah barang dan jasa “akhir”, maka yang dijumlahkan pada masing-masing sektor hanyalah nilai tambah produksi, agar tidak terjadi penghitungan ganda.

Sektor produksi atau lapangan usaha dalam penghitungan PDB di Indonesia saat ini dikelompokkan ke dalam 9 sektor atau lapangan usaha. Sebagai contoh, jutaan barang dan jasa dari masing-masing sektor yang diproduksi pada tahun 2007 dinilai berdasar harga pada waktu itu. Nilai keseluruhannya adalah Rp 3.957,4 triliun, dengan rincian produksi masing-masing lapangan usaha seperti : 1. Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan (547,2); 2. Pertambangan dan Penggalian (440,8); 3. Industri Pengolahan (1.068,8); 4. Listrik, Gas dan Air Bersih (34,8); 5. Konstruksi (305,2); 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran (590,8); 7. Pengangkutan dan Komunikasi (265,3); 8. Keuangan, Real estat dan Jasa Perusahaan (305,2); 9. Jasa-jasa (399,3). Sebenarnya ada rincian lagi dari masing-masing sektor, yang biasa disebut subsektor.

Angka yang lebih sering dianalisa oleh para ekonom adalah PDB riil, PDB menurut harga konstan tahun dasar tertentu. PDB riil dihitung dengan menghilangkan faktor fluktuasi harga, sehingga yang diperbandingkan antar tahun adalah benar-benar kuantitas produksi, dimana nilai uang hanya bersifat satuan ukuran yang memungkinkan dilakukannya penjumlahan. Alat yang dipakai adalah indeks harga tertentu, yaitu PDB deflator. Angka PDB deflator ini sedikit berbeda dengan angka Indeks Harga Konsumen (IHK) yang biasa dipakai sebagai ukuran inflasi. IHK dihitung berdasar harga yang dibayar oleh konsumen akhir untuk semua barang yang dibeli, sedangkan PDB deflator berdasar harga untuk semua barang yang diproduksi.

Kita bisa menelusuri kemana perginya seluruh barang dan jasa yang diproduksi pada tahun 2007 di atas. Dipergunakan untuk apa dan oleh siapa saja. Dalam pengertian sehari-hari dibeli oleh siapa saja, dengan catatan ada sebagian barang dan jasa yang dianggap dibeli oleh produsennya sendiri. Dari sudut pandang pihak pembeli atau yang memperoleh barang, nilai barang dan jasa yang dibayarnya adalah pengeluaran. Dengan demikian, PDB bisa pula dilihat sebagai pengeluaran total atas hasil produksi (output) barang dan jasa suatu perekonomian dalam kurun waktu tertentu. Untuk keperluan analisis, PDB yang dilihat secara ini disebut juga dengan PDB menurut penggunaannya. Untuk apa atau oleh siapa saja PDB tersebut dipergunakan, yang berarti pula pihak mana saja yang melakukan pengeluaran untuk mendapatkannya. Sebagaimana kebiasaan yang berlaku secara internasional, BPS mengelompokkannya sebagai berikut: Pengeluaran Konsumsi Rumah tangga, Pengeluaran Konsumsi Pemerintah, Pembentukan modal tetap domestik Bruto dan perubahan stok, serta Ekspor Netto, yaitu ekspor dikurangi impor.

Oleh karena PDB terdiri dari berbagai barang dan jasa akhir, pendekatan ini bisa pula diartikan sebagai jumlah seluruh komponen permintaan akhir. Dengan penjelasan teknis ekonomi tertentu, angka-angka komponen di atas bisa dianalisa sebagai indikator permintaan agregat suatu perekonomian. Secara menyederhanakan, media masa atau laporan perekonomian suka menyebutnya sebagai sisi permintaan dari PDB atau bahkan dari perekonomian.

Yang perlu selalu diingat adalah bahwa PDB adalah angka agregat, yang bersifat keseluruhan. Angka agregat sama sekali tidak mencerminkan distribusinya. PDB misalnya, hanya akan menghasilkan angka rata-rata jika dibagi dengan jumlah penduduk. PDB atas dasar harga yang berlaku pada tahun 2007 adalah sekitar Rp 3.957 trilyun, dengan penduduk sekitar 225 juta, maka PDB per kapita hampir mencapai Rp 17,58 juta. Seandainya satu keluarga terdiri dari 4 jiwa, maka penghasilan rata-rata per keluarga adalah lebih dari Rp 70 juta per tahun, atau hampir 6 juta rupiah per bulan. Bayangkan pula jika memakai angka asumsi PDB 2009 menurut APBN nanti, yang sebesar Rp 5.309 triliun. Setelah memperhitungkan kenaikan jumlah penduduk, maka penghasilan rata-rata per keluarga tahun depan (2009) diperkirakan sebesar Rp 92 juta per tahun atay Rp 7,6 juta per bulan. Berapa banyak keluarga di Indonesia yang memiliki penghasilan sebesar itu?

Statistiknya barangkali tidak keliru dan tak dimanipulasi, namun memang bersifat pukul rata. Jika ada yang berpenghasilan milyaran rupiah, maka akan “menambahi” rata-rata bagi yang berpenghasilan ratusan ribu rupiah, bahkan bagi yang tak memiliki penghasilan sama sekali.

Perhatikan pula pengaruh variabel harga dalam PDB nominal, yang secara teknis biasa disebut sebagai inflasi. Kenaikan harga-harga (inflasi) yang tinggi adalah rahasia dari melesatnya PDB nominal dari asumsi APBN 2008, bahkan dari angka yang sudah direvisi dalam APBN-P 2008. Secara logis, PDB nominal 2009 pun akan jauh lebih besar dari yang ditetapkan jika ternyata asumsi inflasi yang hanya 6,2 persen terlampau rendah dibandingkan realisasinya nanti.

Sebenarnya pula berbagai buku teks ilmu ekonomi telah membahas banyak kelemahan dari angka-angka dan cara perhitungan pendapatan nasional (PDB adalah salah satu diantaranya). Ekonom yang kritis sangat merekomendasikan agar PDB tidak terlampau banyak dipakai sebagai alat ukur perekonomian, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia. Pada kenyataannya, PDB (nominal maupun harga konstan) selalu menjadi tema sentral dalam laporan resmi perekonomian Indonesia.

Selain itu, analisa makroekonomi dalam laporan resmi pemerintah dan Bank Indonesia pada umumnya memiliki horison waktu jangka pendek. Sebagiannya disebabkan periodisasi laporan yang bersifat relatif jangka pendek (triwulanan, semester, atau tahunan), sehingga fokusnya adalah perubahan selama kurun waktu tersebut. Variabel yang diamati atau dilaporkan sering dideskripsikan dengan menganalisa faktor-faktor yang tampak berpengaruh signifikan dalam perspektif waktu bersangkutan. Akibatnya, faktor-faktor yang sebenarnya berpengaruh signifikan, namun dalam kurun waktu yang lebih panjang, kerap kurang diperhatikan. Bahkan, beberapa variabel penting dalam makroekonomi jarang sekali dibahas karena fakta jangka pendeknya tidak mengalami perubahan berarti.

Senin, 22 September 2008

Angka Pengangguran dalam Pidato Presiden SBY

Angka Pengangguran dalam Pidato Presiden SBY

Soal pengangguran memang selalu dikutip dalam Pidato kenegaraan Presiden SBY selama tiga tahun terakhir (setiap bulan Agustus). Namun bagi ekonom yang kritis, ada ketidakjelasan atau ketidakkonsistenan dalam kutipan itu. Bahkan berkenaan dengan aspek kuantitatif yang paling sederhana.

Pada tahun 2008, dikatakan: ”Pembangunan ekonomi, kita laksanakan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata. Oleh karena itu, strategi yang saya gariskan adalah strategi ‘pertumbuhan disertai pemerataan’ atau ‘growth with equity.’ Percepatan pembangunan ekonomi, telah memberikan dampak yang positif baik pada percepatan penurunan tingkat pengangguran terbuka maupun tingkat kemiskinan. Tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2006 mencapai 10,5 persen, kini telah berhasil diturunkan menjadi 8,5 persen pada Februari 2008.”

Pada tahun 2007 hanya dikatakan: “…..Pengangguran dan kemiskinan masih belum sepenuhnya kita tanggulangi...” Tidak disinggung angka sama sekali.

Pada tahun 2006 dikatakan: ”Tingkat pengangguran telah mulai menurun dari 11,2% pada bulan November tahun 2005 menjadi 10,4 persen pada awal tahun 2006. Penurunan tingkat pengangguran ini baru pertama kali terjadi, setelah dalam beberapa tahun terakhir mengalami kenaikan.” Perhatikan bahwa yang dipakai sebagai angka dasar (untuk perbandingan) adalah data November 2005 bukannya Februari 2005 (SBY sudah jadi Presiden) yang 10,3 persen.

Ketika angka-angka disebut, kecenderungannya adalah memakai prosentase, bukannya jumlah penganggur secara absolut. Wajar karena jumlah angkatan kerja terus meningkat, sehingga penurunan secara prosentase terlihat lebih baik.

Menarik pula jika dilihat bahwa angka pengangguran di Indonesia sering tidak diperlakukan sebagai indikator makroekonomi oleh pemerintah. Ketika pemerintah mengklaim kondisi makroekonomi sangat baik, angka-angka yang biasa diperlihatkan sering tidak mencakup angka pengangguran. Anehnya, para pengkritik pemerintah pun kerap berperspektif yang sama. Mereka biasa mengatakan bahwa pemerintah terlampau memperhatikan makroekonomi, sedangkan masalah pengangguran dan kemiskinan tidak teratasi dengan baik.

Padahal, menurut text book, pengangguran (atau tingkat penggunaan tenaga kerja sebagai kebalikannya) adalah salah satu soal terpenting makroekonomi. Pengangguran sebagai indikator makroekonomi bermanfaat untuk mengetahui bagian dari tenaga kerja yang sesungguhnya terlibat, atau berusaha untuk terlibat, dalam kegiatan memproduksi barang dan jasa selama kurun waktu tertentu.

Secara resmi, Badan Pusat Statistik (BPS) memberi definisi, menghitung dan mempublikasikan secara rutin berbagai data bekenaan dengan pengangguran. Menurut BPS, tenaga kerja (manpower) adalah seluruh penduduk dalam usia kerja (berusia 15 tahun atau lebih) yang potensial dapat memproduksi barang dan jasa. Penduduk usia kerja dibagi menjadi dua golongan yaitu yang termasuk angkatan kerja dan yang termasuk bukan angkatan kerja. Angkatan kerja sendiri terdiri dari mereka yang aktif bekerja dan mereka yang sedang mencari pekerjaan. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok bukan angkatan kerja adalah mereka yang masih bersekolah, ibu rumah tangga, pensiunan dan lain-lain.

Sementara itu, penduduk yang bekerja atau mempunyai pekerjaan adalah mereka yang selama seminggu sebelum pencacahan melakukan pekerjaan atau bekerja untuk memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan selama paling sedikit satu jam dalam seminggu yang lalu dan tidak boleh terputus (Sensus Penduduk 2000). Pengangguran Terbuka merupakan bagian dari angkatan kerja yang tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan (baik bagi mereka yang belum pernah bekerja sama sekali maupun yang sudah penah berkerja), atau sedang mempersiapkan suatu usaha, mereka yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin untuk mendapatkan pekerjaan dan mereka yang sudah memiliki pekerjaan tetapi belum mulai bekerja.

BPS menyediakan pula istilah Setengah Pengangguran, yaitu bagian dari angkatan kerja yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu). Di banyak negara, pengertian ini masih termasuk pengangguran. Jika angka setengah pengangguran dianggap tidak bekerja, maka jumlahnya saat ini masih berkisar 25 juta orang. Angka pengangguran akan masih lebih dari 20 persen.

Persoalan lain yang juga membutuhkan perhatian adalah upah riil yang diterima para pekerja. Upah riil adalah nilai balas jasa yang diterima pekerja, yang diukur dengan daya belinya terhadap barang dan jasa. Jika upah nominal naik lebih rendah daripada tingkat inflasi, apalagi jika tidak mengalami kenaikan samasekali, maka upah riil dipastikan menurun. Ada indikasi, upah riil pekerja di beberapa sektor usaha mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir.

Persoalan rendahnya imbalan bagi para pekerja ditunjukkan pula oleh data banyaknya orang yang bekerja di sektor usaha berskala mikro, yang biasa disebut sebagai sektor nonformal. BPS sendiri merasa perlu menjelaskan bahwa penurunan angka dan jumlah pengangguran selama beberapa tahun belakangan lebih disebabkan oleh daya serap sektor ini. BPS mengeluarkan data tentang jenis-jenis pekerjaan, yang salah satu klasifikasinya adalah bekerja atau berusaha sendiri. Klasifikasi ini memang tidak hanya mencakup sektor nonformal, namun dalam penjelasan verbalnya dipastikan sebagai yang paling besar porsinya.

Kekhawatiran akan turun, stagnan atau tumbuh secara amat lambat ditujukan pula pada pendapatan riil para petani, yang antara lain diindikasikan oleh nilai tukar petani (NTP). Data NTP dari BPS memang memperlihatkan perkembangan yang fluktuatif selama beberapa tahun terakhir. Namun, belakangan ada kecenderungan untuk stagnan atau menurun. Bahkan, ada yang menduga jika pencermatan dilakukan secara lebih teliti, maka beberapa sektor pertanian rakyat (dilihat dari sisi pendapatan petaninya) mengalami penurunan yang cukup signifikan.

Kesimpulannya, angka pengangguran yang biasa dikutip dalam pidato kenegaraan Presiden SBY sulit ditafsirkan sebagai indikasi keberhasilan kebijakan ekonomi dari pemerintahannya. Justeru lebih dekat sebagai bukti kegagalan pengelolaan perekonomian nasional.

Rabu, 10 September 2008

IHSG sebenarnya dianggap mencerminkan apa oleh Nota Keuangan dan APBN?

IHSG sebenarnya dianggap mencerminkan apa oleh Nota Keuangan dan APBN?
Sampai dengan awal tahun ini, pertumbuhan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang spektakuler berulangkali diklaim sebagai pertanda perbaikan ekonomi oleh pemerintah maupun oleh sebagian ekonom. Alasan utamanya, hal itu dianggap mencerminkan tingginya kepercayaan dunia bisnis (terutama internasional) terhadap perekonomian Indonesia. Namun, ketika pada beberapa bulan terakhir, fluktuasi harga saham terjadi secara cukup signifikan, dengan kecenderungan menurun, maka penjelasannya memakai variabel yang berbeda. Tidak serta merta diartikan secara logis sebagai menurunnya kepercayaan.

IHSG adalah indikator harga dari seluruh saham yang tercatat di bursa Efek Indonesia. Jika IHSG cenderung terus meningkat artinya harga saham pada umumnya naik, meskipun tetap ada yang mengalami penurunan. Bagi kebanyakan ekonom mainstreams, IHSG sering diperlakukan sebagai cermin perekonomian. Logikanya, ada ekspektasi mengenai keadaan emiten (perusahaan yang menerbitkan saham) yang terus membaik sehingga sahamnya “dihargai” lebih mahal.

Dalam kenyataannya, para pelaku pasar modal tidak sepenuhnya (malah ada yang tidak sama sekali) mendasari perilakunya dengan analisa fundamental tentang keadaan emiten atau keadaan industri yang bersangkutan. Banyak dari mereka murni bertujuan berdagang dan berspekulasi, mengoptimalkan perolehan harga melalui fluktuasi harga saham. Ada macam-macam jenis transaksi dan jenis produk yang diperdagangkan seperti: perdagangan waran, kontrak berjangka indeks saham, right issue, reksa dana, dan sebagainya. Semuanya bisa dilakukan dengan pasar regular, negosiasi maupun tunai, sehingga memungkinkan segala macam “game” dapat dimainkan.

Anggapan bahwa IHSG mencerminkan tingkat kepercayaan dunia bisnis internasional sebenarnya memang memiliki alasan kuat berdasar data kepemilikan saham. Kepemilikan saham di bursa Indonesia mayoritas adalah oleh asing, mencapai hampir 70%. Bahkan, saham yang dimiliki oleh lokal (sekitar 30%) mengandung pula unsur kepemilikan asing. Yang dimaksud lokal oleh data tersebut adalah: asuransi, reksa dana, dana pensiun, lembaga keuangan, perusahaan, perusahaan efek, yayasan, perorangan dan lainnya. Padahal kita telah tahu bahwa reksa dana, lembaga keuangan, perusahaan, dan perusahaan efek, sebagian kepemilikannya (ada yang sebagai saham pengendali) adalah asing, sekalipun berbadan hukum Indonesia.

Bagaimanapun, kita perlu bersikap kritis atas berbagai pernyataan (terutama dari pihak pemerintah atau ekonom pendukungnya). Pada saat IHSG terus naik (bahkan secara dramatis) yang dikemukakan adalah opini mengenai membaiknya perekonomian nasional. Ketika yang terjadi adalah penurunan IHSG secara signifikan, maka yang disebut-sebut adalah dinamika umum pasar keuangan internasional yang juga mengalami koreksi secara besar-besaran.

Sebagai contoh, kita kutip halaman I-3 dari Nota Keuangan dan RAPBN 2009, sebagai berikut: ”Dalam hal pasar modal, kinerja pasar modal domestik masih cukup baik dan mampu terus tumbuh serta menciptakan beberapa rekor baru, antara lain indeks harga saham yang mencapai 2.830,3 pada tanggal 9 Januari 2008. Namun kondisi ekonomi AS yang semakin memburuk telah membawa sentimen negatif pada bursa saham. Indeks bursa saham utama, termasuk bursa saham Indonesia kembali berjatuhan. IHSG turun mencapai level terendah pada level 2.180,1 pada tanggal 9 April 2008. Kebijakan untuk menaikkan harga BBM dan realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2008 yang masih cukup kuat, membawa sentimen positif ke bursa saham Indonesia, sehingga IHSG mampu kembali meningkat. Pada akhir semester I tahun 2008, IHSG ditutup pada level 2.349,1, atau meningkat 9,8 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.”

Setahun sebelumnya, pada halaman I-1 dari Nota keuangan dan APBN 2008 disebutkan bahwa: “…..Perekonomian menunjukkan pembalikan dengan arah yang positif. Hingga akhir tahun 2006, indikator-indikator ekonomi makro menunjukkan bahwa ekonomi tumbuh sebesar 5,48 persen; tingkat inflasi mencapai 6,6 persen (y-o-y); BI Rate mencapai 9,75 persen; rata-rata nilai tukar rupiah sekitar Rp9.164 per US$; dan indeks harga saham gabungan (IHSG) menembus level 1.800 poin. Memasuki tahun 2007, perbaikan ekonomi makro terus terjadi sejalan dengan membaiknya perekonomian negara-negara ASEAN. IHSG terus meningkat secara tajam dan mencapai 2.359,2 poin pada akhir September 2007…..

Jumat, 05 September 2008

TANGGUNG JAWAB MAHASISWA EKONOMI DI INDONESIA

TANGGUNG JAWAB MAHASISWA EKONOMI DI INDONESIA
Sebagai mahasiswa baru di fakultas ekonomi jurusan ilmu ekonomi, maka sudah sewajarnya jika anda bertanya-tanya, dalam hati ataupun diutarakan, mengenai peran ilmu yang akan segera dipelajari selama beberapa tahun. Secara lebih sempit, sebagian mahasiswa mencoba meneropong profesi apa yang mungkin digeluti setelah lulus nantinya. Ada banyak peluangkah, mengingat ketatnya persaingan mencari kerja kini dan kemungkinan di masa datang. Jikapun ada atau cukup besar peluang mendapat kerja dengan kompetensi yang dimiliki setelah menguasai ilmu ekonomi, tergelitik khayalan mengenai besar kecilnya imbalan atau upahnya.

Ada berita baik dan ada berita buruk mengenai peran ekonom dan ilmu ekonomi di Indonesia. Berita baiknya, ekonom dan ilmu ekonomi sedang amat diperlukan di negara ini, yang bahkan cenderung mendominasi profesi dan disiplin ilmu lainnya. Jumlah tenaga ahli ekonomi yang diperlukan oleh berbagai kementerian dan lembaga negara bisa dikatakan cukup banyak. Baik dibandingkan dengan sebagian besar disiplin ilmu sosial lainnya, maupun jika dibandingkan dengan ketersediaan ahli ekonomi itu sendiri hingga saat ini. Tidak hanya dibutuhkan oleh semua departemen atau lembaga negara, melainkan juga oleh kebanyakan perusahaan swasta atau lembaga non bisnis. Hebatnya lagi, ahli ekonomi biasa dipakai untuk jenis pekerjaan yang tergolong “menengah” atau “atas” dalam struktur manajemen. Sementara itu, di media masa, para ekonom sering tampil menyerupai para selebritis. Di jajaran media itu sendiri, profesi jurnalis dengan latar belakang kompetensi ilmu ekonomi memperoleh kesempatan yang tergolong amat baik. Patut diperhitungkan pula soal banyaknya politisi yang dahulunya “hanya” seorang ahli ekonomi. Setidaknya, pribadi-pribadi yang terjun ke bidang politik secara serius pun biasa mempekerjakan ekonom sebagai tim suksesnya.

Bisa dikatakan, gambaran tentang pekerjaan teknis dari seorang ekonom di Indonesia tidak lagi streotype sebagai dosen dan peneliti saja. Tidak pula terbatas pada staf ahli atau bahkan menteri itu sendiri. Pilihannya sangat banyak, dan sekali lagi, saat ini adalah era keemasan bagi ekonom di Indonesia.
Berita buruknya, ekonom dan ilmu ekonomi justeru mulai terbukti gagal memperbaiki kehidupan ekonomi bangsa dan rakyat kebanyakan di Indonesia. Semakin banyak, semakin terkenal dan berpengaruhnya ahli ekonomi dibanding waktu yang sudah-sudah, belum tampak menunjukkan arti positif bagi perekonomian nasional. Perekonomian masih dihantui oleh ancaman krisis yang bisa datang sewaktu-waktu; utang pemerintah semakin mempersempit pilihan kebijakannya dan secara langsung membebani rakyat; kebijakan ekonomi yang dipilih tidak membantu mengatasi masalah pangan dan energi yang mutlak dibutuhkan rakyat; soal kemiskinan dan pengangguran belum ada indikasi akan terselesaikan.

Kembali ke berita baik, posisi yang tinggi dari para ekonom sudah diramalkan oleh Samuelson, sebagaimana dikutip oleh Mankiw (2006), “Saya tidak peduli siapa yang membuat undang-undang suatu negara, atau membuat perjanjian-perjanjian negara tersebut, jika saya mampu menulis buku ajar (textbook) ilmu ekonominya. Dalam bahasa awam untuk konteks Indonesia bisa diterjemahkan menjadi: “tidak penting siapa presiden dan para menteri di bidang perekonomiannya, asal konsep ilmu ekonomi yang dipakainya adalah ide tertentu (yang terkontrol).”

Samuelson pula yang sejak awal mengklaim bahwa ilmu ekonomi adalah ratunya ilmu sosial. Argumen utamanya adalah ilmu ekonomi memiliki kekuatan ilmu eksakta namun mengandung keindahan seni atau sastra. Kurang lebihnya, bisa berguna secara rasional namun mengandung unsur kebijaksanaan, alias bisa diaplikasikan.

Terlepas dari itu, ada dua fenomena yang saling bertolak belakang berkenaan dengan pe­mahaman publik atas apa yang sebenarnya telah dan tengah berlangsung dalam dinamika perekonomian Indonesia. Pertama, istilah dan angka ekonomi cenderung mendominasi headline news media massa, media cetak maupun media elektronik di Indonesia saat ini. Ada berita atau ulasan mengenai kondisi perekonomian, yang dahulunya hanya dikenal mereka yang bergelut dalam wacana ilmu ekonomi, seperti : laju pertumbuhan ekonomi, kondisi APBN, perkembangan transaksi berjalan dan fluktuasi nilai tukar rupiah. Masyarakat luas akhirnya menjadi terbiasa disodori perbincangan mengenai hal-hal tersebut.

Akan tetapi, ada fenomena lain yang justeru nuansanya berkebalikan dari fenomena pertama tadi. Tampak semakin banyak orang yang bingung dengan penggambaran atau ulasan para ahli ekonomi, terutama ekonom pemerintah, tentang keadaan ekonomi Indonesia. Indikasinya bisa dilihat dari berbagai komentar pembaca media cetak dalam surat pembaca, atau pada saat ini paling mudah dilihat dari tanggapan dalam media yang kebanyakan sudah menyediakan edisi online selain versi cetak (juga ada beberapa media yang memang hanya mempublikasan edisi online).

Dalam berbagai headline news tadi, masyarakat umum yang tidak terlatih dalam ilmu ekonomi sering dibingungkan oleh banyak hal, sekalipun terbiasa membaca dan mendengarnya. Sebagian dari penyebabnya adalah: Ada banyak istilah ekonomi yang tak mudah dimengerti; Ada penyajian angka yang sangat banyak macamnya karena sebagian besar istilah tadi memiliki aspek kuantitatif, dan dipublikasikan secara rutin; Tidak sesuainya makna sajian angka (indikator) ekonomi yang di­­katakan oleh ekonom dengan kondisi yang dirasakan oleh orang kebanyakan; Ada banyak pertanyaan mengenai mengapa ulasan ekonom tentang berbagai istilah dan angka ekonomi bernada positif, sementara mereka merasakan hidup dengan kesulitan ekonomi yang tidak berkesudahan.

Pada saat ini pemerintah (dan BI) dengan dukungan ekonomnya selalu mengemukakan keadaan yang membaik, sementara rakyat kebanyakan tidak merasa demikian.

Mahasiswa Ekonomi, khususnya jurusan ilmu ekonomi, bertanggung jawab untuk mencari tahu mengapa ada gap antara ekonom dan rakyat, mengapa ilmu ekonomi tidak sepenuhnya menggambarkan keadaan secara benar, lalu berusaha memperbaikinya. Untuk itu mereka tetap perlu belajar ilmu ekonomi arus utama (mainstreams) sebagaimana yang memang telah “dipaksakan” dalam kurikulum. Namun, para mahasiswa harus berupaya keras belajar tentang cara pandang lain dari banyak sumber yang juga bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Lebih penting lagi, belajar dari fakta-fakta yang ada di Indonesia. Tentu saja, dimulai dari penalaran dengan akal sehat.

Perlu diketahui oleh mahasiswa baru bahwa ada dua hal yang paling dikritikkan kepada ekonom mainstreams. Pertama, mereka sering tidak mengetahui (bisa juga tidak peduli) keadaan yang sebenarnya terjadi di perekonomian riil rakyat kebanyakan. Termasuk di dalamnya adalah kekurang mengertian hubungan antar variabel dan cara kerjanya. Kedua, kurang menggali konsep kebijasanaan lokal maupun warisan sejarah pemikiran bangsa sendiri. Baik dari para pemikir terdahulu, atau dari rakyat kebanyakan. Banyak ekonom yang lebih percaya kepada fikiran ahli ekonomi di negara seberang yang bahkan tidak pernah secara serius ingin mengetahui tentang perekonomian Indonesia.

Catatan: Disampaikan Awalil Rizky pada kuliah umum untuk mahasiswa jurusan Ilmu ekonomi, FE Universitas Trisakti, tanggal 5 September 2008.